Sains dalam Perspektif Modern

Oleh: Mulyadhi Kartanegara - facebook.com

Pengantar:

Di tengah hirup pikuknya politik dan bola, mungkin tak ada salahnya kalau kita berdiskusi ringan tentang sains baik dalam perspektif Barat maupun Islam. Kuliah ringan ini pernah kita diskusikan sekitar dua tahun yaang lalu, tetapi tak ada salahnya kalau kita buka kembali mengingat banyaknya anggota yang baru masuk atau bergabung. Marilah kita mulai dengan sains dalam perspektif Barat dengan mengemukakan pengertian sains itu sendiri.

(Kuliah pertama)

Pengertian Sains

Sains adalah kata yang penting untuk didiskusikan secara filosofis, karena pengaruhnya yang besar terhadap kehidupan modern. Dalam kuliah ini akan didiskusikan, pertama, pengertian, karakteristik dan manfaat sains. Tapi dalam pembahasannya, pertama-tama akan didiskusikan terlebih dahulu pengertian sains, sebagaimana dipahami di era modern, kemudian pengertiannya sebagimana dipahami dalam taradisi ilmiah Islam, dengan istilah ilmu (khususnya ilmu alam).

Marialah kita mulai dengan yang prtama: Sains dalam perspektif modern. Kata sains adalah adaptasi dari kata Inggris, “science,” yang sering juga secara kurang tepat diartikan sebagai ilmu pengetahuan. Secara etimologis, kata "science" berasal dari kata Latin "scire" yang arti harfiahnya “mengetahui” dan kata bendanya“pengetahauan.” Tetapi secara terminologis, kata ini mengalami perkembangan yang cukup signifikan dan harus disadari oleh setiap pelajar sains. Sampai abad pertengahan saians dipahami sebagai "any organized knowledge," artinya ilmu apapun yang tersusun dengan baik, sehingga pada masa itu, teologi disebut juga sains, sehingga muncullah istilah “theological science,”“mathematical science” bahkan “metaphysical science,” disamping tentu saja “physical science.”

Tetapi pada penghujung abad sembilan belas dan awal abad kedua puluh, sains mengalami perubahan, sesuai dengan perubahan yang dramatis yang terjadi pada ranah filosofis, di mana sains kemudian--atas pengaruh Positivisme--hanya terfokus pada objek-objek empiris (inderawi dan fisik) saja, sehingga pengertian sains kemudian berubah menjadi "pengetahuan yang sistematik tentang dunia fisik" (a systematic knowledge of the physical world), dengan konsekuensi mengeluarkan segala jenis pengetahuan yang tidak empiris, seperti teologi, metafisika, eskatologi dan bahkan matematik. Semua bidang yang non-empiris dikategorikan sebagi tidak ilmiah, atau quasi dan psudo-ilmiah.

(Kuliah 2: Bagian 1)

B. Karakteristik Sains Modern

Sains dibedakan dengan pengetahuan (knowledge) karena sifatnya sang sistematik dan teruji. Dari satu sisi, sistematik bisa berarti--sebagaimana dalam filsafat--bersifat logik, analitik, rasional dan metodik. Dalam arti lain sistematik bisa berarti memiliki komponen-komponen pokok yang menjadi ciri sebuah disiplin ilmu,seperti objek (baik material maupun formal) dan metode. Sifat-sifat ini sebenarnya tidak unik milik sains tapi dimiliki juga oleh semua disiplin ilmu. Adapun ciri khas sains terletak pada sifat empirisnya. Maka dikatakan, “Disiplin ilmu apapun, kalau mau disebut sains atau saintifik, harus menerima persyaratan ini. Kalau tidak maka ia tidak bisa disebut sains.” Sebagai contoh, ketika psiikologi--yang sedianya dipahami sebagai ilmu jiwa, kalau ia mau sisebut sains, maka ia harus rela kehilangan “jiwa” (psyche), dan diganti dengan “tingkah-laku” atau “behaviour,” sehingga menurut ahli psikologi kontemporer, disiplin ini tidak lagi disebut ilmu jiwa (psikologi) tetapi ilmu tingkah lakuatau "science of behaviour."

Ciri empiris ini, kalau ditelusuri asal usulnya berhulu pada pandangan filosofis yang disebut Positivisme. Bagi kaum Positivis, yang real, dan harus menjadi fokus ilmuwan, adalah yang positiif, dalam arti yang bisa diobservasi dan diinderai, dengan atau tanpa alat bantuan, seperti mikroskop atau teleskop.Dan ciri empiris ini dalam sains modern mempunyai pengaruh yang luas sekali (pervasif), baik terhadap objek, sumber, klasifikasi Ilmu, maupun metodologi ilmu. Pengaruhnya terhadap objek ilmu adalah ditolaknya status ontologis (realitas) dari segala objek ilmu yang tidak bisa diobservasi dan pengakuan sebagai objek sains yang sah atau valid hanya objek-objek fisik yang bisa diinderai. Objek-objek non-fisik yang biasa dimasukkan ke dalam filsafat atau agama, seperti Tuhan, malaikat, jiwa, hari akhir dsb. harus ditolak dari ranah sains sebagi ilusi. Jadi mereka tidak bisa lagi dipandang sebagai real. Dengan demikian objek-objek ilmiah difokuskan hanya pada entitas-enitas fisik mulai dari objek terkecil seperti atom dan sub-atom sampai kepada galaksi dan alam semesta, atau, dengan kata lain, dari objek-objek fisika molekuler sampai pada astro-fisika.

(Kuliah 2: Bagian 2)

Pengaruh sifat atau kriteria empiris juga terlihat jelas-dari perspektif epistemologis--dari klasifikasi ilmu yang diusungnya. Konsekuensi penolakan terhadap status ontologis objek-objek non-fisik adalah dikeluarkannya, dari klasifikasi ilmiah modern, disiplin-disiplin ilmu non-empiris, seperti matematika--dengan cabang-cabangnya seperti aritmetika, geometri, musik dll—dan, lebih khusus lagi, metafisika, dengan cabang-cabangnya seperti ontologi, teologi, kosmologi transendet, filsafat manusia dan eskatologi. Metafisika yang pada masa klasik dan pertengahan dipandang sebagai induk ilmu, kini disingkirkan dari ranah ilmiah, dan fisikapun menggantikannya sebagi “The Science.” Maka klasifikasi ilmu (kalau boleh dianggap ada) di dunia ilmiah modern, berkisar hanya pada objek-objek fisika, yang, seperti disinggung oleh Holmes Rolston III, dalam bukunya Science and Religion, a Critical Survey, meliputi (1) materi atau "matter" dengan ilmu-ilmu fisikanya, (2) kehidupan (life), yang menghasilkan biologi, (3) pikiran (mind) yang menghasilkan psikologi, dan (4) budaya (culture) yang menghasilkan sosiologi.

Selanjutnya, pengaruh kriteria atau sifat empiris sains juga bisa dilihat dari sumber dan metode ilmiah. Karena objek sains hanya dibatasi pada bidang atau dunia empiris, maka sumber ilmu yang utama adalah pengamatan indera, yang digunakan--baik secara telanjang atau dengan alat, seperti mikroskop atau teleskop--untuk mengamati objek-objek penelitiannya.Akal masih digunakan, bukan terutama sebagi sumber ilmu, tetapi sebagai pemberi putusan atas keabsahan pengamatan empirisnya.Di sini, kelihatan sekali bahwa empirisme dan positivisme telah menyingkirkan pengaruh rasionalisme. Nah, kalau rasionalisme saja sudah ditolak, apalagi intuisionalisme yang bersumber pada intuisi, yang bisanya menghasilkan mistisisme. Konsekkueansi pandangan empirisme menyebabkan sumber ilmu yang lain seperti akal, hati (intuisi) dan apa lagi wahyu, ditolak dan disingkirkan dari ranah dan medan saintifik.

(Kuliah 2: Bagian 3)

Terakhir, pengaruh sifat empiris sains ini dapat disaksikan, dan ini jauh lebih signifikan, dalam bidang metodologi. Dengan memfokuskan diri pada objek-objek fisik, maka satu-satunya metode yang paling diandalkan dan paling absah, adalah metode observasi, yakni pengamatan inderawi, dengan atau tanpa alat bantu, atau apa yang juga dikenal dengan istilah "experimental method." Melalui metode ini, sains modern benar-benar telah mengalami perkembangannya yang spektakular, sehingga banyak hal-hal yang tak terpikirkan sebelumnya bisa ditemukan, dan bahkan diaplikasikan pada bidang-bidang terapan yang luar biasa. Pengamatan dan eksperimen pun dilakukan pada bidang-bidang yang sangat kecil seperti objek-objek yang berada pada level atom atau bahkan level di bawah atom (sub-atomic level) dengan ditemukannya molekul, atom, hadron dan quark. Demikian juga pengamatan dilakukan untuk mengamati hal-hal yang sangat jauh baik dari dari sudut ruang maupun waktu, yang menyebabkan manusia modern, dengan teleskop Hubble, mampu merekam apa yang terjadi milyaran tahun ke masa lalu, demgan ditemukan (bahkan) direkamnya supernove dan peristiwa astronomis yang lain seperti the black-hole. Jadi dari dunia renik sampai kepada dunia stelar dari entitas fisik ini telah dijelajah manusia melalui observasi inderawi. Meskipun, kalau mau jujur, pengamatan terhadap objek-objek yang mahakecil dan mahabesar ini sebenarnya tidak bisa hanya dilakukan melalui pengamatan murni, melainkan, sampai taraf yang penuh arti, melibatkan teori spekulatif tertentu, yang mungkin hanya secara diam-diam dibenarkan oleh ilmuwan-ilmuan yang lebih jujur. Selanjutnya, seluruh hasil pengamatan ini harus mengalami proses verifikasi dan falsifikasi, melalui pengukuran yang sangat teliti dan sistematik sebelum sampai pada hasil hasil yang bisa diuji kebenarannya dan konsistensinya serta kemampuannya untuk diulang dan diprediksi. Dengan inilah maka kemudian sains dapat dibedakan dengan knowledge, dengan mana diskusi ini dimulai.

(Kuliah 3, Bagian 1)

Manfaat Sains Modern: Dari sudut Teoritis

Kekuatan filsafat adalah pada konsepsi, sedangkan kekuatan sains pada persepsi. Konsepsi dihasilkan oleh penalaran akal (reasoning) terhadap objek-objek akliah (ma'qulat/intelliible), melalui metode deduksi, sedangkan persepsi adalah hasil sensasi indera terhadap objek-objeknya, dengan menggunakan metode induksi. Manfaat sains bagi saya (atau kita) dapat dirasakan dalam dua segi: teoritis dan medodologis.

Secara teoritis sains (modern) telah memberi banyak informasi yang luar biasa mengenai objek-objek yang ditelitinya. Dalam sains kita menemukan banyak sekali teori-teori hebat tentang dunia fisik, dari mulai langit yang sangat amat luas, yang membicarakan bukan hanya tentang tata surya (solar system), tetapi lebih jauh lagi tentang galaksi, di mana tata surya hanya sebuah noktah kecil di pinggirannya bersama milyaran baintang lain yang terkandung di dalamnya. Bukan itu saja ternyata galaksi bima sakti (milkyway), bukan satu-satunya galaksi yang ada di alam semesta, tapi masih ada milyaran galaksi lain yang berkelompok-kelompok membentuk kluster. Ini tentu benar-benar penemuan revolusioner, kalau mengingat bahwa penemuan besar Kopernikus tentang Heleosentris (sering disebut revolusi Kopernikus) ternyata baru bicara matahari sebagai pusat tata surya, tapi yang diklaim sebagai pusat dunia.

Selain gambaran dramatis tentang alam semesta, sains modern juga memberikan teori yang hebat bagi alam semesta kita, dan kisah kejadiannya. Menurut penelitian Hubble, alam semesta yang kita kenal ternyata dalam keadaan terus berkembang, atau yang diistilahkan “the expanding universe.” Dengan ditemukannya fakta ini, maka teori big bang yang dulu digagas oleh Laplace dan Kant, kini mendapat pembenaran ilmiahnya.

Pengembangan atau pemuaian alam semesta ini, dipandang berasal dari sebuah ledakan hebat dari sebuah substansi yang mahapadat, yang dikenal dengan singularitas. Dari ledakannya itulah maka secara evolutif alam semesta berkembang seperti yang kita saksikan sekarang ini. Dan kalau sudah sampai saat nanti, ia akan kembali kepada keadaan yang disebut sebagai "big crunch" dimana alam semesta yang maha luas ini akan kembali kepada keadaan semula, yakni singularits, yang disebut sebagai lobang hitam (black hole).

(Kuliah 3, Bagian 2)

Selain berbicara tentang langit, sains juga berbicara tentang apa yang ada antara langit dan bumi, dalam cabang ilmu meteorologi, yang meliputi teori lapisan-lapisan atmosfer yang mengelilingi bumi (dari yang paling rendah troposfer, melalui stratosfer, lapisan ozon, mesosfer, ionosfer dan terakhir eksosfer (diperkirakan bahwa tebal atau rentang antara lapisan yang paling bawah dan paling tinggi adalah sekitar 700-900 km dan yang lebih mengejutkan lagi adalah penemuan yang mengatakan bahwa lapisan udara yang begitu tebal tersebut ternyata bergerak mengikuti rotasi bumi, sebagai akibat tarikan gravitasi bumi).

Adapun bulan, yang menandai wilayah lingkup meteorologi, berjarak rata-rata 384.000 km. Selain bicara tentang lapisan-lapisan bumi, meteorologi juga bicara tentang benda-benda dan peristiwa yang terjadi antara bulan dan permulkaan bumi. Sedangkan peristiwa yang dimaksud adalah apa yang terjadi pada dan di antara benda-benda tersebut, seperti formasi awan dan badai besar (hurricance), badai (angin, salju, angin puting beliung, tornedo), kilat, halilintar, salju, hujan es, dll),

Ketika perhatian turun ke bumi, maka sains mengkaji bidang-bidang yang berbeda, seperti yang berkenaan dengan unsur-unsur (dibahas dalam kimia), ruang, waktu dan gerak benda-benda (sebagai kajian utama fisika), kemudian benda-benda mineral (mineralogi), tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan (biologi), tentang pikiran dan gejala mental manusia (yang dibahas dalam psikologi) dan budaya yang dibahas dalam sosiologi.

Dalam bidang fisika, sains modern telah membongkar rahasia terdalam dari dunia fisik, yang tidak terbatas hanya pada atom,--yang dulu dipandang sebagai bagian atau komponen terkecil dunia fisik yang tak bisa dibagi lagi,--tapi lebih dalam dari itu, menyelam ke dunia di bawah level atom (sub-atomic level), dengan ditemukannya hadron dan quark.

Fisika juga menemukan beberapa daya fundamental alam seperti gravitasi, elektromagnetik, golombang nuklir lemah (weak force) dan gelombang nuklir kuat (strong force). Di bidang minerologi, telah ditemukan substansi-substansi mineral yang jauh lebih mahal dari pada emas, perak bahkan intan dan berlian, seperti uranium dan plutonium.Selain itu, terungkap juga suatu kekuatan besar yang tidak terbayangkan sebelumnya yang justru muncul dari substansi yang paling kecil, yaitu atom dan bahkan dari inti atom, yaitu daya atom dan nuklir.

(Kuliah 3, Bagian 3)

Di ranah biologi, mata kita juga terbuka akan kemungkinan penciptaan alam, dan khususnya penciptaan makhluk-makhluk organik, secara evolutif, padahal selama ini kita hanya memahami penciptaan secara kreasionis, artinya bahwa makhluk-makhluk hidup ini tercipta secara sendiri-sendiri seperti yang kita lihat, dan bukan sebagai hasil sebuah evolusi.

Biologi juga telah menemukan sistem saraf, yang sangat penting dalam mempengaruhi seluruh aktivitas fisik manusia yang berpusat di otak. Dikenallah di sini dua macam sel saraf (neuron) manusia, yang berhubungan dengan penginderaan (sensasi) manusia, yaitu sel saraf sensoris, dan yang berhubungan dengan gerakan manusia, baik untuk mendapatkan atau menghindarkan sesuatu, yang disebut sel saraf motoris.

Di sini juga didiskusikan sebuah peristiwa sangat kecil yang disebut sebuah sinapsis, sebuah struktur yang memungkinkan sebuah sel saraf untuk melepaskan sejumlah signal elektrik atau kemikal (disebut neurotransmitter) ke sel yang lain. Dan kerja saraf ini luar biasa cepatnya, sehingga dalam masa kurang dari satu detik sel-sel saraf ini bisa melakukan puluhan juta neurotransmission, baik melalui sel sensoris ke otak atau sebaliknya dari otak melalui sel saraf motoris ke tempat tertentu yang terkena luka (the effected) di tubuh kita.

Di ranah psikologi, kita dikagetkan oleh pernyataan Freud, pendiri Psychoanalysis, bahwa seks (libido) merupakan pendorong tak sadar dari semua tindakan manusia. Apapun yang kita lakukan,--apakah itu bekerja, bersekolah, beemain, merokok--semua dikendalikan oleh dorongan seksual, atau terkait dengan itu. Puisi bahkan agama tak lain daripada sebentuk sublimasi dari dorongan libido.

Sedangkan John Watson, pendiri Behaviorisme, menyatakan bahwa tingkah laku manusia, sepenuhnya dikendalikan oleh kerja otak melalui sel-sel saraf (sensoris maupun motoris) yang menyebar ke seluruh tubuh. Sedangkan tindakan yang diambil seseorang, baginya, tak lain dari pada respon deterministik terhadap stimulus yang muncul di sekitar kita, sehingga muncullah S+R theory.

Kesan yang mendalam bagi saya dari Watson adalah kenyataan bahwa ia telah melakukan penelitian kepada sesuatu--yang tidak pernah dilakukan oleh siapapun sebelumnya,--yakni, tingkah laku manusia yang bersifat empiris, tanpa mengaitkannya dengan agen-agen non-fisik dan spiritual, tetapi langsung dengan kegiatan-kegiatan neuron. Dengan ini ia telah menyingkapkan banyak hal yang selama ini tersembunyi atau terabaikan dari pantauan.

(Kuliah 3, Bagian Akhir)

Terakhir, saya juga bisa belajar banyak dari para ahli sosiologi, terutama demarkasi yang mereka tarik antara "das sain" dan "das solen," yakni antara "apa yang ada," dan "apa yang seharusnya." Ini penting, terutama bagi mereka yang ingin mengetahui realitas sosial sebagaimana adanya dan bukan, seperti kebanyakan kita, sebagaimana seharusnya atau seidealnya.

Dari sosiologi, yang dikembangkan dalam perspektif sains modern, saya bisa belajar bagaimana mempelajari sebuah gejala (fenomena) sosial, khususnya agama, secara empiris. Jadi saya tahu dari mereka 6 aspek dari agama yang bisa dipelajari secara empiris-sosiologis, yaitu:

(1) esensi agama: meneliti lokus religiusitas yang sebenarnya, apakah pada kosep, tingkah laku atau akhlak, atau perasaan, atau, seperti dikatakan Rodulf Otto, pada idea kesucian (the Holy);
(2) asal-usul agama: meneliti asal-usul agama, misalnya dari animisme, ke dinamisme, ke polytheisme dan monotheisme, atau dari mitos, ke theologi, kemudian ke metafisik dan sains, seperti yang dikatakan August Comte;
(3) aspek deskripsi agama: penelurusan esensi agama melalui fenomenologi dari fenomena agama yang beragam menuju komponen dasar yang selalu ada di setiap agama;
(4) fungsi agama: yang meneliti misalnya pengaruh agama terhadap kegiatan ekonomi, seperti yang digambarkan oleh Max Weber terhadap Protestan dalam bukunya yang terkenal, The Protestant Ethics and the Rise of Capitalism,
(5) Bahasa Agama yang menurut Ernst Cassirer dan Suzan Langer, tidak bisa disamakan saja dengan bahasa biasa, karena sifatnya yang simbolis, sehingga dengan itu ia akan senantiasa bersifat transenden dan tak bisa dibatasi dalam ruang maupun waktu, dan terakhir
(6) perbandingan agama, di mana agama-agama dianalisa melalui studi komparasi yang simpatik dan objektif, bukan untuk menentukan mana yang lebih baik dan benar, tapi untuk saling memahami dan untuk tujuan damai.

(Kuliah 4, Bagian 1)

C. Manfaat Sains: Dari Segi Metodologis

Pada bagian ini saya akan mendiskusikan manfaat sains, bukan lagi secara teoritis, (karena hal itu sudah didiskusikan pada bagian sebelum ini), teatpi secara praktis-metodologis, yang itu bisa kita lihat dengan jelas pada teknologi. Tapi marilah kita mulai dengan penjelasan bagaimana dari sains bisa berkembang menjadi teknologi.

Pada awalnya teknologi diperlukan untuk membuat alat bantu penelitian ilmiah terhadap objek-objek empiris. Penekanan sains yang begitu kuat pada aspek empiris dari objek penelitiannya, di satu pihak, dan keterbatasan daya observasi indrawi di pihak lain, telah memaksa para ilmuwan untuk menciptakan alat-alat bantu penelitian, dari objek renik yang sangat kecil, sampai kepada objek alam yang sangat besar seperti galaksi. Untuk memiliki pengamatan yang lebih akurat tentang makhluk-makhluk renik, seperti virus, misalnya, seorang ilmuwan Belanda telah menciptakan sebuah mikroskop yang mampu membesarkan objeknya 300 kali, sehingga ia bisa menangkap gambar protozoa dan spermatozoa. Alat bantu penelitian ini terus diperbaiki. Karena itu, mikroskop, saat ini, telah berkembang sedemikian rupa sehingga sebuah mikroskop yang paling canggih, yang kemudian disebut "nanoskop mikrosfer" telah mampu mendeteksi virus yang masuk ke dalam sebuah sel. Padahal sebelumnya hanya bagian luar sel yang bisa terdeteksi. Mikroskop ini, dikatakan mampu menditeksi benda sekecil 20 nanometer.

Demikian juga, untuk meneliti benda-benda angkasa yang sangat jauh, para ilmuwan modern telah menciptakan sebuah alat pantau yang disebut teleskop. Dari teleskop yang sederhana, seperti yang diciptakan Galile Galileo, yang dengannya ia telah mempu mengambil gambar satelit Saturnus yang sangat besar (dan karena itu disebut Titan), sampai kepada apa yang dikenal sebagi "teleskop Hubble," yang diorbitkan di ruang angkasa pada ketinggian 569 km dari permukaan Bumi. Teleskop ini, dikatakan, mampu, karena tidak terhalang oleh atmosfer Bumi, mengambil gambar-gambar spektakular dari benda-benda angkasa yang dahulunya hanya ada dalam imajinasi saja. Bukan saja gambar bumi yang utuh untuk pertama kalinya, lebih dari itu teleskop Hubble juga mampu mengirim gambar nebulae, supernova, black hole, galaksi, bahkan gugus-gugus galaksi yang sangat menakjubkan. Begitu pun, untuk memiliki informasi yang lebih akurat tentang atmosfer dan cuasa bumi, para ilmuwan telah menciptakan satelit khusus untuk tujuan ittu. Dikatakan bahwa tujuan peluncuran Sputnik Rusia, satelit pertama yang pernah diluncurkan oleh Rusia, adalah untuk mengetahui kepekatan udara di atas lapisan eksosfer. Tentu saja masih banyak alat-alat penelitian ilmiah lainnya yang sangat dibutuhkan para ilmuan untuk menyempurnakan hasil penelitian mereka, yang tidak bisa disebutkan satu per satu di sini.

(Kuliah 4 Bagian 2)

Pertanyaannya adalah bagaimana dari sains berubah ke teknologi (sebagai pemanfaaatan pengetahuan untuk kesejahteraan manusia)?

Sebenarnya sejak dulu, ketika manusia menimba ilmu, ia lakukan untuk memberi manfaat bagi dirinya. Tentu saja kita tidak mau menjadi pemikir yang, seperti dikatakan Karl Mark, puas dengan menafsirkan dunia. Para ilmuwan mengetahui objeknya dengan benar justeru dalam rangka memanfaatkannya bagi keuntungan dan kesejahteraan manusia. Sebab secanggih apapun teori dan metode saintifik, kalau tidak dipergunakan untuk kepentingan dan keuntungan manusia, maka sains tidak akan memberi manfaat apa-apa kecuali kepuasan intelektual. William James, bapak Pragmatisme, bahkan pernah berujar, bahwa “Sebuah teori tidak akan dikatakan benar, kalau ia tidak memberi manfaat bagi manusia."

Masalahnya sekarang adalah bagaimana sains beralih ke teknologi? Kebutuhan metodologis ilmiah, telah mendorong bahkan memaksa para ilmuwan untuk menciptakan alat-alat penelitian, dari yang sederhana sampai kepada yang canggih, seperti yang disinggung di atas (mikroskop, teleskop dan satelit). Tetapi di kemudian hari, ternyata alat-alat penelitian itu dapat digunakan bukan hanya untuk tujuan penelitian (untuk mengetahui objek sebagaimana adanya), tetapi juga untuk manfaat yang lain. Misalnya satelit, tidak hanya berguna untuk mengetahui kepekatan udara di atas atmosfer, yang mungkin berguna untuk pengetahuan meteorologis dan geofisika, tetapi juga bisa digunakan untuk sistem telekomunikasi, yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Dengan sistem telekomunikasi seperti ini, di mana saja, orang dapat berkomunikasi dengan kecepatan yang luar biasa. (Contoh, sekarang ini, dari kamar yang sepi ini saya bisa mengontak anda yang berada ditempat yang jauh dan berbeda-beda). Juga satelit bisa digunakan untuk tujuan militer atau operasi penyelamatan (SAR). Demikian juga fakta penelitian yang dihasilkan oleh alat penelitian (seperti mikroskop) bisa dimanfatkan untuk kepentingan manusia, misalnya, di bidang kesehatan.

(Kuliah 4, Bagian 3)

Virus atau bakteri tertentu yang terpantau dalam sebuah alat, ternyata bisa digunakan misalnya untuk kepentingan anti-biotik, termasuk vaksin. Bahkan penelitian terhadap inti sel, dan ditemukannya DNA pada inti sel tersebut, dapat digunakan untuk tujuan tertentu yang sangat berguna secara praktis (mengidentifikasi korban kecelakaan pesawat Shukoi yang sudah hancur, misalnya, atau mengidentifikasi anak yang hilang dsb.) Demikian juga penemuan kekuatan uap, yang tadinya dilakukan hanya untuk mengetahui kekuatan alamiah dari batubara, misalnya, telah diarahkan untuk menghasilkan mesin uap, yang bisa digunakan sebagai alat transportasi yang sangat berguna, semisal kereta api, dan telah memicu terjadinya revolusi industri di Eropa. Demikian juga penemuan daya elektrik, sebagai hasil kegiatan ilmiah, telah dikembangkan, melalui teknologi, bukan hanya sebagai alat penerang rumah tangga, melalui lampu pijarnya, tetapi juga untuk membantu pengoperasian mesin-mesin tertentu yang membutuhkan tenaga elektrik, seperti komputer yang kita gunakan ini. Demikain juga penemuan sinar x, yang semula adalah hasil penelitian murni, ternyata bisa dgunakan untuk tujuan yang beragam, seperti untuk meronsen, mengoperasi organ-organ internal manusia. Sementara alat-alat optik, yang semula, diciptakan untuk mempertajam pengamatan terhadap objek renik, ternyata bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki penglihatan kita, dan dari situ muncullah industri kacamata. 

Tentu saja masih banyak contoh serupa ini yang tidak bisa diperinci semuanya di sini.Tapi dengan ini saya harap anda bisa mengerti bagaimana pergeseran yang terjadi dari sains (yang tugasnya mencari tahu tentang objek sebagaimana adanya) ke pemanfaatan baik alat maupun hasil penelitiannya ke dalam teknologi. Atau dengan kata lain dari upaya memahani dan menafsirkan dunia, ke arah merubahnya, sebagai jawaban dari keresahan Karl Marx, yang suatu ketika pernah berkata: "Para filosof bersibuk diri untuk menafsirkan dunia. Poinnya adalah bagaimana merubahnya?"