Sufi

disalin dari FB Alfathri Adlin

Imam Syafi’i (Muhammad bin Idris, 150-205 H ; Ulama besar pendiri mazhab Syafi’i) berkata, “Saya berkumpul bersama orang-orang sufi dan menerima 3 ilmu:

1. Mereka mengajariku bagaimana berbicara;
2. Mereka mengajariku bagaimana memperlakukan orang lain dengan kasih sayang dan kelembutan hati;
3. Mereka membimbingku ke dalam jalan tasawuf.”

(Riwayat dari kitab Kasyf al-Khafa dan Muzid al Albas, Imam ‘Ajluni, vol. 1, hal. 341)

*

Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H ; Ulama besar pendiri mazhab Hanbali) berkata, “Anakku, kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka selalu mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka adalah orang-orang zuhud yang memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi. Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka.”

(Ghiza al Albab, vol. 1, hal. 120 ; Tanwir al Qulub, hal. 405, Syaikh Amin al Kurdi)

*

Bahkan Ibnu Taimiyyah (661-728 H), salah seorang ulama yang dikenal keras menentang tasawuf, sebenarnya beliaupun mengambil bai’at dan menjadi pengikut thariqah Qadiriyyah.

Berikut ini perkataan Ibnu Taimiyyah di dalam kitab Majmu al Fatawa Ibn Taimiyyah, terbitan Dar ar Rahmat, Kairo, Vol. 11, hal. 497, dalam bab. Tasawuf : “Kalian harus mengetahui bahwa para syaikh yang terbimbing harus diambil dan diikuti sebagai petunjuk dan teladan dalam agama, karena mereka mengikuti jejak Para Nabi dan Rasul. Thariqah para syaikh itu adalah untuk menyeru manusia kepada kehadiran dalam Hadhirat Allah dan ketaatan kepada Nabi.”

Di antara para syaikh sufi yang beliau sebutkan untuk diikuti di dalam kitabnya adalah, "Syaikh Ibrahim ibn Adham ra, guru kami Syaikh Ma’ruf al Karkhi ra, Syaikh Hasan al Basri ra, Sayyidah Rabi’ah al Adawiyyah ra, guru kami Syaikh Abul Qasim Junaid ibn Muhammad al Baghdadi ra, guru kami Syaikh Abdul Qadir al Jailani, Syaikh Ahmad ar Rifa’i ra," di dalam kitab “Syarh al Aqidah al Asfahaniyyah” hal. 128

*

Ibn Khaldun (733-808 H ; Ulama besar dan filosof Islam) berkata, “Jalan sufi adalah jalan salaf, yakni jalannya para ulama terdahulu di antara para sahabat Rasulullah Saw, tabi’in, dan tabi’it-tabi’in.”

(Muqadimah ibn Khaldun, hal. 328).

*

Imam Jalaluddin as Suyuti (Ulama besar ahli tafsir Qur’an dan hadits) di dalam kitab Ta’yad al haqiqat al ‘Aliyyah, hal. 57 berkata, “Tasawuf yang dianut oleh ahlinya adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Ilmu ini menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah Nabi Saw dan meninggalkan bid’ah.”

*

"Siapa yang berilmu tetapi tidak bertashawwuf, maka ia fasik. Siapa yang bertashawwuf namun tidak berfikih, ia zindik." (Pepatah Sufi)

*

Ada seorang pedagang sayur mempunyai seekor burung beo yang dapat bicara dan merdu suaranya.
Sambil bertengger di atas bangku, dia mengawasi kedai apabila pemiliknya sedang tidak berada di kedai dan berbicara lembut kepada semua pedagang.
Jika ia berbicara dengan manusia, maka ia akan bercakap seperti manusia. Ia pun lihai menyanyikan kicau burung beo lain.
Suatu kali ia melompat dari bangku dan terbang; sebuah botol berisi minyak tumpah membentur tubuhnya.
Pemiliknya datang dari arah rumahnya dan duduk di atas bangku seenaknya seperti biasanya seorang pedagang.
Dilihatnya bangku penuh tumpahan minyak dan bajunya kotor; ditangkapnya kepala burung beo itu, lalu ia gunduli.
Selama beberapa hari burung beo itu tidak mau bicara; si pedagang sayur penuh penyesalan menarik napas dalam-dalam.
Janggutnya basah kuyup oleh air mata dan berkata, "Sialan! Matahari kelimpahanku kini telah lenyap di bawah arakan mendung. Apa tanganku akan lunglai tanpa daya? Bagaimana aku mestinya menghajar kepala burung beo yang bersuara merdu itu?"
Dia memberikan sedekah kepada setiap darwis, agar ia bisa mendengar kembali suara burungnya.
Sesudah tiga hari tiga malam, ia duduk lagi di bangku kedainya, sedih dan bingung seperti orang putus asa, sambil menceritakan segala keajaiban burungnya dengan harapan beo itu bisa berbicara lagi.
Ketika itu seorang darwis sedang lewat, mengenakan jubah bulu domba, dan kepalanya gundul seperti cawan dan kolam di luar.
Ini membuat burung itu kembali berbicara, meneriaki sang darwis, dan berkata, "Hai ikhwan! Mengapa kepalamu botak, hai Gundul? Apa kau menumpahkan minyak dari botol seperti aku?"
Orang yang melihat tertawa mendengar ucapan burung itu, sebab ia beranggapan pemakai jubah bulu domba itu seperti dirinya.

(Maulana Jalaluddin Rumi)