Bagian 1: Rasionalisme
Oleh Mulyadhi Kartanegara
Hingga saat ini filsafat masih mempesonaku. Seperti sebuah magnit, filsafat tak pernah berhenti mempesonaku semenjak perkenalanku di awal tahun 79. Salah satu daya tarik filsafat pada saat awal aku mengenalnya adalah ditawarkannya kepada kita banyak hal baru yang hingga saat itu tidak pernah ketahui atau bahkan terlintas dalam benakku. Agama yang terlalu kaku dan sempit tidak manpu menjangkau hal-hal baru tersebut dalam kajiannya. Maka ketika hal-hal baru tersebut diperkenalkan, aku sangat terpesona dan semakin terpesona.
Berikut ini akan aku sajikan beberapa gagasan baru yang begitu menarik perhatianku sehingga membuatku mampu berjam-jam membacanya hampir secara obsesif. Pertama adalah soal Rasionalisme.
Sebelum aku kuliah di IAIN tahun 1978, aku hampir tak pernah berbicara tentang akal secara rasional. Dalam lingkungan Asy'ariyyah, akal dipandang sangat lemah dan dominasi wahyu sangat kuat. Tak pernah menyangka sebelumnya bahwa ada aliran Mu'tazilah yang begitu besar menghargai akal, sehingga ia dipandang dapat mengetahui beberapa perkara yang sampai saat itu hanya dapat diketahui melalui wahyu: keberadaan Tuhan, mengetahui yang baik dan yang buruk dan kewajiban menjalankan yang baik dan buruk bahkan terlepas dari adanya wahyu. Akal yang dipandang begitu rendah oleh kaum Asy'ariyyah tiba-tiba diangkat ke level yang sangat tinggi. Maka muncullah minatku untuk mempelajari ajaran-ajaran Mu'tazilah, khususnya berkenaan dengan akal. Sejak itu muncullah ketertarikanku pada Rasionalisme. Dari sini aku mengerti bahwa kurangnnya wacana rasional dalam kajian agama bisa mendorong seseorang untuk tertarik pada sesuatu yang baru yang kadang tidak sejalan dengan ajaran awal yang kita miliki, termasuk tertarik pada filsafat.
Rasionalisme yang diperkenalkan padaku oleh kaum Mu'tazilah sangat menarik perhatianku saat itu. Maka akupun memandang Mu'tazilah-lah yang seharusnya kita anut kalau kita ingin maju. Sebagai makhluk berakal maka manusia harus menggunakan akalnya semaksimal mungkin. Hanya dengan cara begitu, kita akan dapat meraih kemajuan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat nanti. Akallah yang seharusnya kita utamakan, bukan yang lain kalau bangsa ini ingin maju. Karena Pak Harun adalah tokoh yang memperkenalkan Mu'tazilah kepadaku, maka beliau adalah tokoh yang sangat aku kagumi saat itu. Inilah tokoh yang sebenarnya kita perlukan untuk memajukan bangsa. Pemikir Rasional yang sangat menjunjung tinggi akal, sains dan teknologi dan menjauhkan kita dari segala tahyul dan khurafat yang menjadi penyebab utana kemunduran bangsa.
Meskipun begitu, antusiasmeku pada Mu'tazilah semakin berkurang seiring berlalunya waktu. Kecenderunganku pada filsafat, membuat aku berikir bahwa rasionalisme Mu'tazilah belum bersifat filosofis, karena betatapun ia masih terikat pada wahyu, dan aku merindukan sebuah Rasionalisme murni tanpa tergantung pada wahyu. Maka seiring dengan motivasi yang tinggi akupun terus tenggelam dalam penelusuranku di dunia filsafat untuk mencari tahu Rasionalisme yang sejati, rasionalisme yang menggunakan akal sebagai satu-satunya ukuran kebenaran, bukan wahtu, ataupun intuisi.
Maka akupun mulai mempelajari secara intensif Rasionlisme a la Descartes, dengan semboyannya yang terkenal: cogito Erga sum, saya berpikir maka saya ada. Jadi akal bahkan menentukan keberadaan kita, kemudian alam dan Tuhan. Dan sejak itu mantaplah hatiku untuk menjadiknan akal sebagai satu-satunya kriteria untuk mengukur kebenaran, apalagi setelah mendengar ungkapan Hegel bahwa Realitas bersanding dengan Rasionalitas. Lama pandangan ini aku pegang, hingga Iqbal dan Bergson dan kemudian Rumi menyadarkanku akan kekurangan akal yang sangat fundamental.
Bagian 2: Kebebasan Kehendak
Oleh Mulyadhi Kartanegara
Hal baru kedua yang menyebabkan aku tertarik pada filsafat dan sangat menarik perhatian dan minatku kepada filsafat pada masa-masa awal kuliah di IAIN adalah soal Kebebasan Kehendak (Free Will). Ketertarikanku pada isu Kebebasan Kehendak ini, mungkin dilatar-belakangi oleh konsep takdir yang aku pelajari dari kajian-kajian agama, terutama dari perspektif Sunni, yang terkesan sangat fatalistis. Apapun yang terjadi dikatakan sebagai sudah takdir, sudah nasib yang telah ditentukan Allah. Begitu besar kuasa Allah sehingga seolah-olah manusia tidak diberi peran apapun dalam tindakannya. Bahkan ada orang yang mengatakan bahwa kita itu ibarat wayang, yang seluruh gerak-geriknya sama sekali tergantung pada sang dalang.
Nah di tengah-tengah mentalitas umat yang seperti itu, sekali lagi Mu'tazilah yang diperkenalkan oleh pak Harun nembuat aku kagum, karena penekanannya yang besar pada kebebasan memilih manusia. Dengan mengatakan bahwa manusia adalah pencipta tindakannya, maka manusia yang tak berdaya selama ini tiba-tiba diberi peran dan tanggung jawab yang besar. Manusia bertanggung jawab terhadap perbuatannya! Nasib seseorang bisa dirubah oleh manusia, sambil mengutip ayat al-Qur'an: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu bangsa (kaum) sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri." Menurut Mu'tazilah memang daya-daya yang ada pada diri manusia diciptakan oleh Allah, tetapi penggunaan daya-daya tersebut dalam bentuk tindakan adalah perbuatan atau ciptaan manusia, dan manusia bertanggung jawab atas perbuatan yang dipilih dan dilakukannya. Pada saat itu, ini merupakan ide yang revolusioner bagiku, sehingga timbullah minat yang besar pada isu kebebasan kehendak (free will) manusia. Karena manusia tiba-tiba menjadi "gagah-perkasa" setelah dibayangkan loyo tak berdaya.
Api antusiasmeku pada isu kebebasan memilih bertambah menyala ketika dalam mata kuliah filsafat umum diperkenalkan pada aliran Eksistentialisme, dengan sederetan nama besar tokohnya: Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, Frederich Nietzsche, Gabiel Marcell, M. Ponty dll. Walaupun mereka punya pemikiran yang berbeda-beda tetapi satu hal mereka sepakati yaitu bahwa kebebasan adalah syarat utama untuk eksisnya manusia. Mereka membedakan antara cara berada benda dan cara berada manusia. Cara berada benda adalah menerima apapun yang terjadi pada mereka, suka ataupun tidak. Sedangkan cara berada manusia adalah melalui kebebasan, yakni melalui pilihan bebasnya. Kata mereka hanya manusia yang bertindak bebas sesuai dengan kehendak dan rencananya itulah yang bisa dikatakan "eksis." Manusia yang tidak bisa memilih sesuai dengan kehendaknya, atau karena dipaksa oleh sebuah kewajiban, maka ia pada hakikatnya tidak eksis, sekalipun hidup di tengah-tengah manusia. Mereka tidak layak disebut manusia, karena cara berada mereka mirip dengan benda-benda.
Nah dengan kebebasan yang dimilikinya itu, maka manusia akan mampu memproyeksikan dirinya untuk menjadi apa saja. Berbeda dengan benda yang telah mencapai esensinya segera setelah tercipta, esensi manusia adalah pada ujung proses, bukan di awalnya. Karena itu ada istilah khas eksistensialis, manusia dalam "proses menjadi" atau "menyedang". Dan ingin menjadi apa itulah peran kebebasan manusia. Artinya manusia dengan kemampuan memilihnya harus merencanakan untuk menjadi apa. Tidak ada yang bisa disalahkan kalau anda gagal, karena itu menunjukkan kegagalan anda dalam menyelenggarakan diri anda. Mungkin anda belum mencapai atau menjalankan cara berada yang sesungguhnya. Inilah cara berada manusia untuk mencapai esensi (hakikat) anda yang sesungguhnya. Gagasan ini dirasa sangat mebarik pada saat itu, dan menyebabkan kita untuk selalu memeriksa apakah kita sudah bertindak sesuai dengan keinginan kita. Kalau belum maka kita menilai diri kita gagal dalam penyelenggaraan hidup ini. Dalam konteks ini banyak temanku pada saat itu yang neninggalkan salat dengan alasan mereka mengerjakannya secara terpaksa, dan karena itu tidak eksis.
Bagian 3: Filsafat Wujud
Oleh Mulyadhi Kartanegara
Hal baru ketiga yang membuatku tertarik pada filsafat adalah ajaran tentang wujud atau realitas: apa sih yang sesungguhnya ada? Sejak kecil kita diyakinkan orang tua atau guru bahwa yang ada itu alam ini dan alam ghaib. Tetapi dalam filsafat ada yang mengatakan bahwa yang betul-betul ada itu adalah apa yang bisa kita indra (lihat, dengar dll). Kata mereka berbeda dengan objek-objek ghaib, alam fisik ini dapat dibuktikan adanya secara objektif melalui panca indra. Tanya mereka "bagaimana kita bisa yakin kalau yang ghaib itu ada padahal ia tidak pernah dan bisa kita lihat selamanya!
Ada beberapa aliran yang mendukung pernyataan tersebut. Empirisisme, materialisme dan positivisme. Empirisisme mengatakan hanya yang bisa kita alami (melalui indra) itulah yang nyata, tak perlu mencari yang lain, karena yang bersifat fisik empirikal inilah satu-satunya yang real. Dengan nada yang hampir sama materialisme mengatakan bahwa materilah yang paling fundamental, yang non-materi, kalau memang ada, berasal dari materi. Misalnya pikiran mungkin bersifat mon-materi, tetapi ia berkembang dan berasal dari materi juga. Dengan semangat yang sama, positivisme juga mengatakan hanya yang positif (yang bisa diobservasi) yang harus kita pandang ada. Kita tak boleh percaya pada apapun yang tidak bisa diindra. Ketiga aliran ini yakin sekali bahwa tidak ada relitas lain selain realitas fisik empiris.
Tetapi selain tiga kelompok ini ternyata ada aliran lain yang membantahnya, di antaranya kaum Idealis. Merurut mereka realitas itu bukan berada di luar kita, tetapi justru di dalam diri kita, di dalam kesadaran kita. Kaum idealis, seperti diwakili oleh George Berkeley, mengatakan bahwa hakikat sebuah objek tidaklah terletak di luar diri kita, melainkan dalam kesadaran kita. Anda tidak dipandang ada kecuali saya memerhatikannya. Anda baru dikatakan ada hanya ketika saya memerhatikan anda, tapi keberadaan anda bukan di luar tetapi di dalam diri saya. Kalau anda melihat warna, mungkinkah ada warna kalau tidak ada orang yang melihatnya? Tidak ada, karena warna dan juga suara tidak ada di luar kesadaran diri kita, yang mempersepsinya melalui indra. Warna atau suara adalah penafsiran indra kita atas cahaya dan gelombang udara. Tanpa manusia yang menyadarinya, maka benda-benda yang kita pandang sebagai satu-satunya yang ada oleh kaum empiris, materialis dan positivis itu sebenarnya tidaklah ada dalam arti yang sebenarnya. Tentu saja ini sangat menarik perhatianku, karena ini memberiku cara baru untuk melihat realitas sesuatu.
Masih berkaitan dengan isu realitas tapi dari aspek epistemologi adalah pertanyaan dengan apa kita bisa mengetahui realitas. Tentu saja seperti pernah dikatakan al-Ghazali dalam bukunya al-Munqizh, bahwa di antara alat yang paling meyakinkan untuk mengetahui sesuatu adalah indra, dengan mana kita mengenal lingkungan fisik kita. Tetapi selanjutnya ia sendiri menyadari bahwa indra kadang berbohong dan karena itu tidak bisa dipercaya. Kata mata bintang itu kecil, nyatanya besar. Kata mata bayangan itu tidak bergerak nyatanya bergerak.
Di dunia barat pandangan empirisisme dan positivisme sangat dominan, dan hanya percaya pada dunia fisik. Karena itu bagi mereka metode yang paling tepat untuk memahami realitas adalah observasi atau metode eksperimen berdasar pada indra. Masalahnya, apakah indra bisa benar-benar menangkap realitas sebagaimana adanya? Ambil contoh, apakah pelangi itu benar-benar ada di langit? Kita akan bilang ya, karena ia bisa difoto. Tapi apakah mata kita melaporkan yang sesungguhnya? Ternyata idak, karena pelangi hanyalah pantulan cahaya matahari dari hujan, ia tidak benar-benar ada kecuali sebagai refkeksi. Pelangi akan nampak hanya apabila ada kamera atau mata yang melihatnya. Tanpa mata, maka tak ada pelangi. Jadi di manakah sebenarnya pelangi berada: di langitkah, atau di mata kita?
Berdasarkan itu maka al-Ghazali menyakini bahwa akal lebih bisa dipercaya dan komplit daripada indra. Misalnya indra hanya bisa melihat bulan separuhnya saja, tapi akal bisa melihatnya dengan penuh. Tapi Kant meragukan kemampuan akal dalam memahami Realitas. Karena ketika akal kita mengamati sesuatu, yang kita lihat hanyalah fenomena atau penampakan saja, bukan nomena atau realitas dari sesuatu. Dan itu terjadi karena ketika kita nengamati sesuatu kita sebenarnya menggunakan 12 kategori subjektif, seperti ruang, waktu, substansi, kausalitas, kuantitas, dll. yang menyebabkan kita tidak bisa menyentuh jantung realitas sebuah
Bagian Terakhir: Konsep Tuhan
Oleh Mulyadhi Kartanegara
Hal baru terakhir yang membuat aku tertarik pada filsafat berkaitan dengan konsep ketuhanan, yang kadang berbeda dengan yang digambarkan oleh kitab suci. Aristoteles dan al-Kindi menggambarkan Tuhan sebagai Sebab Pertama bagi rangkaian panjang sebab-sebab yang terjadi di alam semesta, hingga hari ini. Selain itu Tuhan juga digambarkan sebagai Penggerak Pertama yang tidak bergerak. Penggerak Pertama ini tidak bisa digambarkan sebagai bergerak, karena kalau begitu, maka ia memerlukan Penggerak yang lain, dan karena itu tidak bisa dikatakan Penggerak Pertama.
Selain itu Tuhan juga digambarkan oleh filosof sebagai the Great Unknown, yang Maha Besar tapi tak bisa dikenal. Inilah pandangan Plotinus, pendiri Neo-Platonisme yang sangat berpengaruh pada para pemikir Muslim. Konsep lain yang menarik tentang Tuhan didapatkan dari beberapa filosof Muslim, seperti Ibnu Sina yang menggambarkan Tuhan sebagai Wujud Niscaya (wajib al-wujud), yaitu wujud yang senantiasa aktual, yang dikontraskan dengan alam, sebagai Wujud Mungkin, yang tidak bisa mewujud sendiri, dan karena itu tergantung keberadaannya pada Tuhan, sang Wujud Niscaya. Tuhan digambarkan oleh Suhrawardi sebagai Cahaya segala cahaya (Nur al-anwar). Ia adalah sumber dari segala cahaya yang ada di alam semesta, yang merupakan komponen positif penting alam semesta yang terdiri dari cahaya dan kegelapan. Konsep Tuhan yang terakhir adalah dari Mulla Shadra yang menggambarkan Tuhan sebagai Wujud Murni yang menjadi dasar dan syarat adanya wujud lain yang kita jumpai di alam semesta ini. Tuhan sebagai Wujud Murni ini dipandang terbukti sendiri (badihi), karena Ia adalah Syarat dan fondasi bagi segala yang ada (mawjudat) di alam semesta. Tuhan para filosof ini bagiku saat itu merupakan konsep yang sama sekali baru dan telah mengubah Tuhan yang personal seperti digambartan al-Qur'an kepada Tuhan yang impersonal yang ternyata sangat bermanfaat dalam memahami konsep Tuhan para filosof bahkan hingga saat ini.
Kalau konsep para filosof sudah menggeser Tuhan yang personal ke Tuhan impersonal, konsep Tuhan para filosof modern lebih menantang lagi. Ia lebih merupakan kritik terhadap Tuhan ketimbang konsep positif tentang-Nya. Ktitik filosof modern tentunya sejalan dengan semakin sekulernya pandangan masyarakat Modern barat. Sekalipun kritik mereka awalnya diarahkan pada konsep Tuhan Kristen tetapi konsekuensinya meninpa semua agama. Mari kita mulai dengan Nietzsche. Ia mengatakan bahwa Tuhan telah mati (God is dead) dan ia "membunuh" Tuhan untuk memungkinkan manusia menjadi super, dengan cara mencipta. Kalau tuhan tidak dibunuh maka manusia tidak akan pernah menjadi besar, karena tidak pernah akan menjadi pencipta sejati, padahal mencipta merupakan syarat bagi terciptanya manusia super, yang didambakannya. Sartre di tempat lain pernah menggambarkan Tuhan sebagai Pengintip dengan melambangkan-Nya dengan lubang kunci. Dengan selalu mengintip perbuatan manusia, maka manusia akan kehilangan kebebasannya. Dan dengan kehilangan kebebasannya manusia tidak bisa benar-benar eksis dalam menyelenggarakan hidupnya. Karena itu kita harus menutup lobang kunci--menghapus Tuhan dari kesadaran manusia.
Tapi yang paling parah adalah Freud yang memandang Tuhan sebagai Ilusi. Dikatakan ilusi karena ia berasal dari keinginan dan kebutuhan manusia untuk mencari seorang Pelindung. Tuhan, yang dipandang sebagai maha besar, sesungguhnya tak lain daripada proyeksi diri manusia yang merasa kecil, sehingga terlihat besar, seperti bayangan tubuh kita di tembok setelah dipasang lilin di bawahnya. Karena itu ia mengatakan bukan Tuhan yang menciptakan kita, tapi kitalah, manusia, yang menciptakan-Nya. Tentu saja konsep-konsep negatif ini telah menimbulkan berbagai perasaan dalam diriku antara tertarik tapi juga repulsif. Inilah akhir dari topik "Mengapa Aku Tertarik pada Filsafat?" dan akan disambung dengan topik berikutnya: Dampak positif dan negatif Filsafat.
Oleh Mulyadhi Kartanegara
Hingga saat ini filsafat masih mempesonaku. Seperti sebuah magnit, filsafat tak pernah berhenti mempesonaku semenjak perkenalanku di awal tahun 79. Salah satu daya tarik filsafat pada saat awal aku mengenalnya adalah ditawarkannya kepada kita banyak hal baru yang hingga saat itu tidak pernah ketahui atau bahkan terlintas dalam benakku. Agama yang terlalu kaku dan sempit tidak manpu menjangkau hal-hal baru tersebut dalam kajiannya. Maka ketika hal-hal baru tersebut diperkenalkan, aku sangat terpesona dan semakin terpesona.
Berikut ini akan aku sajikan beberapa gagasan baru yang begitu menarik perhatianku sehingga membuatku mampu berjam-jam membacanya hampir secara obsesif. Pertama adalah soal Rasionalisme.
Sebelum aku kuliah di IAIN tahun 1978, aku hampir tak pernah berbicara tentang akal secara rasional. Dalam lingkungan Asy'ariyyah, akal dipandang sangat lemah dan dominasi wahyu sangat kuat. Tak pernah menyangka sebelumnya bahwa ada aliran Mu'tazilah yang begitu besar menghargai akal, sehingga ia dipandang dapat mengetahui beberapa perkara yang sampai saat itu hanya dapat diketahui melalui wahyu: keberadaan Tuhan, mengetahui yang baik dan yang buruk dan kewajiban menjalankan yang baik dan buruk bahkan terlepas dari adanya wahyu. Akal yang dipandang begitu rendah oleh kaum Asy'ariyyah tiba-tiba diangkat ke level yang sangat tinggi. Maka muncullah minatku untuk mempelajari ajaran-ajaran Mu'tazilah, khususnya berkenaan dengan akal. Sejak itu muncullah ketertarikanku pada Rasionalisme. Dari sini aku mengerti bahwa kurangnnya wacana rasional dalam kajian agama bisa mendorong seseorang untuk tertarik pada sesuatu yang baru yang kadang tidak sejalan dengan ajaran awal yang kita miliki, termasuk tertarik pada filsafat.
Rasionalisme yang diperkenalkan padaku oleh kaum Mu'tazilah sangat menarik perhatianku saat itu. Maka akupun memandang Mu'tazilah-lah yang seharusnya kita anut kalau kita ingin maju. Sebagai makhluk berakal maka manusia harus menggunakan akalnya semaksimal mungkin. Hanya dengan cara begitu, kita akan dapat meraih kemajuan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat nanti. Akallah yang seharusnya kita utamakan, bukan yang lain kalau bangsa ini ingin maju. Karena Pak Harun adalah tokoh yang memperkenalkan Mu'tazilah kepadaku, maka beliau adalah tokoh yang sangat aku kagumi saat itu. Inilah tokoh yang sebenarnya kita perlukan untuk memajukan bangsa. Pemikir Rasional yang sangat menjunjung tinggi akal, sains dan teknologi dan menjauhkan kita dari segala tahyul dan khurafat yang menjadi penyebab utana kemunduran bangsa.
Meskipun begitu, antusiasmeku pada Mu'tazilah semakin berkurang seiring berlalunya waktu. Kecenderunganku pada filsafat, membuat aku berikir bahwa rasionalisme Mu'tazilah belum bersifat filosofis, karena betatapun ia masih terikat pada wahyu, dan aku merindukan sebuah Rasionalisme murni tanpa tergantung pada wahyu. Maka seiring dengan motivasi yang tinggi akupun terus tenggelam dalam penelusuranku di dunia filsafat untuk mencari tahu Rasionalisme yang sejati, rasionalisme yang menggunakan akal sebagai satu-satunya ukuran kebenaran, bukan wahtu, ataupun intuisi.
Maka akupun mulai mempelajari secara intensif Rasionlisme a la Descartes, dengan semboyannya yang terkenal: cogito Erga sum, saya berpikir maka saya ada. Jadi akal bahkan menentukan keberadaan kita, kemudian alam dan Tuhan. Dan sejak itu mantaplah hatiku untuk menjadiknan akal sebagai satu-satunya kriteria untuk mengukur kebenaran, apalagi setelah mendengar ungkapan Hegel bahwa Realitas bersanding dengan Rasionalitas. Lama pandangan ini aku pegang, hingga Iqbal dan Bergson dan kemudian Rumi menyadarkanku akan kekurangan akal yang sangat fundamental.
Bagian 2: Kebebasan Kehendak
Oleh Mulyadhi Kartanegara
Hal baru kedua yang menyebabkan aku tertarik pada filsafat dan sangat menarik perhatian dan minatku kepada filsafat pada masa-masa awal kuliah di IAIN adalah soal Kebebasan Kehendak (Free Will). Ketertarikanku pada isu Kebebasan Kehendak ini, mungkin dilatar-belakangi oleh konsep takdir yang aku pelajari dari kajian-kajian agama, terutama dari perspektif Sunni, yang terkesan sangat fatalistis. Apapun yang terjadi dikatakan sebagai sudah takdir, sudah nasib yang telah ditentukan Allah. Begitu besar kuasa Allah sehingga seolah-olah manusia tidak diberi peran apapun dalam tindakannya. Bahkan ada orang yang mengatakan bahwa kita itu ibarat wayang, yang seluruh gerak-geriknya sama sekali tergantung pada sang dalang.
Nah di tengah-tengah mentalitas umat yang seperti itu, sekali lagi Mu'tazilah yang diperkenalkan oleh pak Harun nembuat aku kagum, karena penekanannya yang besar pada kebebasan memilih manusia. Dengan mengatakan bahwa manusia adalah pencipta tindakannya, maka manusia yang tak berdaya selama ini tiba-tiba diberi peran dan tanggung jawab yang besar. Manusia bertanggung jawab terhadap perbuatannya! Nasib seseorang bisa dirubah oleh manusia, sambil mengutip ayat al-Qur'an: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu bangsa (kaum) sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri." Menurut Mu'tazilah memang daya-daya yang ada pada diri manusia diciptakan oleh Allah, tetapi penggunaan daya-daya tersebut dalam bentuk tindakan adalah perbuatan atau ciptaan manusia, dan manusia bertanggung jawab atas perbuatan yang dipilih dan dilakukannya. Pada saat itu, ini merupakan ide yang revolusioner bagiku, sehingga timbullah minat yang besar pada isu kebebasan kehendak (free will) manusia. Karena manusia tiba-tiba menjadi "gagah-perkasa" setelah dibayangkan loyo tak berdaya.
Api antusiasmeku pada isu kebebasan memilih bertambah menyala ketika dalam mata kuliah filsafat umum diperkenalkan pada aliran Eksistentialisme, dengan sederetan nama besar tokohnya: Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, Frederich Nietzsche, Gabiel Marcell, M. Ponty dll. Walaupun mereka punya pemikiran yang berbeda-beda tetapi satu hal mereka sepakati yaitu bahwa kebebasan adalah syarat utama untuk eksisnya manusia. Mereka membedakan antara cara berada benda dan cara berada manusia. Cara berada benda adalah menerima apapun yang terjadi pada mereka, suka ataupun tidak. Sedangkan cara berada manusia adalah melalui kebebasan, yakni melalui pilihan bebasnya. Kata mereka hanya manusia yang bertindak bebas sesuai dengan kehendak dan rencananya itulah yang bisa dikatakan "eksis." Manusia yang tidak bisa memilih sesuai dengan kehendaknya, atau karena dipaksa oleh sebuah kewajiban, maka ia pada hakikatnya tidak eksis, sekalipun hidup di tengah-tengah manusia. Mereka tidak layak disebut manusia, karena cara berada mereka mirip dengan benda-benda.
Nah dengan kebebasan yang dimilikinya itu, maka manusia akan mampu memproyeksikan dirinya untuk menjadi apa saja. Berbeda dengan benda yang telah mencapai esensinya segera setelah tercipta, esensi manusia adalah pada ujung proses, bukan di awalnya. Karena itu ada istilah khas eksistensialis, manusia dalam "proses menjadi" atau "menyedang". Dan ingin menjadi apa itulah peran kebebasan manusia. Artinya manusia dengan kemampuan memilihnya harus merencanakan untuk menjadi apa. Tidak ada yang bisa disalahkan kalau anda gagal, karena itu menunjukkan kegagalan anda dalam menyelenggarakan diri anda. Mungkin anda belum mencapai atau menjalankan cara berada yang sesungguhnya. Inilah cara berada manusia untuk mencapai esensi (hakikat) anda yang sesungguhnya. Gagasan ini dirasa sangat mebarik pada saat itu, dan menyebabkan kita untuk selalu memeriksa apakah kita sudah bertindak sesuai dengan keinginan kita. Kalau belum maka kita menilai diri kita gagal dalam penyelenggaraan hidup ini. Dalam konteks ini banyak temanku pada saat itu yang neninggalkan salat dengan alasan mereka mengerjakannya secara terpaksa, dan karena itu tidak eksis.
Bagian 3: Filsafat Wujud
Oleh Mulyadhi Kartanegara
Hal baru ketiga yang membuatku tertarik pada filsafat adalah ajaran tentang wujud atau realitas: apa sih yang sesungguhnya ada? Sejak kecil kita diyakinkan orang tua atau guru bahwa yang ada itu alam ini dan alam ghaib. Tetapi dalam filsafat ada yang mengatakan bahwa yang betul-betul ada itu adalah apa yang bisa kita indra (lihat, dengar dll). Kata mereka berbeda dengan objek-objek ghaib, alam fisik ini dapat dibuktikan adanya secara objektif melalui panca indra. Tanya mereka "bagaimana kita bisa yakin kalau yang ghaib itu ada padahal ia tidak pernah dan bisa kita lihat selamanya!
Ada beberapa aliran yang mendukung pernyataan tersebut. Empirisisme, materialisme dan positivisme. Empirisisme mengatakan hanya yang bisa kita alami (melalui indra) itulah yang nyata, tak perlu mencari yang lain, karena yang bersifat fisik empirikal inilah satu-satunya yang real. Dengan nada yang hampir sama materialisme mengatakan bahwa materilah yang paling fundamental, yang non-materi, kalau memang ada, berasal dari materi. Misalnya pikiran mungkin bersifat mon-materi, tetapi ia berkembang dan berasal dari materi juga. Dengan semangat yang sama, positivisme juga mengatakan hanya yang positif (yang bisa diobservasi) yang harus kita pandang ada. Kita tak boleh percaya pada apapun yang tidak bisa diindra. Ketiga aliran ini yakin sekali bahwa tidak ada relitas lain selain realitas fisik empiris.
Tetapi selain tiga kelompok ini ternyata ada aliran lain yang membantahnya, di antaranya kaum Idealis. Merurut mereka realitas itu bukan berada di luar kita, tetapi justru di dalam diri kita, di dalam kesadaran kita. Kaum idealis, seperti diwakili oleh George Berkeley, mengatakan bahwa hakikat sebuah objek tidaklah terletak di luar diri kita, melainkan dalam kesadaran kita. Anda tidak dipandang ada kecuali saya memerhatikannya. Anda baru dikatakan ada hanya ketika saya memerhatikan anda, tapi keberadaan anda bukan di luar tetapi di dalam diri saya. Kalau anda melihat warna, mungkinkah ada warna kalau tidak ada orang yang melihatnya? Tidak ada, karena warna dan juga suara tidak ada di luar kesadaran diri kita, yang mempersepsinya melalui indra. Warna atau suara adalah penafsiran indra kita atas cahaya dan gelombang udara. Tanpa manusia yang menyadarinya, maka benda-benda yang kita pandang sebagai satu-satunya yang ada oleh kaum empiris, materialis dan positivis itu sebenarnya tidaklah ada dalam arti yang sebenarnya. Tentu saja ini sangat menarik perhatianku, karena ini memberiku cara baru untuk melihat realitas sesuatu.
Masih berkaitan dengan isu realitas tapi dari aspek epistemologi adalah pertanyaan dengan apa kita bisa mengetahui realitas. Tentu saja seperti pernah dikatakan al-Ghazali dalam bukunya al-Munqizh, bahwa di antara alat yang paling meyakinkan untuk mengetahui sesuatu adalah indra, dengan mana kita mengenal lingkungan fisik kita. Tetapi selanjutnya ia sendiri menyadari bahwa indra kadang berbohong dan karena itu tidak bisa dipercaya. Kata mata bintang itu kecil, nyatanya besar. Kata mata bayangan itu tidak bergerak nyatanya bergerak.
Di dunia barat pandangan empirisisme dan positivisme sangat dominan, dan hanya percaya pada dunia fisik. Karena itu bagi mereka metode yang paling tepat untuk memahami realitas adalah observasi atau metode eksperimen berdasar pada indra. Masalahnya, apakah indra bisa benar-benar menangkap realitas sebagaimana adanya? Ambil contoh, apakah pelangi itu benar-benar ada di langit? Kita akan bilang ya, karena ia bisa difoto. Tapi apakah mata kita melaporkan yang sesungguhnya? Ternyata idak, karena pelangi hanyalah pantulan cahaya matahari dari hujan, ia tidak benar-benar ada kecuali sebagai refkeksi. Pelangi akan nampak hanya apabila ada kamera atau mata yang melihatnya. Tanpa mata, maka tak ada pelangi. Jadi di manakah sebenarnya pelangi berada: di langitkah, atau di mata kita?
Berdasarkan itu maka al-Ghazali menyakini bahwa akal lebih bisa dipercaya dan komplit daripada indra. Misalnya indra hanya bisa melihat bulan separuhnya saja, tapi akal bisa melihatnya dengan penuh. Tapi Kant meragukan kemampuan akal dalam memahami Realitas. Karena ketika akal kita mengamati sesuatu, yang kita lihat hanyalah fenomena atau penampakan saja, bukan nomena atau realitas dari sesuatu. Dan itu terjadi karena ketika kita nengamati sesuatu kita sebenarnya menggunakan 12 kategori subjektif, seperti ruang, waktu, substansi, kausalitas, kuantitas, dll. yang menyebabkan kita tidak bisa menyentuh jantung realitas sebuah
Bagian Terakhir: Konsep Tuhan
Oleh Mulyadhi Kartanegara
Hal baru terakhir yang membuat aku tertarik pada filsafat berkaitan dengan konsep ketuhanan, yang kadang berbeda dengan yang digambarkan oleh kitab suci. Aristoteles dan al-Kindi menggambarkan Tuhan sebagai Sebab Pertama bagi rangkaian panjang sebab-sebab yang terjadi di alam semesta, hingga hari ini. Selain itu Tuhan juga digambarkan sebagai Penggerak Pertama yang tidak bergerak. Penggerak Pertama ini tidak bisa digambarkan sebagai bergerak, karena kalau begitu, maka ia memerlukan Penggerak yang lain, dan karena itu tidak bisa dikatakan Penggerak Pertama.
Selain itu Tuhan juga digambarkan oleh filosof sebagai the Great Unknown, yang Maha Besar tapi tak bisa dikenal. Inilah pandangan Plotinus, pendiri Neo-Platonisme yang sangat berpengaruh pada para pemikir Muslim. Konsep lain yang menarik tentang Tuhan didapatkan dari beberapa filosof Muslim, seperti Ibnu Sina yang menggambarkan Tuhan sebagai Wujud Niscaya (wajib al-wujud), yaitu wujud yang senantiasa aktual, yang dikontraskan dengan alam, sebagai Wujud Mungkin, yang tidak bisa mewujud sendiri, dan karena itu tergantung keberadaannya pada Tuhan, sang Wujud Niscaya. Tuhan digambarkan oleh Suhrawardi sebagai Cahaya segala cahaya (Nur al-anwar). Ia adalah sumber dari segala cahaya yang ada di alam semesta, yang merupakan komponen positif penting alam semesta yang terdiri dari cahaya dan kegelapan. Konsep Tuhan yang terakhir adalah dari Mulla Shadra yang menggambarkan Tuhan sebagai Wujud Murni yang menjadi dasar dan syarat adanya wujud lain yang kita jumpai di alam semesta ini. Tuhan sebagai Wujud Murni ini dipandang terbukti sendiri (badihi), karena Ia adalah Syarat dan fondasi bagi segala yang ada (mawjudat) di alam semesta. Tuhan para filosof ini bagiku saat itu merupakan konsep yang sama sekali baru dan telah mengubah Tuhan yang personal seperti digambartan al-Qur'an kepada Tuhan yang impersonal yang ternyata sangat bermanfaat dalam memahami konsep Tuhan para filosof bahkan hingga saat ini.
Kalau konsep para filosof sudah menggeser Tuhan yang personal ke Tuhan impersonal, konsep Tuhan para filosof modern lebih menantang lagi. Ia lebih merupakan kritik terhadap Tuhan ketimbang konsep positif tentang-Nya. Ktitik filosof modern tentunya sejalan dengan semakin sekulernya pandangan masyarakat Modern barat. Sekalipun kritik mereka awalnya diarahkan pada konsep Tuhan Kristen tetapi konsekuensinya meninpa semua agama. Mari kita mulai dengan Nietzsche. Ia mengatakan bahwa Tuhan telah mati (God is dead) dan ia "membunuh" Tuhan untuk memungkinkan manusia menjadi super, dengan cara mencipta. Kalau tuhan tidak dibunuh maka manusia tidak akan pernah menjadi besar, karena tidak pernah akan menjadi pencipta sejati, padahal mencipta merupakan syarat bagi terciptanya manusia super, yang didambakannya. Sartre di tempat lain pernah menggambarkan Tuhan sebagai Pengintip dengan melambangkan-Nya dengan lubang kunci. Dengan selalu mengintip perbuatan manusia, maka manusia akan kehilangan kebebasannya. Dan dengan kehilangan kebebasannya manusia tidak bisa benar-benar eksis dalam menyelenggarakan hidupnya. Karena itu kita harus menutup lobang kunci--menghapus Tuhan dari kesadaran manusia.
Tapi yang paling parah adalah Freud yang memandang Tuhan sebagai Ilusi. Dikatakan ilusi karena ia berasal dari keinginan dan kebutuhan manusia untuk mencari seorang Pelindung. Tuhan, yang dipandang sebagai maha besar, sesungguhnya tak lain daripada proyeksi diri manusia yang merasa kecil, sehingga terlihat besar, seperti bayangan tubuh kita di tembok setelah dipasang lilin di bawahnya. Karena itu ia mengatakan bukan Tuhan yang menciptakan kita, tapi kitalah, manusia, yang menciptakan-Nya. Tentu saja konsep-konsep negatif ini telah menimbulkan berbagai perasaan dalam diriku antara tertarik tapi juga repulsif. Inilah akhir dari topik "Mengapa Aku Tertarik pada Filsafat?" dan akan disambung dengan topik berikutnya: Dampak positif dan negatif Filsafat.