oleh Faiz Manshur - di civicislam.co
DR. JASSER AUDA: ‘pelestarian harta’ berkembang menjadi ‘pengembangan ekonomi’ dan ‘menekan jurang antar-kelas’.[]
Hukum harus selaras dengan kebutuhan umat manusia agar benar-benar memberikan kebaikan (virtue). Karena hukum yang orientasinya hanya “menghukum” tanpa melihat pertimbangan manfaat hanya akan menimbulkan kerusakan.
Karena kebutuhan itu, Cendekiawan Muslim Jasser Auda, Pakar Maqasid Syariah menganggap penting meninjau kembali landasan-landasan pemikiran dalam Islam.
“Mengapa menunaikan zakat itu menjadi salahsatu rukun Islam? Apa manfaat fisik dan spiritual dari puasa Ramadan? Mengapa minum-minuman beralkohol adalah dosa besar dalam Islam? Apa hubungan antara gagasan hak-hak asasi manusia dengan hukum Islam? Bagaimana hukum Islam dapat berkontribusi pada ‘pembangunan’ (development) dan ‘keadaban’ (civility)?, “ tanya Jasser guna merangsang pemikiran tentang perspektif kontemporer sebagaimana ditulis dalam bukunya “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah” (Mizan, 2015).
Profesor Jasser Auda adalah seorang pakar terkemuka kontemporer dalam bidang Maqasid Syariah. Ia merupakan seorang pemikir yang aktif dalam lapangan kegiatan pemikiran di berbagai negara. Melalui bukunya ia memberikan perhatian penting karena belakangan ini banyak seruan-seruan tentang penegakan syariat Islam, bahkan sekarang penegakan negara Islam banyak yang keluar dari tujuan, seakan-akan syariat Islam itu adalah tujuan itu sendiri.
“Maqasid Syariah adalah prinsip-prinsip untuk menyediakan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas dan sejenisnya tentang hukum Islam,” tulisnya.
Menurutnya, Maqasid mencakup hikmah-hikmah di balik hukum, misalnya ‘meningkatkan kesejahteraan sosial’ sebagai salahsatu hikmah di balik zakat; meningkatkan kesadaran akan kehadiran Allah Swt.’ Sebagai salahsatu hikmah di balik puasa. Lebih dari itu, menurut Jasser, Maqasid menjadi tujuan-tujuan baik yang ingin dicapai oleh hukum Islam, dengan membuka sarana menuju kebaikan atau menutup sarana keburukan.
Perspektif kontemporer
Pada kenyataannya, setiap periode Maqasid Syariah ini selalu beradaptasi dengan zaman karena guna Islam memang untuk menjawab persoalan-persoalan zaman, dan bukan melawan kehendak zaman. Kemungkinan yang seperti inilah membuat Jasser mengembangkan pemikiran baru dalam Maqasid Syariah untuk beberapa hal.
Jasser mengatakan, selain dirinya menyelidiki evolusi teori-teori dan konsepsi-konsepsi Maqasid, ia juga bermaksud menawarkan pembaharuan Maqasid melalui konsep-konsepsi yang berorientasi pada masa kini, lebih selaras dengan isu-isu masa kini dibandingkan konsepsi-konsepsi klasik. Ia pun menunjukkan beberapa hal yang penting diusung dalam ruang publik pemikiran keislaman.
Rumusan hifzun-nafsli (hifz al-nasl), yang berarti “pelestarian keturunan”, berkembang menjadi ‘kepedulian pada keluarga’, bahkan ‘sistem sosial Islami madani’. Hifzul-aqli’ (hifz –‘aql) yang berarti “pelestarian akal’, bekembang menjadi ‘pengembangan pemikiran ilmiah’, ‘perjalanan menuntut ilmu’, ‘menekan mentalitas ikut-ikutan’, bahkan ‘menghindari imigrasi ahli ke luar negeri’.
Dalam teori Maqasid lain, hifzul-ird (ifz al’ird), yang berarti ‘pelestarian kehormatan’, berkembang menjadi ‘pelestarian harga diri manusia’ dan ‘menjaga hak-hak asasi manusia’. Hifzuddin (hifz al-din’) yang berarti ‘pelestarian agama’ berkembang menjadi ‘kebebasan kepercayaan’ dalam ekspresi-ekspresi kontemporer. Hifzulmali (hifz al-mal), yang berarti ‘pelestarian harta’ berkembang menjadi ‘pengembangan ekonomi’ dan ‘menekan jurang antar-kelas’, bahkan harus diarahkan untuk ‘pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai target dari pencapaian kemaslahatan yang bisa diukur secara empiris melalui target-target perkembangan SDM menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pandangan-pandangan baru itu menurut Jasser penting karena belakangan ini pengertian istilah “syariat”, yang direpresentasikan sebagai hukum Tuhan yang “suci”, mengalami kekaburan pengertian ketika dihubungkan dengan “fikih” yang representasinya adalah “hukum Islam” yang lebih “duniawi”. Lebih-lebih membingungkan lagi ketika masyarakat awam itu harus dihadapkan pada istilah “qanun” (kanun) dan “ ‘uruf” (adat/istiadat). -Faiz Manshur
DR. JASSER AUDA: ‘pelestarian harta’ berkembang menjadi ‘pengembangan ekonomi’ dan ‘menekan jurang antar-kelas’.[]
Hukum harus selaras dengan kebutuhan umat manusia agar benar-benar memberikan kebaikan (virtue). Karena hukum yang orientasinya hanya “menghukum” tanpa melihat pertimbangan manfaat hanya akan menimbulkan kerusakan.
Karena kebutuhan itu, Cendekiawan Muslim Jasser Auda, Pakar Maqasid Syariah menganggap penting meninjau kembali landasan-landasan pemikiran dalam Islam.
“Mengapa menunaikan zakat itu menjadi salahsatu rukun Islam? Apa manfaat fisik dan spiritual dari puasa Ramadan? Mengapa minum-minuman beralkohol adalah dosa besar dalam Islam? Apa hubungan antara gagasan hak-hak asasi manusia dengan hukum Islam? Bagaimana hukum Islam dapat berkontribusi pada ‘pembangunan’ (development) dan ‘keadaban’ (civility)?, “ tanya Jasser guna merangsang pemikiran tentang perspektif kontemporer sebagaimana ditulis dalam bukunya “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah” (Mizan, 2015).
Profesor Jasser Auda adalah seorang pakar terkemuka kontemporer dalam bidang Maqasid Syariah. Ia merupakan seorang pemikir yang aktif dalam lapangan kegiatan pemikiran di berbagai negara. Melalui bukunya ia memberikan perhatian penting karena belakangan ini banyak seruan-seruan tentang penegakan syariat Islam, bahkan sekarang penegakan negara Islam banyak yang keluar dari tujuan, seakan-akan syariat Islam itu adalah tujuan itu sendiri.
“Maqasid Syariah adalah prinsip-prinsip untuk menyediakan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas dan sejenisnya tentang hukum Islam,” tulisnya.
Menurutnya, Maqasid mencakup hikmah-hikmah di balik hukum, misalnya ‘meningkatkan kesejahteraan sosial’ sebagai salahsatu hikmah di balik zakat; meningkatkan kesadaran akan kehadiran Allah Swt.’ Sebagai salahsatu hikmah di balik puasa. Lebih dari itu, menurut Jasser, Maqasid menjadi tujuan-tujuan baik yang ingin dicapai oleh hukum Islam, dengan membuka sarana menuju kebaikan atau menutup sarana keburukan.
Perspektif kontemporer
Pada kenyataannya, setiap periode Maqasid Syariah ini selalu beradaptasi dengan zaman karena guna Islam memang untuk menjawab persoalan-persoalan zaman, dan bukan melawan kehendak zaman. Kemungkinan yang seperti inilah membuat Jasser mengembangkan pemikiran baru dalam Maqasid Syariah untuk beberapa hal.
Jasser mengatakan, selain dirinya menyelidiki evolusi teori-teori dan konsepsi-konsepsi Maqasid, ia juga bermaksud menawarkan pembaharuan Maqasid melalui konsep-konsepsi yang berorientasi pada masa kini, lebih selaras dengan isu-isu masa kini dibandingkan konsepsi-konsepsi klasik. Ia pun menunjukkan beberapa hal yang penting diusung dalam ruang publik pemikiran keislaman.
Rumusan hifzun-nafsli (hifz al-nasl), yang berarti “pelestarian keturunan”, berkembang menjadi ‘kepedulian pada keluarga’, bahkan ‘sistem sosial Islami madani’. Hifzul-aqli’ (hifz –‘aql) yang berarti “pelestarian akal’, bekembang menjadi ‘pengembangan pemikiran ilmiah’, ‘perjalanan menuntut ilmu’, ‘menekan mentalitas ikut-ikutan’, bahkan ‘menghindari imigrasi ahli ke luar negeri’.
Dalam teori Maqasid lain, hifzul-ird (ifz al’ird), yang berarti ‘pelestarian kehormatan’, berkembang menjadi ‘pelestarian harga diri manusia’ dan ‘menjaga hak-hak asasi manusia’. Hifzuddin (hifz al-din’) yang berarti ‘pelestarian agama’ berkembang menjadi ‘kebebasan kepercayaan’ dalam ekspresi-ekspresi kontemporer. Hifzulmali (hifz al-mal), yang berarti ‘pelestarian harta’ berkembang menjadi ‘pengembangan ekonomi’ dan ‘menekan jurang antar-kelas’, bahkan harus diarahkan untuk ‘pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai target dari pencapaian kemaslahatan yang bisa diukur secara empiris melalui target-target perkembangan SDM menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pandangan-pandangan baru itu menurut Jasser penting karena belakangan ini pengertian istilah “syariat”, yang direpresentasikan sebagai hukum Tuhan yang “suci”, mengalami kekaburan pengertian ketika dihubungkan dengan “fikih” yang representasinya adalah “hukum Islam” yang lebih “duniawi”. Lebih-lebih membingungkan lagi ketika masyarakat awam itu harus dihadapkan pada istilah “qanun” (kanun) dan “ ‘uruf” (adat/istiadat). -Faiz Manshur