Mulyadhi Kartanegara
Negative Theology, Via Negativa, Bila Kayfa, Tanzih dan Tasybih
Setelah melihat komentar-komentar pendek dari postingan saya terakhir, "Mengapa tuhan tidak bisa kita kenal?" saya menyimpulkan adanya salah paham terhadapnya. Seperti ungkapan, "Kalau begitu Tuhan hanyalah sebuah ilusi." Dengan demikian saya ingin menjelaskan beberapa konsep penting di atas.
Negative Theology. Sepintas istilah ini seperti ingin menolak teologi atau menolak Tuhan itu sendiri. Tapi sebenarnya bukan itu yang dimaksud. Istilah ini dipakai untuk menjelaskan bahwa Tuhan tidak bisa dinyatakan secara positif, seperti Tuhah seperti ini atau seperti itu. Tapi bisa diperikan dengan cara menyelipkan kata "tidak" atau "bukan", seperti pernyatan Tuhan TIDAK seperti apapun, TIDAK ada sesuatu apapun yang setara dengan-Nya.
Dalam al-Qur'an kita temukan ungkapan seperti itu, misalnya: ليس كمثله شيئ ataupun ولم يكن له كفوا احد . Atau dalam Taoisme kita mendapatkan ungkapan seperti, "Tao adalah bahwa kalau ada orang mengatakan inilah Tao, maka ia BUKAN-lah Tao."
Via Negativa. Istilah lain yang terhubung dengan Negative Theology, adalah Via Negativa. Istilah Latin ini merujuk pada cara Negatif dalam mendeskripsikan Tuhan. Tuhan bukan ini atau itu. Jadi hampir sama dengan istilah Negative Theology.
Bila Kayfa. Dalam teologi Islam, terutama Asy'ariyyah, ada istilah "bila kayfa," artinya tanpa tahu bagaimana. Ini juga sebenarnya hampir sama dengan via negativa. Istilah ini digunakan ketika mereka ingin menjelaskan, misalnya tentang sifat Allah. Mereka mengatakan, ketika Tuhan digambarkan al-Qur'an duduk di Arasy, maka menurut mereka memanglah Ia duduk di atas Arasy tanpa bertanya bagaimana duduknya, Tuhan punya wajah dan tangan seperti yang dinyatakan dalam al-Qur'an, TANPA harus bertanya dan tahu bagaimana wajah dan tangan-Nya itu. Ini dilakukan karena Allah memang berbeda dengan apapun, karena dia itu unik (ahad), satu-satunya, tiada bandingan, tiada taranya.
Tanzih. Tanzih merujuk pada transendensi Tuhan, di mana Tuhan digambarkan sebagai mengatasi, berada di luar jangkauan manusia untuk memahaminya. Al-Qur'an merujuk pada fakta ini dalam ungkapan سبحان الله عما يصفون artinya maha suci Allah (artinya terlepas, mengatasi) dari apa yang mereka deskripsikan.
Dengan ini al-Qur'an ingin menjelaskan bahwa apapun yang manusia perikan atau deskripsikan tentang Allah, Allah mengatasi/mentransenden semua pemerian atau deskripsi tersebut. Istilah ini biasanya digunakan oleh para sufi untuk menggambarkan zat Allah yang tidak sama dengan benda apapun atau dengan konsep apapun dari manusia.
Meskipun begitu, ketidakmampuan manusia untuk mengetahui zat Allah, sama sekali tidak sama dengan penolakan terhadap keberadaan-Nya atau disamakan dengan ilusi.
Ketidakmampuan manusia menunjukkan betapa tingginya Dia. Karena kita pun tahu bahwa kita tidak bisa melihat ultra-violet atau infra merah, sinar x, sinar gamma dll. Tapi kita pun tahu bahwa itu sama sekali tidak berarti bahwa mereka tidak ada. Mereka ada, tetapi mata kita tidak bisa menangkapnya. Dan kita sebagai orang beriman tidak boleh menolak yang ghaib hanya karena kita tidak bisa melihatnya.
Janganlah kita seperti kodok yang sejak lahir tercebur ke sumur yang dalam, dan mengatakan kepada kodok yang lain yang kebetulan jatuh ke sumur tersebut bahwa di atas sana tidak ada sesuatu apapun yang tidak bisa dia lihat, misalnya tidak ada rumah, pohon, sungai maupun gunung. Dan sekalipun kodok yang diajak bicara mencoba meyakinkannya bahwa di atas sana banyak hal yang menarik, ia akan tetap menolaknya. Tetapi kitapun tahu bahwa penolakan kodok terhadap rumah, sungai, pohon yang tidak pernah ia lihat, tidak akan berarti bahwa mereka itu benar-benar tidak ada. Jangan karena kita tidak tahu, lalu mengakatan tidak ada.
Tasybih. Istilah terakhir yang ingin saya jelaskan adalah Tasybih. Istilah ini juga digunakan oleh para sufi, khususnya Ibn 'Arabi untuk menjelaskan kemungkinan manusia untuk mengetahui Tuhan secara lebih positif, tentunya tidak melalui zat-Nya tapi melalui sifat atau asma-Nya. Kalau tanzih menekankan segi perbedaan kita dengan Tuhan, tasybih menekankan segi "persamaan" manusia dengan-Nya dari aspek sifat-sifat-Nya. Misalnya sifat mengetahui (alim), hidup (hayy) berkuasa (qadir) dll. sampai taraf tertentu berbagi dengan manusia.
Nah, persamaan inilah yang menyebabkan kita mengerti apa itu tahu, apa itu hidup dan apa itu kuasa, justru karena kita memiliki kesamaan tersebut. Dan kalau ketidakmampuan kita mengenal zat Allah adalah karena ketidaksamaan kita dengan-Nya, maka kesamaan yang ada antara manusia dan Tuhan menyebabkan pengetahuan kita tentang sifat-sifat-Nya secara positif.
Alam adalah cermin dari sifat-sifat Tuhan, dan kita dimungkinkan untuk mengetahui sifat-sifat tertentu dari-Nya melalui cermin tersebut. Misalnya, Tuhan maha besar, dan kebesarannya bisa dilihat dan dimengerti dari besar dan luasnya alam semesta yang Dia ciptakan, sebab kita akan mengatakan kalau ciptaannya saja sebegitu besarnya, maka pastilah pencipta-Nya akan jauh lebih besar darinya, tidak terbayang bahwa ciptaan akan "lebih besar" daripada Penciptanya, atau bahwa pencipta alam akan "lebih kecil" dari ciptaan-Nya.
: :
Sebermula adalah ini...
Kontroversi Seputar Ungkapan "Tuhan Telah Membusuk"
Itulah bunyi spanduk yang dipasang dalam Ospek Fakultas Ushuluddin UIN Surabaya. Dan seperti telah kita ketahui bersama telah menuai kontroversi yang memanas. Terus terang saya tidak bisa "membaca pikiran" orang yang menulisnya, dan juga maksud yang tersembunyi di baliknya. Tapi ungkapan seperti itu telah mengingatkan saya pada ungkapan serupa, bahkan lebih parah lagi dari Nietzsche: "Tuhan telah mati," (God is Dead). Bagi kita yang masih waras dan percaya pada Tuhan, mana mungkin Tuhan sejati kita akan mati atau bahkan membusuk. Yang lain boleh mati dan membusuk, tapi Dia sang Pencipta alam semesta tidak boleh. Jadi hanya orang yang pendek pikirannya yang akan percaya pada ungkapan-ungkapan bombastis seperti itu, dan ga mungkin iman kita akan runtuh hanya gara-gara ungkapan seperti itu.
Tapi kalau kita tilik lebih dalam lagi, barangkali tuhan yang dimaksud di sini adalah Tuhan sebagai konsep. Saya pernah membedakan antara Tuhan ontologis dan epistemologis. Secara ontologis, kata ini merujuk pada Tuhan yang sebenarnya, Tuhan pencipta alam dan manusia. Ini adalah Tuhan yang abadi, yang tidak akan pernah mati apalagi membusuk. Tapi tuhan secara epistemologis adalah Tuhan dalam bentuk konsep, yakni Tuhan yang kita konsepsikan. Nah, Tuhan inilah yang bisa mengalami perubahan dan beragam, yang boleh benar dan boleh keliru. Tuhan yang seperti inilah yang bisa hidup dan bisa mati, bisa terus subur ataupun layu, yang bisa segar terus atau bisa juga membusuk. Tuhan yang seperti inilah yang dikatakan oleh Nietzsche telah mati dalam diri dan kehidupannya. Ketika kita tidak lagi merasakan kehadiran Tuhan dalam hati kita, ketika kita tak lagi peduli akan perintah dan larangan-Nya, ketika itulah kita bisa mengatakan bahwa Tuhan telah mati dari hati dan hidup kita. Tapi Tuhan yang sejati, Tuhan ontologis, tak akan pernah mati, layu ataupun membusuk.
Nah, semoga tulisan ini bisa sedikit meredup ketegangan yang ada atas terpampangnya spanduk yang bertuliskan Tuhan telah membusuk. Saran saya janganlah membuat tulisan, spanduk, palakat yang kontroversial seperti itu, karena boleh jadi itu malah negatif dan kontraprodukdtif. Wallahu a'lam.
Antara Tuhan Sejati dan Tuhan Palsu
Ketika Sigmund Freud mengatakan bukan Tuhan yang menciptakan kita, tapi kitalah yang menciptakan Tuhan, maka jelas yang dimaksud tuhan di sini adalah gambaran, sangkaan dan konsep manusia. Karena itu dikatakan manusialah yang menciptakan Tuhan. Sudah pasti itu bukan Tuhan yang sebenarnya. Ini diperjelas dengan ungkapan berikutnya bahwa Tuhan itu ilusi, tidak real, karena ia berasal dari keinginan manusia (human wishes). Nah, Tuhan seperti inilah yang barangkali dikatakan Nietzsche sudah mati dan memang bisa mati. Menurut saya ini 'wajib' dibedakan dengan Tuhan sejati yang telah menyebabkan adanya kita dan menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Tuhan yang sejati tak mungkin akan mati, atau layu dan membusuk.
Dalam khazanah Islam, al-Ghazali dalam bukunya Misykat al-Anwar telah menjelaskan sebanyak 70 konsep ketuhanan yang keliru, yang justru menjadi hijab yang menghalangi manusia "melihat" wajah Tuhan yang sejati. Pemahaman yang keliru tentang Tuhan digambarkan juga dalam al-Qur'an dalam episode Nabi Ibrahim mencari Tuhan. Tuhan bukanlah, bintang, bulan ataupun matahari.
Mengapa Zat Tuhan Tidak Bisa Kita Ketahui?
Sudah lama para filosof berbicara tentang ketidakmungkinan kita mengenal zat atau esensi Tuhan, sehingga muncullah istilah negative theology atau "via negativa." Kaum Neo-Platonis menyebut Tuhan, the Great Unknown. Kaum Taois di Cina, pernah mengatakan, kalau ada orang yang mengatakan inilah Tao, maka pasti itu bukanlah Tao. Budha sendiri juga memandang sia-sia orang yang menanyakan tentang hakikat Tuhan. Ketika ditanya apa itu Tuhan, beliau menjawab, lebih baik kita tidak menanyakan itu, tapi tanyakan bagaimana cara mendekatkan diri pada-Nya.
Pertanyaannya mengapa, tak bisa diketahui? Jawaban al-Qur'an adalah, "karena tak ada suatu apapun yang sama atau serupa dengan-Nya" (ليس كمثله شيئ). Jadi, apapun yang kita bayangkan tentang Tuhan, apapun konsep kita tentangnya, maka pastilah ia merujuk pada sesuatu, padahal telah jelas bahwa Ia berbeda dengan sesuatu apapun. Keberbedaan Tuhan dengan apapaun termasuk dengan manusia yang dirujuk oleh para Sufi sebagai "tanzih." Karena sifat tanzih inilah maka tidak akan ada jalan bagi manusia untuk mengetahui Allah.
Lalu bagaimana untuk mengenal-Nya? Ketika zat Allah tidak bisa dikenal karena aspek tanzihnya, untungnya Ia bisa dikenal lewat aspek tasybih-Nya, yakni keserupaan yang ada antara Tuhan dan manusia, bukan dalam hal zat-Nya, tapi lewat sifat-sifat-Nya. Manusia sebagai cermin Tuhan, berbagi sifat-sifat tertentu dengan-Nya. Bukankah Allah bersifat mengetahui, hidup dan berkehendak, dan bukankah sifat-sifat ini juga dimiliki oleh manusia? Nah, adanya keserupaan (tasybih) antara keduanya inilah yang menyebabkan manusia berkemungkinan mengenal Allah dari aspek sifat-sifat atau dalam istilah Qur'an-nya nama-nama (asma)-Nya. Kalau tidak, mengapa Ia mengenalkan nama-nama-Nya kepada manusia. Kenyataan bahwa Ia mengenalkan nama-nama-Nya lewat wahyunya, menjadi bukti bagi para sufi tentang kemungkinan manusia untuk mengetahui Tuhannya.
Negative Theology, Via Negativa, Bila Kayfa, Tanzih dan Tasybih
Setelah melihat komentar-komentar pendek dari postingan saya terakhir, "Mengapa tuhan tidak bisa kita kenal?" saya menyimpulkan adanya salah paham terhadapnya. Seperti ungkapan, "Kalau begitu Tuhan hanyalah sebuah ilusi." Dengan demikian saya ingin menjelaskan beberapa konsep penting di atas.
Negative Theology. Sepintas istilah ini seperti ingin menolak teologi atau menolak Tuhan itu sendiri. Tapi sebenarnya bukan itu yang dimaksud. Istilah ini dipakai untuk menjelaskan bahwa Tuhan tidak bisa dinyatakan secara positif, seperti Tuhah seperti ini atau seperti itu. Tapi bisa diperikan dengan cara menyelipkan kata "tidak" atau "bukan", seperti pernyatan Tuhan TIDAK seperti apapun, TIDAK ada sesuatu apapun yang setara dengan-Nya.
Dalam al-Qur'an kita temukan ungkapan seperti itu, misalnya: ليس كمثله شيئ ataupun ولم يكن له كفوا احد . Atau dalam Taoisme kita mendapatkan ungkapan seperti, "Tao adalah bahwa kalau ada orang mengatakan inilah Tao, maka ia BUKAN-lah Tao."
Via Negativa. Istilah lain yang terhubung dengan Negative Theology, adalah Via Negativa. Istilah Latin ini merujuk pada cara Negatif dalam mendeskripsikan Tuhan. Tuhan bukan ini atau itu. Jadi hampir sama dengan istilah Negative Theology.
Bila Kayfa. Dalam teologi Islam, terutama Asy'ariyyah, ada istilah "bila kayfa," artinya tanpa tahu bagaimana. Ini juga sebenarnya hampir sama dengan via negativa. Istilah ini digunakan ketika mereka ingin menjelaskan, misalnya tentang sifat Allah. Mereka mengatakan, ketika Tuhan digambarkan al-Qur'an duduk di Arasy, maka menurut mereka memanglah Ia duduk di atas Arasy tanpa bertanya bagaimana duduknya, Tuhan punya wajah dan tangan seperti yang dinyatakan dalam al-Qur'an, TANPA harus bertanya dan tahu bagaimana wajah dan tangan-Nya itu. Ini dilakukan karena Allah memang berbeda dengan apapun, karena dia itu unik (ahad), satu-satunya, tiada bandingan, tiada taranya.
Tanzih. Tanzih merujuk pada transendensi Tuhan, di mana Tuhan digambarkan sebagai mengatasi, berada di luar jangkauan manusia untuk memahaminya. Al-Qur'an merujuk pada fakta ini dalam ungkapan سبحان الله عما يصفون artinya maha suci Allah (artinya terlepas, mengatasi) dari apa yang mereka deskripsikan.
Dengan ini al-Qur'an ingin menjelaskan bahwa apapun yang manusia perikan atau deskripsikan tentang Allah, Allah mengatasi/mentransenden semua pemerian atau deskripsi tersebut. Istilah ini biasanya digunakan oleh para sufi untuk menggambarkan zat Allah yang tidak sama dengan benda apapun atau dengan konsep apapun dari manusia.
Meskipun begitu, ketidakmampuan manusia untuk mengetahui zat Allah, sama sekali tidak sama dengan penolakan terhadap keberadaan-Nya atau disamakan dengan ilusi.
Ketidakmampuan manusia menunjukkan betapa tingginya Dia. Karena kita pun tahu bahwa kita tidak bisa melihat ultra-violet atau infra merah, sinar x, sinar gamma dll. Tapi kita pun tahu bahwa itu sama sekali tidak berarti bahwa mereka tidak ada. Mereka ada, tetapi mata kita tidak bisa menangkapnya. Dan kita sebagai orang beriman tidak boleh menolak yang ghaib hanya karena kita tidak bisa melihatnya.
Janganlah kita seperti kodok yang sejak lahir tercebur ke sumur yang dalam, dan mengatakan kepada kodok yang lain yang kebetulan jatuh ke sumur tersebut bahwa di atas sana tidak ada sesuatu apapun yang tidak bisa dia lihat, misalnya tidak ada rumah, pohon, sungai maupun gunung. Dan sekalipun kodok yang diajak bicara mencoba meyakinkannya bahwa di atas sana banyak hal yang menarik, ia akan tetap menolaknya. Tetapi kitapun tahu bahwa penolakan kodok terhadap rumah, sungai, pohon yang tidak pernah ia lihat, tidak akan berarti bahwa mereka itu benar-benar tidak ada. Jangan karena kita tidak tahu, lalu mengakatan tidak ada.
Tasybih. Istilah terakhir yang ingin saya jelaskan adalah Tasybih. Istilah ini juga digunakan oleh para sufi, khususnya Ibn 'Arabi untuk menjelaskan kemungkinan manusia untuk mengetahui Tuhan secara lebih positif, tentunya tidak melalui zat-Nya tapi melalui sifat atau asma-Nya. Kalau tanzih menekankan segi perbedaan kita dengan Tuhan, tasybih menekankan segi "persamaan" manusia dengan-Nya dari aspek sifat-sifat-Nya. Misalnya sifat mengetahui (alim), hidup (hayy) berkuasa (qadir) dll. sampai taraf tertentu berbagi dengan manusia.
Nah, persamaan inilah yang menyebabkan kita mengerti apa itu tahu, apa itu hidup dan apa itu kuasa, justru karena kita memiliki kesamaan tersebut. Dan kalau ketidakmampuan kita mengenal zat Allah adalah karena ketidaksamaan kita dengan-Nya, maka kesamaan yang ada antara manusia dan Tuhan menyebabkan pengetahuan kita tentang sifat-sifat-Nya secara positif.
Alam adalah cermin dari sifat-sifat Tuhan, dan kita dimungkinkan untuk mengetahui sifat-sifat tertentu dari-Nya melalui cermin tersebut. Misalnya, Tuhan maha besar, dan kebesarannya bisa dilihat dan dimengerti dari besar dan luasnya alam semesta yang Dia ciptakan, sebab kita akan mengatakan kalau ciptaannya saja sebegitu besarnya, maka pastilah pencipta-Nya akan jauh lebih besar darinya, tidak terbayang bahwa ciptaan akan "lebih besar" daripada Penciptanya, atau bahwa pencipta alam akan "lebih kecil" dari ciptaan-Nya.
: :
Sebermula adalah ini...
Kontroversi Seputar Ungkapan "Tuhan Telah Membusuk"
Itulah bunyi spanduk yang dipasang dalam Ospek Fakultas Ushuluddin UIN Surabaya. Dan seperti telah kita ketahui bersama telah menuai kontroversi yang memanas. Terus terang saya tidak bisa "membaca pikiran" orang yang menulisnya, dan juga maksud yang tersembunyi di baliknya. Tapi ungkapan seperti itu telah mengingatkan saya pada ungkapan serupa, bahkan lebih parah lagi dari Nietzsche: "Tuhan telah mati," (God is Dead). Bagi kita yang masih waras dan percaya pada Tuhan, mana mungkin Tuhan sejati kita akan mati atau bahkan membusuk. Yang lain boleh mati dan membusuk, tapi Dia sang Pencipta alam semesta tidak boleh. Jadi hanya orang yang pendek pikirannya yang akan percaya pada ungkapan-ungkapan bombastis seperti itu, dan ga mungkin iman kita akan runtuh hanya gara-gara ungkapan seperti itu.
Tapi kalau kita tilik lebih dalam lagi, barangkali tuhan yang dimaksud di sini adalah Tuhan sebagai konsep. Saya pernah membedakan antara Tuhan ontologis dan epistemologis. Secara ontologis, kata ini merujuk pada Tuhan yang sebenarnya, Tuhan pencipta alam dan manusia. Ini adalah Tuhan yang abadi, yang tidak akan pernah mati apalagi membusuk. Tapi tuhan secara epistemologis adalah Tuhan dalam bentuk konsep, yakni Tuhan yang kita konsepsikan. Nah, Tuhan inilah yang bisa mengalami perubahan dan beragam, yang boleh benar dan boleh keliru. Tuhan yang seperti inilah yang bisa hidup dan bisa mati, bisa terus subur ataupun layu, yang bisa segar terus atau bisa juga membusuk. Tuhan yang seperti inilah yang dikatakan oleh Nietzsche telah mati dalam diri dan kehidupannya. Ketika kita tidak lagi merasakan kehadiran Tuhan dalam hati kita, ketika kita tak lagi peduli akan perintah dan larangan-Nya, ketika itulah kita bisa mengatakan bahwa Tuhan telah mati dari hati dan hidup kita. Tapi Tuhan yang sejati, Tuhan ontologis, tak akan pernah mati, layu ataupun membusuk.
Nah, semoga tulisan ini bisa sedikit meredup ketegangan yang ada atas terpampangnya spanduk yang bertuliskan Tuhan telah membusuk. Saran saya janganlah membuat tulisan, spanduk, palakat yang kontroversial seperti itu, karena boleh jadi itu malah negatif dan kontraprodukdtif. Wallahu a'lam.
Antara Tuhan Sejati dan Tuhan Palsu
Ketika Sigmund Freud mengatakan bukan Tuhan yang menciptakan kita, tapi kitalah yang menciptakan Tuhan, maka jelas yang dimaksud tuhan di sini adalah gambaran, sangkaan dan konsep manusia. Karena itu dikatakan manusialah yang menciptakan Tuhan. Sudah pasti itu bukan Tuhan yang sebenarnya. Ini diperjelas dengan ungkapan berikutnya bahwa Tuhan itu ilusi, tidak real, karena ia berasal dari keinginan manusia (human wishes). Nah, Tuhan seperti inilah yang barangkali dikatakan Nietzsche sudah mati dan memang bisa mati. Menurut saya ini 'wajib' dibedakan dengan Tuhan sejati yang telah menyebabkan adanya kita dan menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Tuhan yang sejati tak mungkin akan mati, atau layu dan membusuk.
Dalam khazanah Islam, al-Ghazali dalam bukunya Misykat al-Anwar telah menjelaskan sebanyak 70 konsep ketuhanan yang keliru, yang justru menjadi hijab yang menghalangi manusia "melihat" wajah Tuhan yang sejati. Pemahaman yang keliru tentang Tuhan digambarkan juga dalam al-Qur'an dalam episode Nabi Ibrahim mencari Tuhan. Tuhan bukanlah, bintang, bulan ataupun matahari.
Lebih dari itu al-Qur'an juga menyinggung tentang sebagian manusia yang mempertuhan hawa nafsunya atau menuhankan sesuatu yang tidak bisa memberi manfaat atau mudarat. Karena itu menurut saya, memang penting membedakan antara Tuhan sejati yang abadi dan tuhan-tuhan lain yang palsu, yang pasti tidak akan abadi dan bisa mati maupun membusuk. Wallahu a'lam.
Mengapa Zat Tuhan Tidak Bisa Kita Ketahui?
Sudah lama para filosof berbicara tentang ketidakmungkinan kita mengenal zat atau esensi Tuhan, sehingga muncullah istilah negative theology atau "via negativa." Kaum Neo-Platonis menyebut Tuhan, the Great Unknown. Kaum Taois di Cina, pernah mengatakan, kalau ada orang yang mengatakan inilah Tao, maka pasti itu bukanlah Tao. Budha sendiri juga memandang sia-sia orang yang menanyakan tentang hakikat Tuhan. Ketika ditanya apa itu Tuhan, beliau menjawab, lebih baik kita tidak menanyakan itu, tapi tanyakan bagaimana cara mendekatkan diri pada-Nya.
Pertanyaannya mengapa, tak bisa diketahui? Jawaban al-Qur'an adalah, "karena tak ada suatu apapun yang sama atau serupa dengan-Nya" (ليس كمثله شيئ). Jadi, apapun yang kita bayangkan tentang Tuhan, apapun konsep kita tentangnya, maka pastilah ia merujuk pada sesuatu, padahal telah jelas bahwa Ia berbeda dengan sesuatu apapun. Keberbedaan Tuhan dengan apapaun termasuk dengan manusia yang dirujuk oleh para Sufi sebagai "tanzih." Karena sifat tanzih inilah maka tidak akan ada jalan bagi manusia untuk mengetahui Allah.
Lalu bagaimana untuk mengenal-Nya? Ketika zat Allah tidak bisa dikenal karena aspek tanzihnya, untungnya Ia bisa dikenal lewat aspek tasybih-Nya, yakni keserupaan yang ada antara Tuhan dan manusia, bukan dalam hal zat-Nya, tapi lewat sifat-sifat-Nya. Manusia sebagai cermin Tuhan, berbagi sifat-sifat tertentu dengan-Nya. Bukankah Allah bersifat mengetahui, hidup dan berkehendak, dan bukankah sifat-sifat ini juga dimiliki oleh manusia? Nah, adanya keserupaan (tasybih) antara keduanya inilah yang menyebabkan manusia berkemungkinan mengenal Allah dari aspek sifat-sifat atau dalam istilah Qur'an-nya nama-nama (asma)-Nya. Kalau tidak, mengapa Ia mengenalkan nama-nama-Nya kepada manusia. Kenyataan bahwa Ia mengenalkan nama-nama-Nya lewat wahyunya, menjadi bukti bagi para sufi tentang kemungkinan manusia untuk mengetahui Tuhannya.