Tentang ‘Umar bin Khattab


Suatu hari di tahun 638M, Uskup dari Yerusalem mengumumkan bahwa seorang pemimpin besar Islam, ‘Umar bin Khattab, akan datang untuk menandatangani perjanjian damai dan perlindungan khalifah bagi kota suci Yerusalem. Maka seluruh penduduk Yerusalem pun tumpah ruah di gerbang kota. Tua dan muda, laki-laki dan perempuan tampak bersiap menanti arak-arakan kunjungan kenegaraan yang akan tiba, untuk melihat, menyambut dan mengucapkan selamat datang kepada khalifah yang terkenal karena keadilannya itu. Namun arak-arakan yang diharapkan itu tidak ada. Di cakrawala mereka hanya melihat dua orang yang sederhana bersama seekor unta yang kelelahan.

Salah seorang dari mereka duduk di atas punggung unta, dan yang lainnya berjalan kaki sambil menuntun untanya. Mengira bahwa khalifah pastilah yang duduk di punggung unta, segera seluruh penduduk kota berlarian menyongsong dan menyalami sang penunggang unta untuk menyambutnya, tapi… nanti dulu. “Aku bukanlah Khalifah Islam yang kalian nantikan. Aku hanyalah pengawalnya,” penunggang unta itu mencoba menjelaskan. Dalam melewati perjalanan jauh dari Damaskus ke Jerusalem, ‘Umar menghargai pengawalnya dengan bergantian menaiki unta mereka. Pada saat menjelang tiba di gerbang kota, merupakan giliran ‘Umar-lah yang berjalan menuntun unta. Semua orang takjub dengan pribadi sang pemimpin besar Islam itu.

Di pintu gerbang kota Yerusalem, Khalifah Umar disambut Patriarch Yerusalem, Uskup Agung Sophronius, yang didampingi oleh pembesar gereja, pemuka kota, dan para komandan pasukan Muslim. Para penyambut tamu agung itu berpakaian berkilau-kilauan, sedang Umar hanya mengenakan pakaian dari bahan yang kasar dan murah. Sebelumnya, seorang sahabat telah menyarankannya untuk mengganti dengan pakaian yang pantas, namun Umar berkata bahwa dirinya mendapatkan kekuatan dan statusnya berkat iman Islam, bukan dari pakaian yang dikenakannya. Saat Sophronius melihat kesederhanaan Umar, dia menjadi malu dan mengatakan, “Sesungguhnya Islam mengungguli agama-agama manapun.”

Di depan The Holy Sepulchure (Gereja Makam Suci Yesus), Uskup Sophronius menyerahkan kunci kota Yerusalem kepada Khalifa Umar r.a. Sang Uskup kemudian bertanya, “Tetapi berapa lamakah kunci itu akan tetap di tanganmu? Kapankah tempat suci ini akan kembali kepada kami?”. Jawab ‘Umar, “Hari ini, tempat ini memang telah beralih kepada kami. Dengan empat sifat; keimanan, kebijakan, keadilan dan kebenaran, kota ini beralih pada kami. Selama empat sifat itu dimiliki dan diamalkan kaum muslimin, maka mereka akan mempertahankan kota ini. Tetapi jika sifat-sifat itu terpisah dari Islam, maka tempat ini akan berpindah tangan sekali lagi.” ‘Umar kemudian melanjutkan, “Ketika hal itu terjadi (perpindahan tangan Jerusalem), kaum muslimin seakan tepung dalam adonan dan yang merebutnya hanyalah sedikit garam”.

Setelah itu Umar menyatakan ingin diantar ke suatu tempat untuk menunaikan shalat. Oleh Sophronius, Umar diantar ke dalam gereja tersebut. Umar menolak kehormatan itu sembari berkata: “Jika saya shalat di tempat suci kalian, para pengikut saya yang tidak mengerti dan orang-orang yang datang ke sini di masa yang akan datang akan mengambil alih bangunan ini kemudian mengubahnya menjadi masjid, hanya karena saya pernah shalat di dalamnya. Mereka akan menghancurkan tempat ibadah kalian. Untuk menghindari kesulitan ini dan supaya gereja kalian tetap sebagaimana adanya, maka saya shalat di luar.” Umar lalu dibawa ke tempat di mana Nabi Daud Alaihissalam konon dipercaya shalat di sana dan Umar pun shalat di sana dengan diikuti oleh umat Muslim. Ketika orang-orang Romawi Bizantium menyaksikan hal tersebut, mereka dengan kagum berkata, kaum yang begitu taat kepada Tuhan memang sudah sepantasnya ditakdirkan untuk berkuasa. “Saya tidak pernah menyesali menyerahkan kota suci ini, karena saya telah menyerahkannya kepada ummat yang lebih baik …,” ujar Sophronius.