[Obrolan Sufi – Robert Frager, Ph.D.]
Kisah ini dikutip dari karya sufistik klasik Rumi, yakni Matsnawi.
Suatu hari, ketika Nabi Musa a.s. turun dari Gunung Sinai, seseorang bertanya, “Apakah kau bisa mengundang Tuhan untuk datang dan makan malam bersama kita?”
Nabi Musa a.s. menjawab dengan marah, “Kita tidak bisa mengundang Tuhan utk datang makan malam. Tuhan tidak makan malam. Tuhan tidak terbatas. Tuhan melampaui batasan kebutuhan akan makanan. Selain itu, Tuhan tdk memiliki mulut. Tuhan jauh melampaui bentuk ragawi manusia! Tuhan tidak seperti kau dan aku. Tuhan ada dimana-mana dan Tuhan adalah segalanya.”
“Apa kau yakin kita tidak bisa mengundang Tuhan untuk makan malam bersama kita?”
“Ya!”
Ketika Nabi Musa a.s. kembali ke Gunung Sinai, Tuhan bertanya tentang undangan tersebut. Nabi Musa a.s. berkata, “Aku bilang bahwa Kau tidak dapat makan.”
Tuhan berkata, “Tidak, Musa. Kembalilah dan katakan kepada mereka untuk menyiapkan pesta besok sore dan Aku akan datang.”
Bisakah kita bayangkan bagaimana perasaan Nabi Musa a.s.? Dia harus kembali dan mengatakan kepada kaumnya bahwa ia salah, bahwa Tuhan akan datang untuk makan malam bersama mereka. Ia harus katakan itu setelah sebelumnya mengatakan dengan tegas bahwa Tuhan tidak punya mulut, Tuhan tidak makan atau minum, dan Tuhan mestinya tidak dianggap sama seperti manusia. Tentu saja, itu akan terasa sangat berat baginya. Namun perintah Tuhan harus dijalankan. Pesan-Nya harus disampaikan.
Semua orang sangat senang mendengar kabar itu. Mereka menyiapkan sebuah pesta besar keesokan harinya. Para juru masak membuat hidangan terbaik. Semua orang sibuk mempersiapkan pesta tersebut.
Di tengah-tengah kesibukan persiapan pesta, seorang lelaki tua datang. Dia apakah ia bisa mendapatkan makanan atau minuman?
Nabi Musa a.s. menjawab, “Tuhan akan datang utk makan malam. Tunggu sampai Tuhan datang. Tidak seorang pun boleh makan sebelum Tuhan datang!”
Para juru masak menyuruh orangtua itu bekerja mengambil air.
Waktunya makan malam tiba dan berlalu, tetapi Tuhan tdk muncul juga. Malam semakin larut. Makanan mulai jadi dingin. Tentu saja orang-orang mengeluh kepada Nabi Musa a.s.
“Pertama kau mengatakan bahwa Tuhan tidak makan, lalu kau bilang Tuhan akan datang untuk makan malam bersama kita dan sampai sekarang Tuhan belum juga muncul. Nabi macam apa kau?”
Nabi Musa a.s. yang malang tidak tahu harus berkata apa.
Keesokan harinya, Nabi Musa a.s. kembali naik ke Gunung Sinai dan mengeluh, “Wahai Tuhan, aku sudah bilang kepada kaumku bahwa Engkau tidak makan. Kemudian Engkau mengatakan akan datang makan malam, tetapi Engkau tidak muncul.”
“Aku sudah datang. Aku kehausan dan kelaparan, tetapi tidak seorang pun memberiku sesuatu untuk dimakan dan diminum. Lelaki tua yang datang dari gurun pasir adalah salah satu hamba-Ku dan ketika kalian memberi makan hamba-Ku, kalian memberi-Ku makan; sewaktu kalian melayani hamba-Ku, kalian melayani-Ku.”
Ini merupakan pelajaran yang indah. Dengan melayani makhluk Tuhan, kita melayani Tuhan dan pelayanan itu merupakan ibadah.
Kisah ini juga mengingatkan kita bahwa imaji apapun yang kita punya mengenai Tuhan sesungguhnya merupakan gambaran yang tidak sempurna. Gagasan apapun yang kita miliki tentang Tuhan adalah konsep yang dibatasi, tidak cukup, dan terdistorsi berbagai batasan yang kita miliki. Konsep apapun yang kita pegang menyangkut Tuhan, lebih banyak salahnya ketimbang benarnya.
Kisah ini dikutip dari karya sufistik klasik Rumi, yakni Matsnawi.
Suatu hari, ketika Nabi Musa a.s. turun dari Gunung Sinai, seseorang bertanya, “Apakah kau bisa mengundang Tuhan untuk datang dan makan malam bersama kita?”
Nabi Musa a.s. menjawab dengan marah, “Kita tidak bisa mengundang Tuhan utk datang makan malam. Tuhan tidak makan malam. Tuhan tidak terbatas. Tuhan melampaui batasan kebutuhan akan makanan. Selain itu, Tuhan tdk memiliki mulut. Tuhan jauh melampaui bentuk ragawi manusia! Tuhan tidak seperti kau dan aku. Tuhan ada dimana-mana dan Tuhan adalah segalanya.”
“Apa kau yakin kita tidak bisa mengundang Tuhan untuk makan malam bersama kita?”
“Ya!”
Ketika Nabi Musa a.s. kembali ke Gunung Sinai, Tuhan bertanya tentang undangan tersebut. Nabi Musa a.s. berkata, “Aku bilang bahwa Kau tidak dapat makan.”
Tuhan berkata, “Tidak, Musa. Kembalilah dan katakan kepada mereka untuk menyiapkan pesta besok sore dan Aku akan datang.”
Bisakah kita bayangkan bagaimana perasaan Nabi Musa a.s.? Dia harus kembali dan mengatakan kepada kaumnya bahwa ia salah, bahwa Tuhan akan datang untuk makan malam bersama mereka. Ia harus katakan itu setelah sebelumnya mengatakan dengan tegas bahwa Tuhan tidak punya mulut, Tuhan tidak makan atau minum, dan Tuhan mestinya tidak dianggap sama seperti manusia. Tentu saja, itu akan terasa sangat berat baginya. Namun perintah Tuhan harus dijalankan. Pesan-Nya harus disampaikan.
Semua orang sangat senang mendengar kabar itu. Mereka menyiapkan sebuah pesta besar keesokan harinya. Para juru masak membuat hidangan terbaik. Semua orang sibuk mempersiapkan pesta tersebut.
Di tengah-tengah kesibukan persiapan pesta, seorang lelaki tua datang. Dia apakah ia bisa mendapatkan makanan atau minuman?
Nabi Musa a.s. menjawab, “Tuhan akan datang utk makan malam. Tunggu sampai Tuhan datang. Tidak seorang pun boleh makan sebelum Tuhan datang!”
Para juru masak menyuruh orangtua itu bekerja mengambil air.
Waktunya makan malam tiba dan berlalu, tetapi Tuhan tdk muncul juga. Malam semakin larut. Makanan mulai jadi dingin. Tentu saja orang-orang mengeluh kepada Nabi Musa a.s.
“Pertama kau mengatakan bahwa Tuhan tidak makan, lalu kau bilang Tuhan akan datang untuk makan malam bersama kita dan sampai sekarang Tuhan belum juga muncul. Nabi macam apa kau?”
Nabi Musa a.s. yang malang tidak tahu harus berkata apa.
Keesokan harinya, Nabi Musa a.s. kembali naik ke Gunung Sinai dan mengeluh, “Wahai Tuhan, aku sudah bilang kepada kaumku bahwa Engkau tidak makan. Kemudian Engkau mengatakan akan datang makan malam, tetapi Engkau tidak muncul.”
“Aku sudah datang. Aku kehausan dan kelaparan, tetapi tidak seorang pun memberiku sesuatu untuk dimakan dan diminum. Lelaki tua yang datang dari gurun pasir adalah salah satu hamba-Ku dan ketika kalian memberi makan hamba-Ku, kalian memberi-Ku makan; sewaktu kalian melayani hamba-Ku, kalian melayani-Ku.”
Ini merupakan pelajaran yang indah. Dengan melayani makhluk Tuhan, kita melayani Tuhan dan pelayanan itu merupakan ibadah.
Kisah ini juga mengingatkan kita bahwa imaji apapun yang kita punya mengenai Tuhan sesungguhnya merupakan gambaran yang tidak sempurna. Gagasan apapun yang kita miliki tentang Tuhan adalah konsep yang dibatasi, tidak cukup, dan terdistorsi berbagai batasan yang kita miliki. Konsep apapun yang kita pegang menyangkut Tuhan, lebih banyak salahnya ketimbang benarnya.