Haidar Bagir - facebook.com
“Sungguh akan Kami tunjukkan tanda-tanda (ayat) Kami, di ufuk-ufuk (alam semesta) dan pada diri mereka sendiri ...” (QS Fushshilat [41]: 53)
Alam sebagai Tanda-Tanda Tuhan
Ayat Al-Quran yang dikutip di atas dengan jelas memberikan posisi yang sedemikian penting bagi lingkungan tempat manusia hidup. Dia disebut tak kurang dari sebagai bejana yang mewadahi tanda-tanda (ayat) Allah (Vestigia Dei). Artinya, di samping lewat Al-Quran, kegiatan perenungan (dzikir) dan pemikiran rasional (fikir), pengetahuan tentang Allah Swt. Dapat diketahui lewat observasi (tadabbur) atas tanda-tandanya di alam semesta itu, yakni gejala-gejala alam semesta. Apalagi jika kita ingat ayat di atas barulah payung dari puluhan atau ratusan ayat Al-Quran yang mengajar manusia untuk merenungkan berbagai gejala alam yang terkadang disebut secara amat spesifik: pergantian siang dan malam, planet-planet dan peredaran mereka di orbitnya, gejala-gejala dunia flora dan fauna, gejala-gejala geologis mengenai gegunungan, juga tentang sejarah. (Pernyataan saya ini tolong tidak dirancukan dengan pandangan yang ingin membuktikan bahwa Al-Quran adalah sumber sains). Dalam terminologi Islam populer, alam semesta disebut sebagai ayat kauniyyah (tanda-tanda natural) yang dijajarkan dengan ayat Quraniah -- yakni, ayat-ayat Kitab Suci Al-Quran. Bukan itu saja, di berbagai tempat, Al-Quran menyebut orang-orang yang bisa memahami dan mengambil pelajaran dari gejala-gejala alam tersebut – dengan istilah kita sekarang, kaum scientist atau ilmuwan – sebagai ulû al-albâb, sebuah gelar tertinggi untuk menyatakan intelegensia tertinggi manusia.
Kenyataannya, jika kita pelajari sejarah perkembangan awal pemikiran Islam, kita dapati – seperti dengan baik diungkapkan oleh pujangga Anak-Benua India, Muhammad Iqbal – bahwa para pemikir Islam memberontak terhadap sifat antiklasik alias spekulatif filsafat Yunani. Meski sesungguhnya filsafat Yunani inilah yang banyak memberikan pemicu bagi perkembangan pemikiran Islam ini. Seperti diketahui, filsafat Yunani telah memberikan prioritas pada pemikiran rasional-idealistik ketimbang observasi-empirik-eksperimental. Pada Plato, yang percaya mengetahui sama dengan mengingat-kembali kebenaran-kebenaran ideal – yang berasal dari alam Idea praeksistensial – keyakinan ini sampai-sampai mengambil bentuk pelecehan terhadap gejala empirikal. Yakni, sampai sejauh menyatakan bahwa manifestasi-manifestasi empirikal yang merupakan objek indriawi manusia pada kenyataannya hanyalah berfungsi distortif terhadap kebenaran-kebenaran ideal tersebut. Bahkan pada Aristoteles, seorang naturalis, perkembangan paradigma eksperimen-empirikal masih terkendala oleh liberalisme spekulasi filosofis.
Pemberontakan-pemberontakan inilah yang belakangan mendorong para pemikir Islam tersebut untuk melahirkan metode observasi, yang kelak menjadi salah satu pilar metode ilmiah (scienctific method) seperti yang kita kenal sekarang ini. Meski sejarah sains Barat mencatat bahwa, bukan hanya Roger Bacon, bahkan Francis Bacon – dua orang yang dianggap sebagai penemu dan pengembang prosedur observasi-empirik dalam metode saintifik – pun belajar dari ilmuwan-ilmuwan Muslim ini. Meskipun demikian, tak ada seorang Muslim pun yang akan sependapat dengan pandangan Francis Bacon yang menyatakan bahwa “alam semesta perlu disiksa agar dia mau mengungkapkan rahasia-rahasianya”. Dalam pandangan mereka, alam semesta ini sudah diciptakan – sebagai bejana bagi tanda-tanda-Nya – dalam keadaan serasi dan memiliki daya dukung bagi kehidupan umat manusia. Merusak lingkungan alam, dengan demikian, bukan hanya merusak daya dan keindahannya, melainkan sama dengan tindakan melawan Allah Swt.[1]
Di dalam teosofi Islam (‘irfân), sebagaimana terungkap antara lain dalam pemikiran Ibn ‘Arabi, alam semesta ini disebut jagad-gede (al-‘âlam al-kabîr) dan manusia adalah jagad-cilik (al-‘âlam al-shaghîr). Keduanya dianggap sebagai manifestasi (tajalliyyât atau theophany) Allah Swt. Hal ini berarti bahwa ia menampilkan (manifestasi) zat Allah itu sendiri – kedahsyatan (jalâliyyah atau tremendum)-Nya maupun keindahan (jamâliyyah atau fascinans)-Nya.
Bagi kaum teosof (‘urafâ’) seperti ini, mengada-mengada (eksisten-eksisten atau maujud-maujud) adalah cermin Tuhan. Mereka menyebutnya “lokus penyingkapan-diri bagi kehadiran Kebenaran”, “cermin Kebenaran”, “berkas sinar cahaya-Nya”, “cahaya-cahaya penyingkapan diri Kebenaran”, “sinar-sinar keindahan dan keagungan”, dan sebagainya.
Dalam Îqâzh An-Nâ’imîn (Yang Membangunkan Orang-Orang yang Tidur), Mulla Shadra bersyair:[2]
Seluruh gambar dan cetakan (bayangan) berhadapan ini[3]
Hanyalah satu sinar
Yang diproyeksikan dari wajah Pembawa piala
dalam piala itu.
Di tempat lain, Shadra menjelaskan lebih lanjut:[4]
“... Anda perlu tahu bahwa pejalan spiritual terkadang memperlakukan ciptaan sebagai cermin pengungkapan-diri Tuhan dan sarana untuk menatap kepada sifat-sifat dan nama-nama Tuhan, tetapi terkadang juga menjadikan Tuhan sebagai cermin untuk menatap kepada segala sesuatu (maujud), suatu cermin yang menampilkan dunia.
Pergi dan lihat cermat-cermat,
karena setiap butir debu
adalah piala pemantul dunia
kala kau menatapinya”
“Sesiapa melihat dengan pengetahuan
dari cahaya kemurnian
melihat Tuhan terlebih dulu
Dalam segala apa yang dilihatnya.”
Kosmologi Monistik
Lebih dari itu, dalam gnostisisme Islam (‘irfân) berkembang semacam kosmologi “monistik” – yakni keyakinan bahwa keseluruhan eksistensi ini pada dasarnya bersumber dan mengambil bagian dalam eksistensi-Nya dan, dengan demikian, semua unsurnya saling berkaitan sekaligus terkait kepada Allah.
Doktrin ini bersumber pada proposisi bahwa keseluruhan realitas eksistensi dan apa yang maujud adalah tunggal. Dan bahwa segenap keragaman dalam dunia realitas, baik yang bersifat indriawi maupun intelektual, hanyalah “ilusi”. Yakni, bermain dalam pikiran kita sebagai citra-kedua sebuah objek di mata seorang yang juling. Namun, seperti didemonstrasikan dengan baik oleh Mahdi Ha’iri Yazdi,[5] doktrin ketunggalan wujud Ibn ‘Arabi ini tidaklah bersifat panteistik, tak juga monoteistik, melainkan monorealistik.
Dalam menggunakan istilah wujud Ibn ‘Arabi biasanya memelihara makna epistemologisnya. Baginya wujud tak hanya berarti “ber-ada”, melainkan juga “menemukan” atau “ditemukan”. Dengan kata lain, wujud menunjukkan bukan hanya eksistensi, melainkan juga kesadaran. Memang, meski menegaskan bahwa wujud adalah suatu realitas tunggal, Ibn ‘Arabi juga menegaskan bahwa realitas tunggal ini bersifat sadar diri – ia “menemukan” dirinya sendiri. Dan dalam menemukan dirinya sendiri ia memahami kemungkinan-kemungkinan yang tak terbatas mengenai pengungkapannya sendiri dalam berbagai modus ke-ditemukan-annya. Yakni, ia menampilkan diri dalam berbagai pengungkapan, sesuai dengan tuntutan realitas spesifik dari pengungkapan itu. Alam semesta, menurut Ibn ‘Arabi, terwujud atas dasar dua kutub referensi ini: wujud dan pengetahuan. Keberagaman alam semesta menampilkan sebuah keragaman sejati realitas-realitas, meski tetap dalam matriks suatu wujud tunggal.
Wujud, menurut Ibn ‘Arabi, analog dengan cahaya, sementara segala sesuatu analog dengan warna yang spesifik dan khas. Realitas masing-masing warna tak kemudian hilang oleh kenyataan bahwa setiap warna menjadikan suatu cahaya tunggal mengejawantah. Jelas, setiap warna tak memiliki eksistensi tanpa adanya cahaya. Setiap warna identik dengan cahaya, tapi cahaya tetap saja bersifat khas dan tak bisa dibandingkan dengan masing-masing warna, ataupun dengan jumlah total warna-warna. Segala sesuatu “eksis” (wujud), namun dalam suatu modus spesifik yang tak menyebal dari ketakterbandingan wujud itu sendiri. Dengan demikian, segala sesuatu identik dengan wujud sekaligus berbeda dengannya.
Doktrin Ibn ‘Arabi ini disebut sebagai ketunggalan eksistensi (wahdah al-wujûd atau, tepatnya, tauhîd wujûdî).
Filsafat Hikmah dan Gradasi Eksistensi
Pemikiran Mulla Shadra[6] biasa disebut sebagai Hikmah Sublim (Al-Hikmah al-Muta’âliyyah, yang bisa berarti Hikmah Transenden, atau Hikmah Sublim, atau Teosofi Transenden, atau juga Filsafat Transenden) – atau biasa disebut secara ringkas sebagai Filsafat Hikmah atau Hikmah saja. Pemikir Muslim abad 10/11 (979 H/1571 M) ini berupaya menyintesiskan kesemua perkembangan pemikiran Islam yang mendahuluinya, seraya mengelaborasinya lebih jauh ke tingkatan yang belum dicapai sebelumnya. Mulla Shadra menyebut filsafatnya sebagai Al-Hikmah al-Muta’âliyyah untuk menunjukkan perbedaan wataknya dengan filsafat Peripatetik yang bersifat Aristotelian.
Mulla Shadra membangun mazhab baru ini dengan semangat untuk mempertemukan berbagai aliran pemikiran yang berkembang di kalangan kaum Muslim. Yakni, tradisi Aristptelian cum Neoplatonis yang diwakili figur-figur Al-Farabi dan Ibn Sina, Filsafat Iluminasionis (Isyrâqiyyah) Suhrawardi, pemikiran ‘irfani Ibn ‘Arabi, serta tradisi kalam (teologi dialektis) yang pada saat itu telah memasuki tahap filosofisnya melalui figur Nashr Ad-Dîn Ath-Thûsî (w. 1273 M). Tak hanya menghimpun empat aliran pemikiran di atas, dia menunjukkan pengetahua yang luas lagi mendalam tentang ajaran-ajaran tradisional Islam.
Meskipun sempat terlambat dikenal dan dipahami – sehingga sempat timbul keyakinan bahwa filsafat Islam telah mati setelah Ibn Rusyd – saat ini telah diterima secara luas bahwa Hikmah adalah suatu sistem filsafat yang koheren, betapapun ia menggabungkan berbagai mazhab filosofis sebelumnya. Selain orang-orang seperti Seyyed Hossein Nasr dan Henry Corbin – yang memang secara khusus memberikan perhatian pada filsafat Islam pasca-Ibn Rusyd – Fazlur Rahman telah menulis sebuah studi khusus mengenai aliran dalam filsafat Islam ini.[7] Izutsu,[8] meskipun menyatakan bahwa aliran dapat dilihat sebagai “sesuatu yang didasarkan pada pengalaman transintelektual dan gnostik,” menyebutnya “suatu sistem rasional yang solid”.
Bagi Mulla Shadra, wujud, selain adalah realitas tunggal sebagaimana diungkap oleh Ibn ‘Arabi, muncul dalam gradasi (tahap) yang berbeda. Meminjam dari Suhrawardi, kita dapat membandingkan berbagai wujud cahaya. Ada cahaya matahari, ada cahaya lampu, ada cahaya lain. Semuanya cahaya, tetapi dengan predikat yang berbeda – artinya, dalam manifestasi dan kondisi yang berbeda. Begitu pula, ada Tuhan, ada manusia, ada binatang, ada batu. Semuanya satu wujud, satu realitas, tetapi dengan berbagai tingkat intensitas dan manifestasi. Perbedaannya bersifat gradasional. Jadi, eksistensi dalam sistem filsafat ini bersifat, di satu sisi, univok, dan, di sisi lain, ekuivok. Ia univok dalam hal kesamaan (sumber) eksistensi, dan ekuivok dalam gradasi eksistensi. Dalam sistem filsafat Hikmah, kenyataan ini disebut sebagai ambiguitas eksistensi (tasykîk al-wujûd). Lebih dari itu, setiap tingkatan yang lebih tinggi, mencakup di dalamnya tingkatan-tingkatan yang lebih rendah.
Persaudaraan Manusia dan Makhluk-Makhluk Selebihnya
Jika prinsip gradasi eksistensi itu kita terapkan ke atas berbagai entitas di alam dunia ini, maka kita dapati yang terendah adalah yang biasa disebut sebagai jiwa mineral (an-nafs al-‘aqdiyyah) – yakni, yang unsur materinya relatif paling dominan. Dari sini, kita mendapati tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi yakni, berturut-turut, jiwa tanaman (an-nafs an-nabâtiyyah), jiwa hewan (an-nafs al-hayawâniyyah), dan jiwa manusia yang berpikir (an-nafs an-nâthiqah).
Jiwa manusia, yang berada dalam tingkatan tertinggi terdiri dari, atau meliputi, jiwa tanaman dan jiwa hewan. Setiap bagian jiwa ini menyumbang pada natur manusia. Jiwa tanaman menyumbang pada aspek vegetatif (nutritif dan apetitif) manusia, sementara jiwa hewan menyumbangkan aspek emosi (syahwat) padanya.
Sejalan dengan itu, pada hukamâ’ (filosof atau teosof) Muslim melihat unsur alam semesta apa pun – terpisah dari manusia – sebagai memiliki “ruh”. Dengan kata lain, semua unsur di alam semesta ini menyimpan kehidupan.
Sebagai tambahan dari itu, sejak awal-mula perkembangan filsafat Islam, para filosof dan teosof Muslim menempatkan konsep simpati Plotinian – sympathea atau, dalam disiplin keislaman ini, diidentikkan dengan ‘isyq (cinta), antara berbagai unsur alam semesta – sebagai salah satu prinsip sistem yang mereka bangun. Masing-masing unsur ini secara aktif saling memberikan pengaruh kepada yang lain. Lebih jauh dari itu, pada dasarnya suatu jaringan interaksi antarobjek alam semesta ini bersifat harmonis. Lewat sistem simpati ini, bukan saja elemen-elemen objek di alam semesta berkomunikasi satu sama lain, mereka juga memiliki kekuatan saling-pengaruh. Suatu perubahan di salah satu unsur alam semesta akan berpengaruh kepada unsur yang lain. Merusak alam semesta dengan demikian berarti merusak sistem keseimbangan – yang pada gilirannya akan merugikan manusia itu sendiri.
Dalam ungkapan yang lebih sentimental, maka bukan hanya manusia yang bersaudara, tapi sesungguhnya seluruh unsur alam semesta bersaudara. Baik karena keterkaitan maupun kesatuan “organis” manusia dan makhluk-makhluk selebihnya itu.
Dalam konteks ini kita dapat memahami mengapa Nabi Muhammad perlu mewanti-wanti agar dalam keadaan peperangan pun pasukan dilarang – selain mengganggu orang tua, perempuan, dan anak-anak, yakni warga sipil – untuk menginjak-injak tanaman. Ajaran ini, selain mengungkapkan penghargaan Islam terhadap lingkungan hidup pada umumnya – sekaligus menunjukkan pentingnya tanaman atau flora dalam pandangan dunianya. Pentingnya tanaman ini juga ditunjukkan oleh dominasi dalam tumbuh-tanaman dalam panorama surga seperti diajarkan dalam kitab suci dan tradisi. Bukan saja surga digambarkan sebagai dipenuhi dengan kehijauan tanaman, kata surga sendiri dalam bahasa Arab – yakni jannah – berarti taman.
Meski pada dasarnya masyarakat Muslim awal adalah masyarakat pedagang, pandangan dunia Islam – antara lain seperti yang terungkap dalam posisinya terhadap lingkungan hidup dan dunia flora – sudah semestinya memiliki cara pandang yang dapat membimbing upaya-upaya revitalisasi pertanian.
Pertama, kegiatan pertanian memiliki makna keagamaan, baik dalam hubungannya dengan kenyataan bahwa tanaman – yang merupakan produk pertanian – merupakan bagian dari lingkungan hidup – dus, tanda-tanda-Nya – maupun dalam hal asosiasinya dengan kebahagiaan tertinggi yang akan didapat oleh manusia-manusia yang baik kelak – yakni, surga.
Kedua, mengingat memelihara keseimbangan alam semesta berarti memelihara kualitas hidup terbaik bagi manusia, setiap upaya peningkatan produksi pertanian harus dilakukan dengan mempertimbangkan ekologi. Bahkan pun jika yang menjadi pertimbangan satu-satunya adalah peningkatan produksi pertanian ini, teknologi yang gegabah pada – penggunaan pestisida secara tidak bijaksana, pemanfaatan air secara berlebihan, penerapan bioteknologi secara tidak cermat, dan sebagainya – jangka panjang justru akan memukul balik kepentingan banyak orang dalam bentuk penurunan produksi yang diakibatkan rusaknya daya dukung alam semesta, dalam hal ini lahan pertanian. Belum lagi jika dipertimbangkan kemungkinan-kemungkinan bencana lain yang bisa lahir dari sikap gegabah ini, termasuk di dalamnya perkembangan-perkembangan penyakit akibat keracunan, krisis air (yang disebut-sebut sebagai krisis selanjutnya setelah bahan bakar), ketakseimbangan nutrisi akibat produk varietas makanan yang tak memiliki kandungan seimbang, dan sebagainya. Inilah, pada dasarnya, salah satu manifestasi dari pandangan (baca: kenyataan) bahwa seluruh unsur alam semesta sesungguhnya bersaudara – dan, karena itu, saling mendukung. Kerusakan satu unsur, pada gilirannya, akan menimbulkan kerusakan pada unsur lainnya. []
-----------
[1] Dipandang secara etimologis, istilah ‘alam (alam semesta) itu sendiri sudah menunjukkan makna “tanda”. Dalam kamus, kata ini bisa berarti semacam umbul-umbul, yakni yang sengaja dipasang untuk menunjukkan arah sedemikian, sehingga dari kejauhan orang bisa melihatnya. Dapat juga ia bermakna tanda pemisah halaman buku. Sekali lagi dikesankan secara demikian jelas sifat alam semesta sebagai tanda-tanda Penciptanya.
[2] Dikutip dalam Muhammad Khansari, “A Glance at Mulla Shadra’s Mysticism in Îqâzh al-Nâ’imîn”, dalam SIPRIn, Mulla Shadra and Transcendent Theosophy, hh. 386-387.
[3] “Cetakan (bayangan) berhadapan” yang dimaksud di sini adalah Tuhan dan Alam semesta, yang masing-masingnya dilambangkan dengan “Pembawa piala” dan “piala”.
[4] Mulla Shadra, Se ‘Ashl, ed. S.H. Nasr, Intisyarat-i Maula, Tehran, 1997, h. 153.
[5] Mehdi Ha’iri Yazdi, Ilmu Hudhuri: Principles of Epistemology in Islamic Philosophy, State University of New York, 1992.
[6] Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim Yahya Qawâmi Syîrazî. Ia dikenal pula dengan nama Shadr Al-Dîn Syîrazî.
[7] Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Shadra, Chicago University Press, Chicago, 1979, h. 5.
[8] Toshihiko Izutsu dan Mahdi Mohaghegh, The Metaphysics of Sabzavari, terjemahan (parsial) bahasa Inggris dari Syarh-i Manzhûmah, karya Sabzivari, Caravan Books, New York, 1977.