Manusia Paripurna, Insan Kamil

Mulyadhi Kartanegara

Hanya mereka yang mampu mentransenden diri konvensional, yang akan mampu menjadi manusia paripurna.

Maksudnya mentransenden itu melampaui. Jadi mereka yang bisa melampaui diri yang konvensional, yaitu diri yang dibentuk oleh sebuah masyarakat dan bukan yang diperoleh sebagai sebuah pencaharian yang intens.

Kebanyakan kita masih memiliki diri konvensional, sebuah istilah yang digunakan oleh seorang psikolog Iran, Reza Arasteh. Diri konvensional merenurut beliau adalah diri yang dibentuk oleh masyarakat, seperti etniciti, mazhab, sekte, nasionalitas dsb. Misalnya saya orang sunda, tapi sebagai seorang sunda kita masih belum bisa mengatasi diri sundanis, sehingga memandang etnis yang lain sebagai berbeda, lebih buruk dsb. Demikian juga kita masih terbentuk oleh mazhab dan sekte tertentu dan menganggap mazhab lain salah atau kurang sempurna dibanding dengan yang lain. Demikian juga diri nasionalis dan juga religius. Manusia paripurna adalah manusia yang mampu mengatasi semua sehingga memperlakukan manusia dari manapun asalnya, apapun kulit warnanya, apapun mazhabnya, nasionalitasnya bahkan agamanya, dengan penuh perhatian, cinta, simpati dan kasih sayang, tanpa buruk sangka dan projudis.

Apakah agama bisa juga disebut sebagai salah satu sekat?

Sebenarnya pada insan kamil itu tetap berpegang pada agama yang dicintainya, hanya saja sikap mereka tidak eksklusif. Bahwa Islam sebagai rahmatan lil alamin itu mereka terapkan dengan bersikap sangat baik kepada siapapun. Sementara sebagian kita masih sering melihat mereka yang tidak beragama sama sebagai lawan ataupun musuh, sehingga Islam tidak muncul dengan wajah yang memancarkan banyak cinta dan kasih.

Selain manusia paripurna/sempurna, insan kamil juga sering diterjemahkan manusia universal. Dan itu karena, memanglah orang seperti ini memiliki visi atau pandangan yang mendunia. Bicara cinta universal untuk menyayangi umat manusia se-alam dunia, apapun latar belakangnya. Sebagai contoh adalah Jalaluddin Rumi.

Ketika saya diundang ke Turki (Istanbul dan Konya) ada 150 pemakalah dari seluruh dunia, dengan bahasa, ras, mazhab dan agama yang berbeda-beda. Semuanya menghormati dan mencintai Mawlana Jalaluddin Rumi. Waktu saya merenung dan merasa bangga bahwa ada seorang Muslim, yang sudah hidup 800 tahun yang lalu, tapi masih mampu di zaman modern ini, menyatukan hati umat manusia dari seluruh penjuru dunia, dan beliau dicintai dengan tulus bukan hanya oleh orang-orang Islam tapi oleh penganut agama yang berbeda-beda. Sungguh sangat susah kita menemukan tokoh seperti itu pada saat ini. Dalam hati saya masih sangat merindukan munculnya orang seperti beliau.

Pernah suatu saat, kata almarhumah Annemarie Schimmel yang saya dengar sendiri, ada orang tertarik pada Jalaluddin Rumi, dan ingin tahu lebih lanjut tentangnya. Prof. Annemarie Schimmel bertanya apakah ia tahu tentang Nabi Muhammad dan tentang Islam. Ternyata orang itu tidak tahu banyak. Memang begitulah. Rumi lebih dikenal di Barat bahkan daripada Nabi Muhammad sendiri. Yang seharusnya tentulah tidak begitu.

Rupanya pada saat Rumi masih hidup pun beliau sudah dikenal, bahkan oleh orang-orang terkenal seperti gubernur yang berkuasa saat itu di Saljuk barat. Mawlana Rumi sendiri sebenarnya merasa aneh, kenapa orang-orang lebih mengenal dia daripada Nabinya sendiri.

Dikisahkan, suatu ketika sang gubernur datang kepada Mawlana Rumi untuk meminta nasehat atau peunjuk. Beliau bertanya, mengapa tuan datang kepada saya? Sang gubernur menjawab, "Untuk mendapatkan bimbingan."
"Kenapa meminta bimbingan kepada saya? Sudahkan Anda membaca al-Qur'an?" tanya Rumi.
"Ya," jawabnya.
"Sudahkan Anda membaca hadits?"
"Ya," jawabnya.
"Sudahkan Anda menjalankan apa yang dianjurkan keduanya?"
"Belum," jawabnya.
Lalu dengan tenang dia berkata: "Nah kalau al-Qur'an dan hasits saja Anda tak dengar dan ikuti, bagaimana saya yakin bahwa Anda akan mengikuti petuah saya."

Ini adalah anjuran dari Mawlana Rumi, bahwa sebelum Anda mengenal yang lain, maka kenalilah Allah yang menurunkan al-Qur'an dan Rasulullah dengan hadits-hadits indahnya. Ikutilah keduanya, sebelum kita mengikuti yang lain. Karena sesungguhnyalah Rasulullah adalah panutan para wali, dialah insan kamil par excellence.

***

Rumi: Sufi, Takdir, Cinta, Manusia

Meskipun sufi sering dikesankan orang yang fatalistis, pasrah kepada Allah, namun Jalaluddin Rumi, sebagai seorang sufi, justru sering membangkitkan kita untuk memilih takdir kita, untuk tidak menyerah begitu saja. Adalah keliru, menurut beliau, orang yang berpangku tangan, lalu mengharap rizki dari Tuhan.

Dengarlah pesan beliau:

"Anda diberi tangan,
Kenapa enggan direntang?
Anda diberi kaki,
Kenapa dibiarkan lumpuh?
Sesungguhnya mereka adalah
alat yang diberikan Tuhan,
Untuk kita gunakan.
Sekalipun tak sepatah kata
Kita dengar dari-Nya.
Kebebasan memilih adalah hadiah besar dari-Nya.
Sedangkan menggunakannya
Adalah cara untuk berterima kasih pada-Nya.
Jangan berhenti di tengah jalan..
Jangan lekas menyerah dan putus asa,
Jangan fatalis, jangan jadi jabariah...
Karena sesunguhnya mereka,
Telah mencampakkan hadiah,
Yang sudah berada
dalam genggaman mereka.
Ingatlah Allah telah
memasang tangga di depan kita.
Bukan untuk sekedar melihatnya,
Tetapi agar kita daki hingga puncaknya.
Kalau anda ingin bertawakkal pada Allah,
Bertawakkallah dengan karya.
Tebar benih, barulah bertawakkal pada-Nya.


Takdir menurut Rumi adalah hukum kehidupan. Dan hukum kehidupan adalah apabila anda melakukan ini atau itu, maka semua yang kita lakukan akan menuai konsekwensi. Kalau anda maling, ada konsekwensinya, kalau anda berbuat baik ada konsekwensinya, tapi anda tidak dipaksa Allah untuk maling atau berbuat baik, semua terpulang pada pilihan anda.

Sufi tidak selalu diasosiasikan dengan kelesuan dan kelusuhan. Justru kata Jalaluddin Rumi,

Seorang sufi haruslah manusia yang tangguh.
Ia harus seperti Singa Jantan,
Yang mana hewan lain mengais sisa makananannya.
Atau seperti burung Rajawali Peliharaan Raja,
Yang dengan kepakan sayapnya yang panjang dan lebar,
Melesat cepat ke istana...
Perlu beberapa bulan bagi sang zahid untuk sampai ke sana,
Tapi sang sufi hanya perlu beberapa hari saja.

Cinta, kata Rumi, adalah kekuatan fundamental alam semesta,
Langit berputar karena pesona gelombang cinta.
Kalau bukan karena cinta,
Dunia sudah lama mati,
Dan beku seperti salju.
Cintalah yang bertanggung jawab atas perkembangan alam,
Atas bersatu dan berpisahnya atom-atom,
tumbuhnya pepohonan,
Serta bergerak dan berkembangbiaknya hewan-hewan.
Setiap atom cinta pada kesempurnaan,
Maka ia meretas ke atas laksana tunas.
Karena daya dan kekuatan cinta,
Maka alam terbang dan mencari,
Seperti laron-laron mencari cahaya..
Dengan cinta, batu bisa jadi permata,
Dengan cinta, debu bisa menjadi emas berharga.

Manusia adalah mikrokosmos, karena terkandung di dalamnya
Segala unsur alam semesta.
Tapi manusia sempurna,
Kata Rumi, sebenarnya adalah makrokosmos itu sendiri,
Karena sesungguhnya karena manusialah
Alam semesta dicipta oleh Tuhannya.
Sebagaimana buah,
Sekalipun muncul di tahap akhirnya,
Tapi justru karena mengharap buahlah,
Maka sang petani menanam pohon.
Tanpa mengharap buah, tanya Rumi, akankah petani menanam pohon?
Manusia, karena itu,
Tak lain daripada tujuan akhir penciptaan dunia.
Ia berkata: Kalau bukan karena engkau,
Tak akan Aku menciptakan dunia.