Renaisans Ketiga: Mungkinkah terjadi di Indonesia dan Asia Tenggara?

Oleh Mulyadhi Kartanegara

Bagian 1

Besar harapanku bahwa bangsa Indonesia sebagai penduduk terbesar umat Islam mampu memainkan peranan intelektual yang vital, bukan hanya pada taraf domestik, melainkan juga regional, bahkan kalau mungkin, dunia, Banyak harapan serupa pernah dilontarkan rekan-rekan kita di Malaysia, bahkan almarhum Prof. Dr. Fazlur Rahman (w. 1988 M) sendiri pernah meramalkan bahwa kebangkitan Islam pada masa mendatang akan muncul bukan di dunia Arab, melainkan di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia.

Seberapa feasible-kah harapan tersebut untuk diwujudkan? Jika kita melihat morat-maritnya kondisi ekonomi dan politik kita saat ini, boleh jadi kita akan sangat pesimis. Namun, terlepas dari kondisi real di atas, masyarakat Indonesia sebenarnya telah memiliki aset yang sangat potensial, dilihat dari keterbukaannya terhadap informasi dan pemikiran apapun yang datang dari luar. Dalam wacana keislaman, misalnya, aku sangat berbahagia bahwa di negeri ini kita boleh menerjemahkan dan menerbitkan karya-karya dalam bidang keilmuan Islam apapun, seperti tasawuf, ilmu kalam, bahkan filsafat—yang oleh negara-negara tertentu, seperti Arab Saudi, sangat dibatasi bahkan dilarang—oleh aliran manapun, entah itu modernis, dan lain-lain, dan oleh siapa pun, entah itu Fazlur Rahman, Nasr, Maududi, Ali Syari'ati, Hassan Hanafi, dan sebagainya.

Keterbukaan intelektual seperti ini patut kita syukuri dan kita pertahankan karena ia akan memberi dasar yang kuat bagi pengembangan daya intelektual dan perluasan wawasan umat, yang sangat diperlukan bagi tumbuhnya pemikiran-pemikiran yang kreatif dan orisinal. Pemikiran yang kreatif dan orisinal akan bisa tumbuh hanya apabila kita telah memiliki dan mewarisi khazanah intelektual yang kaya dan luas. Warisan seperti ini, pada saat ini, sebenarnya masih dapat kita peroleh melalui berbagai karya ilmiah dan filosofis, baik asli maupun terjemahan—yang berasal dari sumber-sumber Islam maupun Barat, asal saja kita telah bisa bersikap terbuka dan berlapang dada terhadap dunia luar. Dan kondisi ini, alhamdulillah, telah kita miliki.

Nah, pada tahap sekarang ini ketika penulis-penulis asli dari kaum cendekiawan pribumi belum mampu menyuplai bahan-bahan kajian yang memadai untuk bangsa ini—bahkan masih sangat jauh, maka terjemahan merupakan salah satu solusi yang barangkali terbaik bagi konsumsi intelektual kita, meskipun karya terjemahan masih secara keliru dipandang inferior dibandingkan dengan karya orisinal. Sebenarnya, kita sama sekali tidak boleh menganggap sepele terhadap karya-karya terjemahan ini. Sejauh yang dapat aku ketahui dari bacaan selama ini, dapat dikatakan bahwa dua renaisans yang telah pernah terjadi di dunia—Islam dan Eropa—tidak bisa dibayangkan muncul tanpa tersedianya karya-karya terjemahan. Abad ke-l0 M, telah dipandang oleh beberapa ahli—Adam Mez dan Joel L. Kraemer—sebagai renaisans Islam karena tokoh-tokoh besar, seperti Al-Farabi, Abu Sulaiman Al-Sijistani (w. 983 M), Abu Al-Hasan Al-‘Amiri (w. 992 M), dan Miskawaih muncul, berkembang, dan mempengaruhi tokoh-tokoh sesudahnya. Akan tetapi, Renaisans Islam—yang harus dipahami dalam konteks ini sebagai upaya kaum Muslim untuk menggali kembali warisan klasik, terutama Yunani—ini hanya dimungkinkan setelah terjadi gelombang besar-besaran dari penerjemahan karya-karya Yunani dan India—ke dalam bahasa Arab pada abad ke-9 dan awal abad ke-10 M atau abad ke-3 dan ke-4 H, dengan para penerjemah ternama, seperti Hunain ibn Ishaq, Ishaq ibn Hunain, Al-Kindi, Abu ‘Utsman Al-Dimasyqi, dan Hubaisy. Para penerjemah ini telah dengan sangat metodik dan akurat berhasil menerjemahkan ribuan karya klasik, yang pada gilirannya telah menjadi bahan dasar (raw material) bagi pembentukan sintesis-sintesis agung pada masa-masa berikutnya, seperti yang dilakukan oleh Ibn Sina, Suhrawardi, dan Mulla Shadra.

Bagian 2

Demikian juga tidak bisa terbayangkan munculnya Renaisans Barat, yang lebih terkenal, pada abad ke-14 hingga abad ke-16, tanpa didahului oleh penerjemahan-penerjemahan yang intensif di Toledo dan Sisilia dari karya-karya ilmiah-filosofis Muslim (Arab) oleh para penerjemah Latin dan Yahudi, seperti Gundissalinus, Michael Scott, dan Ibn Dawud, ke dalam bahasa Latin dan Ibrani, pada awal abad ke-14, dan -13. Ratusan--bahkan mungkin ribuan--karya ilmiah dan filosofis Muslim, seperti Kitab Al-Manazhir, Al-Qanun, Al-Syifa’, Al-Hawi, Maqashid Al-Falasifah, dan Tahafut Al-Falasifah, dan terutama ratusan komentar Ibn Rusyd yang kaya dan bervariasi terhadap karya-karya Aristoteles dan Plato. Kehadiran karya-karya Arab dalam bentuk terjemahan-terjemahan inilah, aku yakin, yang telah memicu dan mengilhami gerakan Renaisans Eropa (terutama Italia) untuk menghidupkan kembali warisan klasik Yunani. Tanpa karya-karya terjemahan tersebut, aku yakin tidak akan ada renaisans di Eropa, dan tanpa renaisans ini tidak bisa dibayangkan terjadinya revolusi ilmiah yang sekarang menandai peradaban Barat modern.

Oleh karena itu, aku berharap berhentilah menghina karya terjemahan, dan marilah kita terus berusaha menerjemahkan sebanyak mungkin dan seakurat mungkin karya-karya besar dunia, baik klasik Islam maupun modern Barat, untuk kita jadikan sebagai bahan dasar (adonan) bagi terbentuknya pemikiran-pemikiran sintesis yang agung di negeri tercinta ini. Hanya dengan cara itulah barangkali kebangkitan Dunia Islam bisa terwujud di kawasan ini.

Mungkinkah dengan realitas seperti sekarang ini, bangsa kita dapat melahirkan Renaisans Ketiga, setelah Arab dan Eropa? Mengapa tidak. Bukankah seperti yang telah disinggung, kita telah memiliki aset yang sangat berharga, yaitu sikap terbuka terhadap pemikiran dunia? Meskipun demikian, harus segera disadari bahwa jalan menuju perealisasiannya masih sangat jauh dan berliku-liku. Di sini kita berbicara bukan tahunan, bahkan bukan pula dasawarsa-an, melainkan abad. Oleh karena itu, diperlukan persiapan mental yang tangguh dan energi serta cita-cita yang tinggi, siap mental untuk gugur di tahap-tahap awal perjalanan itu, dan untuk tidak berharap dapat melihat hasil perjuangan kita. Aku sudah akan merasa puas, seandainya generasi kita ini telah sanggup meratakan jalan bagi perjalanan yang panjang ini.

Menurut keyakinanku, jalan ini bisa kita tempuh melalui beberapa tahap. Tahap pertama adalah penerjemahan. Kita telah maklum bahwa penerjemahan telah dan akan tetap memainkan peranan yang sangat penting bahkan kunci dari sebuah renaisans. Aku juga telah menyatakan kegembiraanku atas diperkenankannya oleh pihak berwenang penerjemahan dan penerbitan karya-karya ilmiah dari manapun asalnya, dari siapapun penulisnya, dan apapun alirannya. Akan tetapi, tentu saja dalam hal ini kita tidak boleh puas dengan apa yang telah kita capai. Kita harus terus mengupayakan perbaikan dan peningkatan—baik dalam arti jumlah maupun mutu—dari penerjemahan.


Bagian 3

Sebuah terjemahan yang baik, menurut hematku, adalah yang diterjemahkan oleh seorang yang ahli—dalam arti menguasai—baik bahasa sumber yang diterjemahkan maupun bahasa sasaran, dan seorang ahli dalam bidang keilmuannya. Selain itu, terjemahan yang baik adalah yang telah berkali-kali dikonsultasikan dan direvisi sebelum diterbitkan. Bahkan karya terjemahan yang telah diterbitkan pun perlu direvisi jika di dalamnya terdapat kekeliruan-kekeliruan penting yang bisa menyesatkan pembaca.

Sebenarnya, kita bisa belajar banyak tentang bagaimana membuat terjemahan yang baik dari para penerjemah klasik Dunia Islam pada abad ke-9 dan 10. Misalnya, kasus Hunain ibn Ishaq, penerjemah Kristen Nestorian, yang telah menerjemahkan ratusan karya Yunani—baik dari bahasa Yunani sendiri maupun dari bahasa Suryani—ke dalam bahasa Arab. Dia sendiri adalah ahli kedokteran dan filsafat dan cabang-abang ilmu rasional lainnya, di samping teologi. Jadi, dari sudut keahlian, dia telah lebih dari memadai. Kedua, dia ahli dalam setidaknya tiga bahasa: Yunani, Suryani, dan Arab. Diceritakan bahwa Hunain menghilang di daerahnya, dan ternyata dia pergi mencari naskah-naskah dan informasi ke Yunani sendiri, tanpa mengalami hambatan linguistik. Dia menguasai dengan baik bahasa Suryani, bahasa aslinya, dan bahasa Arab, sebuah bahasa ilmiah yang harus dikuasai oleh seorang cendekiawan sekaliber Hunain. Dan dia sendiri keturunan Arab, dan karena itu berbahasa Arab. Selain ahli dalam bidangnya dan bahasa-bahasa yang bersangkutan, dia juga memiliki cara atau metode penerjemahan yang baik. Dikatakan bahwa sebelum melakukan penerjemahan, dia akan mengumpulkan beberapa manuskrip dari karya yang akan diterjemahkan, dan setelah diadakan perbandingan dan "kolasi", kemudian memutuskan mana di antara manuskrip tersebut yang terbaik untuk diterjemahkan. Selain itu, untuk menjamin mutu dan akurasi sebuah terjemahan, dia sering melakukan revisi, baik terhadap terjemahan yang dilakukan orang lain, seperti terhadap sebuah karya Aristoteles oleh Yohanna ibn Hailan, ataupun terhadap terjemahannya sendiri yang telah dia lakukan waktu masih muda. Untuk memastikan mutu dan akurasinya, tidak jarang Hunain melakukan tiga kali revisi terhadap karya yang sama!

Tentu ini berbeda sekali dengan realitas penerjemahan yang dilakukan di negeri ini. Siapapun penerjemahnya, apapun bidang keahliannya, dan betapapun mutu terjemahannya, sekali dia terbit, tidak pernah direvisi untuk diterbitkan ulang. Bahkan ketika terjadi penyimpangan yang berarti atau pemenggalan satu bagian yang sangat signifikan, terjemahan tetap diterbitkan dan diedarkan tanpa penjelasan, seperti yang terjadi pada penerjemahan karya etika Majid Fakhry, Ethical Theories in Islam. Versi terjemahan dari karya ini telah menghilangkan satu bagian—tanpa penjelasan—yang menurutku justru inti dari buku tersebut, yakni etika filosofinya, karena dua alasan: (1) keahlian Majid Fakhry yang utama adalah filsafat—dia adalah pengarang buku A History of Islamic Philosophy, yang kebetulan telah aku terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia; (2) bahwa bagian ini (etika filosofis) merupakan yang terpanjang dan paling terperinci dibandingkan dengan yang lain. Akan tetapi, sayang, bahkan sampai saat aku menulis karya ini, tidak ada apologi, apalagi revisi dari penerjemah maupun penerbitnya.

Bagian 4

Tahap kedua yang bisa kita lakukan untuk meratakan jalan panjang menuju renaisans ketiga adalah menghimpun sebanyak mungkin karya-karya ilmiah dan filosofis klasik, untuk kemudian dikaji, dianalisis, dan diterjemahkan sebaik mungkin. Penghimpunan atau koleksi karya-karya agung ilmiah dan filosofis ini sangat perlu dilakukan dalam rangka membangun tradisi intelektual kita yang komprehensif, mengingat langkanya karya-karya tersebut di negeri kita. Sebenarnya khazanah intelektual Islam dalam bidang ilmu dan filsafat amatlah kaya. Di Istanbul sendiri terdapat hampir sejuta manuskrip ilmiah dan filosofis seperti itu, sebagaimana dilaporkan oleh Brockelmann dan Fuad Sazgin. Sedangkan di daerah-daerah bekas jajahan Rusia terdapat puluhan ribu manuskrip lainnya. Namun, di negeri kita, informasi tentang karya-karya ilmiah-filosofis ini amat langka dan asing, seperti juga informasi tentang tokoh-tokohnya, yang menurut laporan dari 'Uyun Al-Anba' fi Thabaqat Al-Athibba', sebuah karya ilmiah Ibn Abi Ushaibi‘ah, dan Nuzhat Al-Arwah wa Raudhah Al-Afrah karya Syams Al-Din Sahrazuri, jumlahnya bisa mencapai ratusan, jika tidak ribuan.

Dari yang pernah kuketahui ternyata banyak sekali karya filosofis yang telah dihasilkan Dunia Islam, dan siap untuk direnaisans. Dalam bidang kimia, misalnya, kita mewarisi ribuan karya yang terhimpun dalam apa yang dikenal sebagai Geberian Corpus, kumpulan tulisan yang dianggap berasal dari seorang ahli, bahkan boleh dikata "Bapak" kimia Islam, Jabir ibn Hayyan (w. 833 M). Dalam bidang matematika, kita mempunyai kitab yang paling terkemuka, Al-Jabr wa Al-Muqabbalah, karya Muhammad ibn Musa AI-Khwarizmi, sebuah karya aljabar, sebagaimana bisa kita lihat dari judulnya, dan Miftah Al-Hisab, karya Ghiyats Al-Din Jamsyid, dalam bidang aritmetika, yang untuk pertama kalinya fraksi desimal ditemukan.

Dalam bidang astronomi, Dunia Islam juga telah melahirkan karya-karya besar, seperti Al-Qanun Al-Mas‘udiyyah, karya Al-Biruni, yang, telah melakukan beberapa modifikasi dan perbaikan astronomi matematik Ptolemeus, dan beberapa tabel astronomi, yang disebut "zij", sebagai hasil observasi para astronom Muslim di beberapa observatorium, seperti Zij A I-Hakimiyyah oleh Ibn Yunus di Kairo, Zij IIkhaniyyah oleh Nashir Al-Din Thusi dan kawan-kawan di Maraghah dan Zij Ulugh Begh oleh Ulugh Begh di Samarkand. Sementara itu, Nihayah Al-Idrak oleh Quthb Al-Din Syirazi, yang diikuti oleh Ibn Syathir, telah menemukan metode baru untuk menghitung gerakan planet yang kemudian disebut "Kopel Thusi" (Thusi's Couple).

Dalam bidang fisika, kita memiliki karya-karya yang cukup besar, seperti bagian fisika dari Kitab Al-Syifa' oleh Ibn Sina, dan kitab yang sangat terkenal dalam bidang optika (salah satu cabang fisika) oleh Ibn Haitsam, Kitab Al-Manazhir, seperti yang telah disinggung, dibuktikan dan dibedakan mengenai teori penglihatan yang benar dari teori yang keliru. Dalam karya ini pengarang menggunakan metode eksperimental dalam mempelajari spektrum cahaya dan analisis ilmiah tentang refleksi, refraksi yang berkaitan dengan pelangi, dan menciptakan instrumen-instrumen optik termasuk cermin parabolik. Kitab ini juga mendapat perhatian yang serius bahkan kritik yang konstruktif dari ahli optik abad ke-15, Kamal Al-Din, yang telah memberikan deskripsi akurat tentang pembentukan pelangi, yang menurut pengamatannya, disebabkan oleh refraksi dan refleksi cahaya.

Dalam bidang sejarah alam, kita patut berbangga dengan dua kitab yang mempelajari hewan bukan saja dari sudut anatomisnya, melainkan juga dimensi moral dalam kehidupan hewan: Kitab Al-Hayawan oleh Al-Jahiz, dan Hayat Al-Hayawan al-Kubra oleh Al-Damiri.

Bagian 5

Bidang ilmiah lain yang patut kita banggakan adalah bidang kedokteran. Kemajuan dalam bidang kedokteran ini barangkali bisa kita lihat dari jumlah dokter yang mencapai lebih dari 800 ratusan sebagaimana yang dilaporkan pada abad ke-13 oleh Ibn Abi Ushaibi‘ah dalam kitabnya 'Uyun Al-Anba fi Thabaqat Al-Athibba'. Karya-karya besar medis yang lain juga bermunculan, antara lain Kitab Al-Hawi karangan ahli klinis Persia, Abu Bakr Muhammad ibn Zakariyya Al-Razi, yang ditulis dalam dua puluh jilid sebagai buah praktik kedokteran Al-Razi selama lima belas tahun terakhir hidupnya, dan Kitab Al-Qanun fi Al-Thibb, karangan Ibn Sina (Avicenna) yang dikatakan telah mensintesiskan dua tradisi besar medis Yunani, Hippokratik dan Galenik. Bidang yang berkaitan dengan kedokteran, seperti farmasi dan farmakologi juga telah melahirkan karya besar, seperti Al-Jami’ limufradat Al-Aghdziyyah wa Al-Adwiyyah, karangan farmakolog Andalusia, Ibn Baithar dan bagian farmakologi dari Kitab Al-Qanun, karya Ibn Sina.

Selain karya-karya ilmiah, kita juga mewarisi banyak sekali karya-karya filosofis di sepanjang sejarah pemikiran Islam. Namun, sebelum kita mendaftarkan karya-karya besar dalam bidang ini, perlu dikemukakan bahwa individu-individu filosof atau ilmuwan, yang mungkin hanya didaftarkan satu karya utamanya, sebenarnya telah menulis puluhan bahkan ratusan karya. Misalnya lebih dari dua ratus karya, dikatakan telah ditulis oleh Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, dan puluhan oleh Suhrawardi, Nashir Al-Din Thusi dan Quthb Al-Din Syirazi. Di antara karya-karya filosofis utama yang pernah dihasilkan filosof Muslim adalah: Al-Falsafah Al-Ula' dalam bidang metafisika oleh Al-Kindi, Ara' Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah, dan Al-Siyasah Al-Madaniyyah dalam bidang metafisika dan politik oleh Al-Farabi. Ibn Sina telah menghasilkan puluhan karya besar dalam bidang filsafat, di antaranya Al-Syifa', Al-Najah, Manthiq Al-Masyriqiyyin, Al-Isyarat wa Al-Tanbihat, dan Kitab Al-Inshaf. Selain itu, dia juga menulis karya-karya novel (visionary recitals), seperti Risalat Al-Thair, Hayy ibn Yaqzhan, dan Salaman wa Absal.

Sebagai pengkritik filsafat, Al-Ghazali telah menghasilkan setidaknya dua karya filosofis yang terkenal, Maqashid Al-Falasifah dan Tahaput Al-Falasifah, yang pada gilirannya telah menghasilkan sebuah karya tandingan Tahafut Al-Tahafut oleh Ibn Rusyd. lbn Rusyd sendiri telah menghasilkan karya-karya komentar yang kaya terhadap karya-karya Aristoteles, seperti komentar terhadap Metafisika, Poetika, De Interpretatione, Etika Nichomakean, dan Rhetorika, di samping karyanya sendiri yang orisinal, Al-Fashl Al-Maqal dan Kitab Al-Kasyf 'an Manahij Al-'Adillah. Teman sezaman Ibn Rusyd di Timur, Suhrawardi Al-Maqtul, pendiri Mazhab Isyraqi, juga telah menghasilkan karya-karya besar filosofisnya, seperti Al-Talwihat, Al-Muqawamat, Al-Masyari' wa Al-Mutharahat, dan yang paling orisinal dari semua itu Hikmat Al-lsyraq. Karya-karya Isyraqi ini disusul oleh karya-karya Nashir Al-Din Thusi, yang membela tradisi Ibn Sina, dan Quthb Al-Din Syirazi, yang lebih sejalan dengan tradisi Isyraqi. Karya-karya filosofis Thusi antara lain Syarh Al-Isyarah wa Al-Tanbihat, Baqa' Al-Nafs, Aqsam Al-Hikmah, Rabth Al-Hadits bi Al-Qadim, Kaifiyyah Al-Shudur AI-Maujudat, dan yang paling terkenal di antaranya, Akhlaq-i Nashiri (The Nasirean Ethics), sebuah karya etika yang berusaha menyempurnakan kitab serupa dari Miskawaih, Tahdzib AI-Akhlaq. Sedangkan di antara karya-karya Quthb Al-Din Syirazi, selain Nihayah Al-Idrak, yang telah kita singgung, adalah Syarh fi Risalah fi Tahqiq 'Alam Al-Mitsal, dan magnum opus-nya, Durrah Al-Taj li Ghurrah Al-Dubaj, yang meliputi enam jilid (25.000 halaman).

Bagian 6

Masih tentang karya-karya filosofis, kita memiliki sederetan panjang karya-karya yang tidak begitu dikenal, tetapi penting sebagai mata-rantai antara Thusi dan Mulla Shadra, seperti Al-Risilah Al-Syamsiyyah dan Hikmah Al-‘Ain, karangan ‘Umar Al-Katibi Al-Qazwini (w. 1276 M), Risillah Al-‘Ulum Al-‘Aliyyah oleh Haidar Al-Amuli (w. 1385 M), Kitilb Al-Mujli oleh Ibn Abi Jumhur Al-Ahsha'i (w. 1499 M) dan Akhlilq-i Jalali oleh Jalal Al-Din Al-Dawwani (w. 1503 M). Termasuk kategori ini juga beberapa karya filosofis dari para filosof yang tergabung dalam apa yang dikenal sebagai "Mazhab Isfahan", seperti Risalah Shana'iyyah oleh Findiriski, Riyadh Al-Abrar karangan Rustamdari (w. setelah 1571 M), dan Al-Qabasat serta Jadzawat oleh pendiri Mazhab Isfahan, Mir Damad, yang dikenal di kalangan murid-muridnya sebagai al-mu'allim al-tsalits (guru ketiga), setelah Aristoteles dan Al-Farabi. Dia juga adalah guru utama bagi filosof terbesar pasca Ibn Rusyd, Mulla Shadra. Tentunya Mulla Shadra, panggilan populer Shadr Al-Din Al-Syirazi (w. 1641 M), telah menyumbangkan beberapa karya agung filosofis, seperti Al-Syawahid Al-Rububiyyah, Hikmah Al-‘Arsyiyya dan Al-Masya‘ir dan yang terpenting dari semua karyanya dan telah menjadi masterpiece-nya, Al-Asfar al-‘Arba'ah Fi Al-Hikmah Al-Muta'aliyah. Karya-karya ini disusul oleh beberapa karya karangan murid-muridnya, seperti ‘Ain Al-Yaqin oleh Mulla Faidh Kasyani dan karya Persia, Gauhar-i Murad, oleh Mulla ‘Abd Al-Razzaq Lahiji. Karya-karya lain yang bisa dimasukkan ke dalam kategori ini adalah sebuah risalah Persia Kalid-i Bihist (Kunci Firdaus) oleh Qadhi Sa'id Qummi (w. 1691 M), dan Syarh Al-Manzhumah, serta Asrar Al-Hikam karangan Mulla Hadi Sabzawari (w. 1873 M), filosof terbesar Dinasti Qajar.

Selain karya-karya ilmiah dan filosofis, kita juga tidak boleh mengabaikan karya-karya mistik-filosofis, seperti Al-Thawasin oleh Al-Hallaj, Munajat oleh Khwaja ‘Abd Allah Anshari (w. 1089 M), Ihya’ ‘Ulum Al-Din dan Misykat Al-Anwar oleh Abu Hamid Al-Ghazali, Hadiqah Al-Haqiqah oleh Hakim Sana'i (w. 1150), Futuh Al-Ghaib oleh Syaikh ‘Abd Al-Qadir Jailani (w. 1166 M), Asrar Namah dan Manthiq Al-Thair oleh Farid Al-Din 'Aththar (w. 1204 M), Fushush Al-Hikam dan Al-Futuhat Al-Makkiyyah oleh Ibn ‘Arabi, Matsnawi Ma‘nawi oleh Jalal Al-Din Rumi, Lama'at oleh Fakhr Al-Din ‘Iraqi (w. 1289 M), Kitab Al-Hikam oleh Atha' Allah Al-Iskandari (w. 1309 M), dan Al-Insan Al-Kamil oleh ‘Abd Al-Karim Al-Jili (w. 1403 M). Masih ada sederetan panjang dari karya-karya mistik Islam, yang tidak perlu disebutkan secara terperinci di sini.

Nah, selain dihimpun tentu saja karya-karya ini perlu kita kaji secara intensif, diadaptasi, dan kalau mungkin direvisi serta dikembangkan sesuai dengan perkembangan mutakhir dalam bidang ilmu dan filsafat. Dan yang paling penting adalah bahwa karya-karya klasik yang maha-penting ini perlu sekali diterjemahkan dengan sebaik dan seakurat mungkin (bahkan kalau bisa dianotasi dan diberi komentar oleh penerjemahnya). Karya-karya ini perlu dipelihara dan ditangani secara serius, untuk kemudian dihimpun secara teratur dan sistematik dalam perpustakaan-perpustakaan negeri atau pribadi, mengingat sangat terbatasnya dalam peredaran karya-karya masterpiece di atas, baik dalam bentuk aslinya maupun, untuk kepentingan yang lebih luas, dalam bentuk terjemahan.

Penerjemahan karya-karya klasik ini ke dalam bahasa Indonesia sangat dibutuhkan oleh kaum terpelajar dan kawula muda, yang tidak terlatih secara profesional dalam bahasa aslinya, untuk bisa mengakses karya-karya utama—dari tangan pertama para penulis aslinya. Harus diakui, karya-karya utama ini sangat sukar kita peroleh pada saat ini sehingga pengetahuan kita tentang karya-karya tersebut selalu bergantung pada sumber-sumber sekunder, dengan segala risiko bias dan distorsinya, yang kadang cukup signifikan. Ketersediaan dan aksesibilitas dari karya-karya klasik inilah yang kita harapkan dapat meratakan jalan atau meletakkan dasar beranjak dari perjalanan panjang menuju renaisans. Dan cukup bagiku untuk merasa bangga dan bersyukur seandainya aku bisa turut ambil bagian--betapapun tidak berartinya--dalam proses perataan jalan panjang ini, sekalipun realisasi dari impian itu mungkin baru akan terlaksana jauh setelah generasi kita semuanya menghadap ke hadirat-Nya.

Bagian 7

Satu hal lagi yang ingin aku ungkapkan, sebelum mengakhiri bab ini, adalah kenyataan bahwa kita, pada saat ini, sebenarnya berada pada posisi yang jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan para perintis Renaisans terdahulu sebab pada saat ini kita memiliki lebih dari satu sumber peradaban. Selain khazanah Islam yang amat luas—yang sedang kita upayakan membangkitkannya kembali—kita juga memiliki warisan yang tidak kalah kaya dan menariknya, yaitu warisan ilmiah dan filosofis Barat, yang masih berlangsung dan terus berkembang di hadapan kita. Sekalipun kita perlu menyaringnya dengan kritis dan selektif, tetapi tidak berarti bahwa warisan Barat bisa kita tinggalkan.

Dalam bidang filsafat, Barat terus melahirkan banyak sekali karya agung, baik sebelum dan terutama setelah masa Renaisans (kedua). Filsafat Barat modern boleh dikata bermula dari karya Rene Descartes (w. 1650 M), yang sering disebut Bapak Filsafat Modern, dengan salah satu karya utamanya The Meditations. Setelah itu menyusul karya-karya besar lain yang berpengaruh, seperti Essay Concerning Human Understanding oleh John Locke (w. 1704 M), Principles of Human Knowledge oleh George Berkeley (w . 1753 M), A Treatise of Human Nature oleh David Hume (w. 1776 M). Pada abad ke-19, karya-karya ini diperkaya oleh Immanuel Kant (w. 1804 M) dengan tiga macam kritik, yaitu Critique of Pure Reason, Critique of Practical Reason, dan Critique of Judgment oleh Hegel (w.1831 M) dengan karyanya The Phenomenology of Mind dan oleh Karl Marx (w. 1883 M) dengan karya besarnya, Das Kapital, yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran filosofis dan sosial abad ke-20.

Abad ke-20 juga telah menyumbang banyak sekali karya filosofis yang agung, antara lain: Memory and Matter dan Creative Evolutionoleh Henri Bergson (w. 1941 M), Logische Untersuchungen dan Ideen zu einer reinen Phanemenologie und phaenologischen Philosophie oleh Edmund Husserl (w. 1938 M), Process and Reality, Principle of Natural Knowledge, dan The Concept of Nature oleh Alfred North Whitehead (w. 1947 M), Time and Being oleh Martin Heidegger (w. 1976 M), La Nause, Being and Nothingness oleh Jean Paul Sartre (w. 1980 M), dan Essays in Self-Criticism oleh seorang strukturalis, Althusser (w. 1990 M), dan tentunya masih banyak lagi karya yang tidak perlu disebutkan di sini.

Namun, fenomena yang lebih menarik dan bahkan spektakuler justru terjadi dalam bidang ilmu (sains) yang telah melahirkan teknologi yang sangat canggih, yang dengannya manusia mampu menjelajahi dunia yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Banyak penemuan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya dihasilkan oleh pemikir-pemikir dan ilmuwan-ilmuwan Barat. Telah kita singgung bagaimana Nicholai Copernicus (w. 1543 M) dalam bukunya, De Revolutionbus Orbium Caelestium atau On the Revolution of the Celestial Orbs, telah mengadakan revolusi astronomis, yang telah menggeser teori geosentris ke heliosentris. Adapun Pierre Simon de Laplace (w. 1827 M) dengan bukunya The Celestial Mechanics,telah merintis sebuah teori besar "Big Bang".

Bagian Akhir

Alat-alat astronomis juga berkembang pesat. Edwin Hubble (w. 1953 M), dengan teleskop 200 inci-nya di Gunung Palomar, telah mengadakan penyelidikan terhadap galaksi, dan mengukuhkan dengan bukti-bukti yang akurat teori bahwa alam semesta senantiasa berkembang. Dengan merunut ke belakang ke kejadian awal alam semesta, peristiwa "Big Bang" diperkirakan terjadi dua puluh miliar tahun yang lalu.

Barat juga telah mencatat prestasi yang fantastik dan sulit dipercaya, misalnya dengan mendaratkan manusia di bulan, membangun stasiun, satelit di luar angkasa, dan menyelidiki tata surya melalui satelit tidak berawak, Viking, untuk memantau dan memotret planet-planet tata surya, seperti Mars, Yupiter, Saturnus, beserta bulan-bulan mereka, dari dekat.

Dalam bidang fisika, penemuan-penemuan Barat juga begitu gemilang. Dimulai dengan penemuan Isaac Newton (w. 1727 M ), yang menemukan hukum gravitasi universal dan hukum determinisme mekanik dalam bukunya yang terkenal Philosophiae Naturalis Principia Mathematica, atau sering disebut Principia saja. Sukses Newton yang luar biasa dalam bidang ini, menjadikan fisika mekanikanya sebagai "The Science", yakni model bagi semua cabang ilmu modern, seperti kimia, astronomi, bahkan biologi, dan sosiologi. "Fisika Newtonian" menguasai panorama ilmiah selama tiga abad setelah penemuannya. Teori ini hanya ditandingi oleh teori General Relativity Albert Einstein (w. 1955 M), yang telah membuat langkah penting filosofis dengan menjadikan sang pengamat bagian penting secara fisik dari dunia, dan tentu saja oleh teori Mekanika Kuantum yang merupakan hasil usaha bersama fisikawan modern, seperti Max Planck, Einstein sendiri, Niels Bohr, Werner Heisenberg, Paul Diract dan Edwin Schrbdinger. Dengan teori kuantum ini banyak misteri di dunia subatom terbongkar, dan dia telah melakukan revisi yang sangat fundamental terhadap fisika tradisional. Misalnya, dengan teori ini batallah teori yang mengatakan bahwa atom merupakan bagian partikel material terkecil yang tidak bisa dibagi lagi karena menurut teori ini atom-atom ini masih bisa dibagi lagi ke dalam inti (nukleus), inti ke dalam hadron (proton, neutron, dan elektron), dan hadron ke dalam quark. Dari penyelidikan mereka juga diketahui bahwa unsur materi dalam atom itu hanya sepersejuta dari atom tersebut, sedangkan sisanya adalah nonmateri.

Tentu saja fenomena-fenomena spektakuler lainnya terjadi dalam bidang-bidang lain, seperti biologi (Evolusi Darwin), kimia, anatomi, dan biokimia (ingat kasus bayi tabung dan kloning), yang semata-mata menunjukkan kekayaan warisan Barat, tetapi tentu saja tidak bisa kita sebutkan satu per satu di sini. Cukuplah dikatakan di sini bahwa khazanah peradaban Barat telah mewariskan banyak sekali bahan-bahan baku (raw materials) yang dapat kita gunakan dan kita olah untuk merumuskan pandangan dunia yang kita harapkan.

Dengan demikian, jelaslah kepada kita tersedianya bahan baku yang luas, baik dari warisan klasik Islam maupun warisan Barat dan ini merupakan kekayaan potensial yang luar biasa besarnya untuk kita olah bersama warisan intelektual pribumi sebagai bahan dasar. Dari bahan-bahan dasar inilah kita harapkan akan muncul sintesis-sintesis teoretis besar yang menjadi syarat bagi tercapainya sebuah renaisans. Akan tetapi, ini baru mungkin kita lakukan, apabila bahan-bahan baku tersebut dibuat available dan accessible bagi para cerdik pandai bangsa tercinta ini, dengan langkah-langkah yang telah aku usulkan, yaitu mendaftarkan sebanyak mungkin, meneliti, menganalisis, dan mengadakan kajian-kajian intensif terhadap karya-karya tersebut dan kalau mungkin menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.

Yang perlu aku ingatkan di sini adalah bahwa "peluang emas" ini—di mana kita mewarisi karya-karya klasik Islam, yang masih perlu kita hidupkan kembali, di satu pihak, dan warisan Barat modern dan kontemporer yang masih hidup dan berkembang, di pihak lain, untuk kita jadikan fondasi yang kukuh bagi upaya menciptakan renaisans ketiga—mungkin tidak akan datang untuk kedua kalinya. Sekali kita melepaskan peluang emas ini, bisa saja kita akan kehilangannya untuk selama-lamanya.

(Dikutip dari buku Menembus Batas Waktu, Mizan, 2002)