Sekilas Tentang Isra Mi'raj

dari dinding FB Alfathri Adlin
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari ayat-ayat Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS Al-Israa: 1)
Dalam banyak kesempatan, Guru saya sering menceritakan kepingan-kepingan hikmah peristiwa Isra Mi’raj. Saya mencoba merangkum kembali semua kepingan yang pernah beliau ajarkan kepada saya sebagai berikut.

Dalam bukunya, Imam Al-Qusyairi menjelaskan bahwa secara kebahasaan “Mi’raj” itu berarti “Sullam” (tangga). Bentuk jamaknya adalah “Ma'aariij” dan “Ma'aarij”, seperti “Mafaatiih” dan “Mafaatih”. Sedangkan bentuk tunggal “Ma'aarij” adalah “Mi'raj”, seperti “Mirqaah”, kemudian dibaca “Mi'raaj”, dan bentuk jamaknya “Ma'aariij”, seperti “Miftaah” yang bentuk jamaknya adalah “Mafaatiih”. Sedangkan “Ma'raj” bentuk jamaknya adalah “Ma'aarif” seperti “Maftah” yang bentuk jamaknya adalah “Mafaatih”. “Al-Ma'aarij” adalah “Al-Mashaa'id” (tempat naik).

Sebagaimana yang kita ketahui, peristiwa Isra Mi’raj dialami oleh Rasulullah Muhammad saw saat berusia 53 tahun (13 tahun dari awal masa kenabiannya), dan terjadi di tengah-tengah tahun kedukaan, di titik terberat hidup beliau saw di Mekkah, setelah meninggalnya Abu Thalib dan Khadijah, dan pada saat umat muslim mengalami “embargo” dari kaum kafir.

Namun, setelah peristiwa Isra Mi’raj, hal berat lainnya yang harus beliau saw hadapi—tentu saja selain kaum kafir saat itu akan menyangkalnya—adalah keraguan sesaat dari para sahabat. Pada saat Rasulullah saw menceritakan peristiwa tersebut kepada para sahabat, mereka umumnya terdiam dulu sesaat sebelum kemudian membenarkan, kecuali satu orang yang langsung membenarkannya, yaitu Abu Bakar. Karena peristiwa itulah maka Abu Bakar mendapat gelar Ash-Shiddiq. Itulah peristiwa yang menandai bahwa Abu Bakar telah menjadi seorang yang mencapai ma’rifatullah, karena sebagaimana tertuang dalam Al-Quran:

“Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu Shiddiqin dan Syuhada di sisi Tuhan mereka. Bagi mereka pahala dan cahaya mereka. Dan orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni-penghuni neraka.” (QS Al-Hadiid 19)

Bisa dibilang bahwa beriman kepada Allah tidaklah sulit, karena akan beriman manusia kepada Allah hingga datang seorang Rasul. Beriman kepada Rasul adalah perkara yang lebih berat, karena manusia akan terantuk pada sosok manusiawi mereka yang tak jarang sukar dimengerti. Misalnya, bukankah sulit untuk mengimani Nuh ketika dia malah membuat perahu di kaki bukit, dan bukannya di pinggir laut? Bukankah sulit untuk mengimani Khidir saat dia melubangi perahu dan membunuh anak kecil? Bukankah sulit mengimani Ibrahim saat dia meninggalkan istri keduanya beserta bayinya di padang pasir tak berpenghuni tanpa sumber air, dan setelah bayi itu dewasa Ibrahim malah hendak menyembelihnya, dan sebagainya, dan sebagainya. Karenanya tak heran bahwa hanya mereka yang sudah mencapai tingkatan Syuhada dan Shiddiqin saja yang bisa mengimani Allah dan Rasul.

"Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya…" (QS Al-Ahzab: 24)

"Dan orang yang membawa kebenaran dan membenarkannya, mereka itulah al-muttaquun." (QS Az-Zumar: 33)


(Hari-hari ini, kita sering melihat orang saling berbunuh-bunuhan justru karena merasa paling benar dan bahwasanya tindakannya itu benar. Lagi pula semua pengajian pasti akan selalu mengaku benar, tidak akan ada pengajian yang mengaku sebagai pengajian sesat, sebagaimana kecap juga selalu mengklaim sebagai kecap No. 1)

Itulah gambaran hal yang harus Rasulullah saw hadapi setelah mengalami peristiwa Isra Mi’raj, mulai dari penolakan kaum kafir hingga keraguan sesaat dari para sahabat, namun penghiburan itu datang dari Abu Bakar yang mulai saat itu mendapat gelar Ash-Shiddiq.

Sekilas Tentang Isra Mi'raj (02)

Isra itu adalah perjalanan malam, sebuah perjalanan vertikal. Mudahnya, Isra itu adalah semacam napak tilas perjalanan Bani Israil yang menunjukkan keterkaitan nubuwah Rasulullah Muhammad saw dengan apa-apa yang pernah diturunkan di kalangan Bani Israil. Terlebih secara silsilah, beliau saw (sebagai nabi tertinggi) juga merupakan keturunan dari nabi besar Ibrahim as. Namun, karena beliau saw lahir dari Hajar, isri kedua yang merupakan budak pemberian dari Raja Mesir, maka itu pulalah salah satu hal yang membuat kaum Yahudi memandang rendah Rasulullah saw. Pasalnya, kaum Yahudi merasa bahwa mereka lahir dari garis keturunan Sarah, istri pertama Ibrahim yang berasal dari kalangan ningrat dan bukan budak, dan dari rahim Sarah ini pulalah lahir garis keturunan raja-raja Bani Israil.

Namun, justru dalam status Hajar sebagai budak itulah Allah menyimpan sebuah hikmah besar. Bukankah kemuliaan manusia di hadapan Allah adalah justru saat dia menjadi hamba atau “budak” Alllah Ta’ala? Rasulullah saw memang lahir dari “garis budak”, dan coba perhatikan kehidupan beliau saw: beliau makan seperti orang biasa, tidak seperti para raja di istana, beliau bergaul dengan para sahabatnya sebagai orang biasa dan bukan sebagai raja kepada bawahannya, dan seterusnya.

Isra itu sendiri menunjukkan kesinambungan antara jalan yang telah dibukakan sebelumnya oleh para nabi Bani Israil untuk kehadiran nabi tertinggi dan penutup nubuwah keagamaan, yaitu Nabi Muhammad saw.

“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah yang dengannya Kami teguhkan fu‘ad-mu…” (QS Huud [11]: 120)

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran (ibrah) bagi orang-orang yang mempunyai lubb (ulil albab)…” (QS Yusuf [12]: 111)


Guru saya pernah menguraikan perbedaan ibrah dan hikmah. Secara bahasa, ibrah berasal dari abara yang artinya menyeberangkan atau menembus (seperti jarum). Sementara hikmah berasal dari hakama yang artinya (meng)hukum(i). Dikatakan bahwa kisah para nabi mempunyai ibrah, maksudnya, ada pelajaran tersembunyi yang harus diambil dengan cara “ditembus”. Sementara hikmah lebih merupakan hukum yang, bisa dikatakan, menunjukkan keberpolaan hukum. Menyerupai rotasi elektron mengelilingi proton dan netron yang berulang hingga pola rotasi planet mengitari matahari. Namun, baik ibrah maupun hikmah itu hanya bisa diperoleh oleh mereka yang mempunyai lubb atau ulil albab (QS Al-Baqarah [2]: 269.)

Dalam Islam, kisah kenabian itu tersebar di Al-Quran dan hadis, namun berbentuk fragmen tak utuh. Oleh generasi berikutnya, berbagai fragmen itu berusaha dirangkai utuh menjadi kisah. Berbagai kisah kenabian tersebut sering tak disadari sebenarnya menampilkan ketidaklinieran dan keganjilan perbuatan para nabi. Namun, dibaliknya tersimpan ibrah dan hikmah yang kaya. Bahkan Ibn ’Arabi pun dianugrahi kitab Fushush Al-Hikam yang memaparkan berbagai hikmah kenabian tersebut.

Salah satu hikmah kenabian yang orisinil dan kokoh adalah seperti dipaparkan oleh Guru saya yang mengungkapkan bahwa kisah para nabi—dari Adam as hingga Rasulullah Muhammad saw—merepresentasikan perjalanan setiap nafs (jiwa) manusia dalam menuju Allah. Dimulai dari kejatuhan manusia ke dalam dosa (nabi Adam) hingga berhasil menemukan misi hidupnya dan beramal shalih dalam misi hidup tersebut (Rasulullah Saw). Berikut adalah penggambarannya secara singkat, melompat-lompat dan global (karena merincinya tidak dimungkinkan dalam tulisan ini):

Untuk konteks Isra Mi’raj ini kita akan langsung menyoroti dari mulai Ibrahim as dengan babak tentang “tanah yang dijanjikan” dan pencarian Ibrahim akan tanah tersebut hingga meninggal. Tanah yang dijanjikan itu merupakan simbolisasi dari qalb. Dari Ibrahim, pencarian itu dilanjutkan oleh Ishaq as dan Yaqub as, dan ”terbelokkan” pada Yusuf as yang membawa alurnya ke arah “Mesir”.

Dalam kisah Yusuf episode dia dibuang ke dalam sumur oleh kakak-kakaknya, dan episode dimasukkan ke penjara bawah tanah. Kisahnya tersebut menyoroti aspek “keterpenjaraan di bawah tanah” yang menyimbolkan kondisi nafs yang terpenjara di dalam jasad. Dari Yusuf, kita beralih ke Musa as. Ibn ‘Arabi memaparkan bahwa Mesir adalah simbol dari Madinatul Badan, atau bisa digambarkan juga sebagai “kehidupan dunia”. Di Mesir ini terjadi peristiwa perbudakan Bani Israil dan pembunuhan semua anak laki-laki oleh Fir‘aun dan keluarganya, dan membiarkan anak perempuan hidup. Itulah simbol terjadinya pembunuhan nafs dan membiarkan jasad hidup. Karena itu, datanglah Musa mengajak untuk hijrah kembali kepada pencarian “tanah yang dijanjikan”. Inilah fokus kisah Musa. “Yusuf” yang terpenjara di “bawah tanah” telah diangkat keluar, kemudian dibawa berhijrah dari keburukan kepada kebaikan. Inilah permulaan baru, karena nafs terbangkitkan dari keterpenjaraannya.

Dari Musa kita melompati dulu kisah Yusa as—yang meruntuhkan benteng Yerikho sebagai simbol hancurnya hijab qalb—langsung ke Dawud as. Seluruh hidup Dawud lebih banyak dihabiskan dengan berperang. Kisah hidup Dawud ini menyimbolkan tahap jihad akbar melawan hawa nafsu di “tanah yang dijanjikan” (qalb). Saat “Bani Israil” (yaitu, para salik) tiba di “tanah yang dijanjikan” (qalb), mereka mendapati di atasnya telah berdiri berbagai “kerajaan”—yang melambangkan berbagai hawa nafsu dalam qalb manusia. Di tahap ini, seorang salik harus melakukan jihad akbar untuk menaklukan berbagai “kerajaan hawa nafsu” yang sudah sekian lama bercokol di qalb-nya. Dari sini, kita beralih ke kisah hidup Sulaiman as.

Sulaiman adalah raja Bani Israil terbesar yang memerintah bukan hanya manusia, tetapi juga kalangan jin. Allah menganugerahinya kemampuan untuk berbicara dengan binatang. Hal yang paling penting dari aspek Sulaiman adalah saat membangun Baitullah untuk Bani Israil, sebuah bait di mana tidak ada yang disembah di dalamnya selain Allah. Begitu pula halnya dengan qalb manusia. Setelah jihad akbar, qalb pun berhasil dikuasai sepenuhnya, barulah di sini seorang salik bisa berkata “La ilaha ilallah”. Dari Sulaiman kita melompati dulu beberapa nabi dan langsung ke kisah Isa as.

Dalam Al-Quran, Isa seringkali didampingkan dengan penisbatan Rûh Al-Quds. Kisah Isa menjadi simbol bagi salik yang telah mencapai “Awal ad-din (agama) adalah mengenal Allah” yang sejalan dengan hadis: “Barangsiapa mengenal nafs-nya, maka sungguh dia akan mengenal Rabb-nya.” Gelarnya pun adalah syuhada, yaitu seseorang saksi Allah yang benar, serta terkait dengan peristiwa persaksian primordial (QS Al-A‘raf [7]: 172) dan hakikat syahadat. Dari sini, salik melangkah ke tahap tertinggi yang disimbolkan melalui kehidupan Rasulullah Muhammad saw sebagai representasi ke-shidiqin-an atau orang yang telah paripurna beramal dalam misi hidup yang Allah amanahkan unik pada tiap individu. QS Al-Hadid [57]: 19 menegaskan bahwa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya hanyalah Syuhada dan Shidiqin.

Maka, hikmah Isra sebagai “perjalanan horisontal” bagi kita sebagai umat Rasulullah Muhammad saw adalah “perjalanan untuk membaca aspek-aspek jasadiah dalam upaya pengenalan diri, untuk merangkai kepingan puzzle yang bisa dirangkai secara lahiriah untuk membaca diri sendiri. Mudahnya, Isra adalah perjalanan mengindentifikasi diri secara ragawi dalam upaya untuk menemukan misi hidup yang Alllah amanahkan secara unik kepada tiap-tiap individu pada saat penciptaan. Karenanya, secara mudahnya, bisa dikatakan bahwa Isra adalah pencarian horizontal di aspek jasadiah. Sementara dalam konteks Rasullah saw, Isra adalah pengaitan antara nubuwah beliau saw, sebagai batu bata terakhir dari “bangunan kenabian pembawa agama” dengan nubuwah para Nabi dari Bani Israil sebelumnya.

Sekilas Tentang Isra Mi'raj (03)

Kemudian beralih ke Mi’raj, yang merupakan perjalanan dari Baitul Maqdis menuju Sidhratul Muntaha. Dan ini pun masih ada kaitannya dengan Bani Israil, yaitu, bahwasanya jalur untuk Mi’raj yang digunakan oleh Rasullah saw adalah jalur yang pertama kali ditemukan oleh Nabi Yaqub as. Peristiwa Nabi Yaqub as tersebut tertuang dalam Kitab Kejadian 28: 10-22.

--------------------

Maka Yakub berangkat dari Bersyeba dan pergi ke Haran.
Ia sampai di suatu tempat, dan bermalam di situ, karena matahari telah terbenam. Ia mengambil sebuah batu yang terletak di tempat itu dan dipakainya sebagai alas kepala, lalu membaringkan dirinya di tempat itu.
Maka bermimpilah ia, di bumi ada didirikan sebuah tangga yang ujungnya sampai di langit, dan tampaklah malaikat-malaikat Allah turun naik di tangga itu.
Berdirilah TUHAN di sampingnya dan berfirman: "Akulah TUHAN, Allah Abraham, nenekmu, dan Allah Ishak; tanah tempat engkau berbaring ini akan Kuberikan kepadamu dan kepada keturunanmu.
Keturunanmu akan menjadi seperti debu tanah banyaknya, dan engkau akan mengembang ke sebelah timur, barat, utara dan selatan, dan olehmu serta keturunanmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.
Sesungguhnya Aku menyertai engkau dan Aku akan melindungi engkau, ke manapun engkau pergi, dan Aku akan membawa engkau kembali ke negeri ini, sebab Aku tidak akan meninggalkan engkau, melainkan tetap melakukan apa yang Kujanjikan kepadamu."
Ketika Yakub bangun dari tidurnya, berkatalah ia: "Sesungguhnya TUHAN ada di tempat ini, dan aku tidak mengetahuinya."
Ia takut dan berkata: "Alangkah dahsyatnya tempat ini. Ini tidak lain dari rumah Allah, ini pintu gerbang sorga."
Keesokan harinya pagi-pagi Yakub mengambil batu yang dipakainya sebagai alas kepala dan mendirikan itu menjadi tugu dan menuang minyak ke atasnya.
Ia menamai tempat itu Betel; dahulu nama kota itu Lus.
Lalu bernazarlah Yakub: "Jika Allah akan menyertai dan akan melindungi aku di jalan yang kutempuh ini, memberikan kepadaku roti untuk dimakan dan pakaian untuk dipakai,
sehingga aku selamat kembali ke rumah ayahku, maka TUHAN akan menjadi Allahku.
Dan batu yang kudirikan sebagai tugu ini akan menjadi rumah Allah. Dari segala sesuatu yang Engkau berikan kepadaku akan selalu kupersembahkan sepersepuluh kepada-Mu."

--------------------

Rasulullah saw menggunakan tangga Yaqub untuk menuju Sidhratul Muntaha. Dan harus diingat, bahwa gelar yang diberikan kepada Nabi Yaqub dari Allah adalah Israil, yaitu, "berjalan di tengah malam menuju Allah".

Seringkali jalur itu disebut juga sebagai “Tangga Yaqub”, namun jangan Anda memahami bahwa itu adalah tangga harfiah, karena seperti dijelaskan di atas, Mi’raj itu secara kebahasaan adalah “Tangga” dan juga “Tempat Naik”. Tempat “Tangga Yaqub” ini pernah hilang dan tidak diketahui lagi oleh Bani Israil, namun kemudian tempat itu ditemukan kembali oleh Nabi Dawud as. Hal serupa pernahh terjadi juga pada Bani Quraisy yang kehilangan mata air Zamzam, dan kemudian ditemukan kembali oleh Abdul Muthalib. “Hilangnya” tempat “Tangga Yaqub” dan “Mata Air Zamzam” itu, oleh Guru saya dijelaskan sebagai hilangnya sumber pengetahuan kebenaran di kedua umat itu.

Nah, dalam Mi’raj itulah Rasullah saw bertemu dan bercakap-cakap dengan Allah Ta’ala dan mendapatkan perintah shalat. Seperti kita ketahui semua bahwa Shalat adalah Mi’raj-nya orang Mukmin. Bagi kita, umatnya Muhammad saw, adalah proses kita naik ke tataran jiwa hingga ruh untuk mencapai ma’rifat atau pengenalan diri beserta misi hidup unik yang Allah amanahkan kepada tiap-tiap individu.

Pada kenyataannya, sulit bagi manusia untuk menumbuhkan benih kemisian tersebut jika tanah tempat tumbuhnya benih tersebut merupakan tanah yang gersang, dan bumi diri yang kering dari hujan rahmat Tuhan. Hanya dengan dua bagian rahmat-Nya-lah manusia dapat menempuh jalan pensucian dan disucikan (al-muthaharûn). Karena kesuburan sang muthaharûn pula maka benih ketetapan-Nya dapat dikenali (ma‘rifat) dan dipersaksikan (syuhada) untuk kemudian ditumbuhkan dan berbuah (bagi sesama manusia dan bagi semesta alam), hingga jadilah manusia sebagai kalimah-Nya. Misi nafs harus ditemukan dan dijalankan di bumi ini, tidak ada perubahan dalam misi nafs karena bakat langit nafs merupakan fithrah yang tidak berubah, dan sebagian besar manusia tidak mengetahui ketetapan dirinya karena hatinya dipenuhi dosa.

Meskipun setiap individu memiliki benih serta misi yang spesifik dan unik, namun perlu dikaji pola yang umum berlaku dalam rangka mencapai persaksian dan kedekatan dengan Tuhan. Pintu masuk menuju hal ini adalah pada perkara bagaimana menemukan tatanan yang senantiasa tertanam dalam diri manusia (innate), yaitu struktur insan dalam kaitannya dengan perjalanan menuju Tuhan. Pemahaman tentang struktur insan amat berpengaruh dalam membentuk struktur keberagamaan, karena manusia adalah makhluk yang berproses dan berkembang, baik lahir maupun batin di mana proses tersebut ada polanya. Pola proses inilah yang amat penting dipahami seorang salik, sehingga dia bisa mengukur posisi perjalanannya menuju Allah dan membangun keberagamaannya dengan struktur yang benar dan sesuai kehendak Allah. Proses ini dikenal di kalangan kaum shufi dengan istilah ‘uruj (mi’raj), yaitu proses berpindahnya atau naiknya kesadaran manusia, dari satu kesadaran ke kesadaran lain sehingga faktor kendali kehidupan seseorang senantiasa berpindah sejalan dengan ‘uruj.

Jasad → Nafs → Qalb → ‘Aql → Sirr → Ruh → Khafa’ → Akhfa’

Ini adalah proses manusia untuk mengenal Rabb-nya, yang harus diawali dengan kesadaran atas keberadaan nafs dalam jasadnya sebagai jati diri yang sebenarnya.

Dengan bermujahadah pada proses tazkiyyatun-nafs, maka instrumen mata dan telinga batin (nafs) akan mulai bangun secara bertahap. Seperti bangunnya akal jasadi pada bayi oleh tumbukan terus menerus citra alam dunia melalui indera mata dan telinganya, maka pengendalian mata dan telinga jasmani dari hal-hal yang diharamkan Allah Ta‘ala akan mencergaskan kembali penglihatan dan pendengaran si nafs, dan dengan sehatnya dua indera batin tersebut akan mulai mengaktivasi akal jiwa (lubb). Manusia yang lubb-nya hidup dinamai sebagai Ulul-Albâb, dan hanya Ulul-Albâb yang bisa memahami kalimah Ilahiyah di alam semesta.

“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa diberi hikmah, sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali Ulul-Albâb.” (Al Baqarah [2]: 269)

Proses ‘uruj tadi merupakan proses taubat, di mana makna taubat adalah perjalanan kembali menuju Allah, merupakan proses ditariknya si hamba mendekat kepada-Nya, dan ini akan melampaui semesta alam-alam, karena jarak antara si hamba dengan Dia adalah tak hingga. Dan tidak ada alam yang ia lampaui, kecuali lubb-nya akan menguasai urusan-urusan di alam tersebut. Siapa yang bertaubat (kembali kepada Allah) maka itu baru awal dari hidayah (pemberian petunjuk), dan siapa yang tidak mencari Allah (tidak bertaubat) maka mendzalimi dirinya sendiri.

“Dialah yang memperlihatkan kepadamu ayat-ayat-Nya dan menurunkan kepadamu rizki dari langit (jiwa). Dan tidak ada yang bisa mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang bertaubat(kembali).” (Al-Mu’min [40]: 13)

“Dan sesungguhnya Aku menjadi Maha Pengampun bagi mereka yang bertaubat, beriman, dan beramal shalih, kemudian atasnya petunjuk.” (Thaha [20]: 82)
“Siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (Al-Hujurat [49]: 11)

Dalam Al-Quran, bumi itu juga melambangkan jasad. Bumi bisa kita ubah-ubah, seperti halnya gunung bisa kita hancurkan, lereng bukit kita ubah menjadi sawah, dan seterusnya. Itu menggambarkan bahwa jasad kita memang mudah untuk diubah-ubah, karena seperti halnya bumi, maka kita bisa saja merekayasa identitas dan autentisitas menjadi berubah-ubah dan relatif. Bahwa secara jasadiah kita bisa menyangkal bahwa tak ada autentisitas dan ketetapan misi hidup yang sudah Allah gariskan atas diri kita karena sifat jasad kita sama seperti bumi yang bisa kita ubah dan bahkan rusak.

Namun, dalam Al-Quran, langit pun melambangkan jiwa. Dan sebagaimana kita tak bisa seenaknya mengubah-ubah rasi bintang, jalur rotasi planet, bahkan semata ingin membentuk awan, maka begitu pulahal jiwa manusia. Kesejatian manusia terpendam di aspek jiwa ini, bukan di aspek jasad yang seringkali hanya berupa tanda-tanda saja. Karenanya, bagi kita sebagai umat rasulullah Muhammad saw, konteks Mi’raj adalah perjalanan ke aspek batin kita untuk mencari kesejatian diri kita.

Demikianlah salah satu hikmah Isra Mi’raj yang pernah diajarkan kepada saya oleh Guru saya. Tentu semua kesalahan pemaparan adalah kesalahan saya yang tidak mampu mengingat semua detailnya, namun ini saya tuliskan sebagai sebentuk kebersyukuran saya karena telah dipertemukan dengan Guru almarhum dan Guru saya saat ini yang menjelaskan semua paparan di atas. Alhamdulillahi Rabbil Allamin.

Wallahu ‘alam bishawwab.