Apa Sih Menariknya Filsafat?

Oleh Fahruddin Faiz - mjscolombo.com

Bagian Pertama

Sebenarnya, ketika ada rencana bahwa tulisan pendek ini akan saya jadikan buku, saya ingin mengawali tulisan ini dengan ceramah panjang lebar tentang apa itu filsafat, definisinya, menurut tokoh A, lalu tokoh B, lalu tokoh C dan seterusnya. Setelah itu saya akan mendongeng kepada Anda tentang sejarah filsafat, mulai dari zaman Yunani Kuno, bahkan kalau perlu dari sejak masa Cina Kuno atau India dan Mesir Kuno sampai abad 21. Tetapi tiba-tiba saya berpikir lagi, untuk apa? Untuk Anda hafalkan? Atau biar Anda tahu? Bukankah sudah ratusan buku yang menyebut hal itu kalau Anda memang benar ingin tahu?

Akhirnya saya putuskan untuk tidak mencantumkan semua itu di sini, di samping tentunya karena masih banyak hal yang belum saya pahami dari pemikiran-pemikiran yang berkembang sepanjang sejarah filsafat tersebut, sehingga mungkin kalau saya paksakan juga untuk menjelaskan, maka saya akan menjiplak buku-buku tertentu, dan Anda mungkin juga cuma menghafalkannya, kemudian orang memandang kita sama-sama mengerti tentang filsafat, padahal kita sama-sama tidak tahu apa-apa. Semoga keputusan ini nantinya bisa menguntungkan Anda.

Bagi Anda yang memang memerlukan informasi-informasi tentang definisi dan kesejarahan tersebut silahkan carilah buku apa saja yang ada hubungannya dengan pengantar filsafat, saya jamin tidak akan jauh berbeda. Itulah mengapa artikel ini bukannya Apakah Filsafat Itu?, tetapi Apa Sih Menariknya Filsafat?, tentunya yang saya maksud menariknya filsafat ‘bagi saya’, jadi mungkin sangat subjektif, meskipun sebenarnya saya berharap tulisan ini tidak hanya bernada subjektif, tetapi juga provokatif, sehingga setelah membaca tulisan ini Anda menjadi tertarik kepada filsafat dan bersedia untuk mendalaminya lebih jauh.

Filsafat bagi saya adalah sebuah tantangan, tantangan untuk tidak hidup secara mekanis, ikut-ikutan, taklid dan ‘mengalir’ tanpa tahu kemana, untuk apa dan mengapa. Seorang empu filsafat yang bernama Socrates pernah mengatakan satu jargon yang sangat dikenal di dunia filsafat, yaitu “the unexamined life is not worth living” (hidup yang tidak diuji adalah kehidupan yang tidak berharga). Hidup tidak boleh dibiarkan mengalir begitu saja, tidak boleh dibiarkan berjalan apa-adanya tanpa tahu harus kemana atau untuk apa atau mengapa harus demikian.

Hidup harus diuji, harus diketahui, direncanakan, dan dipahami, kemudian dijalankan dalam alternatif terbaiknya. Nah, cara paling jitu untuk menguji hidup itulah yang menjadi bidikan utama filsafat. Louis O. Kattsoff dalam Pengantar filsafat-nya berkata, “filsafat membawa kita kepada pemahaman. Dan pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak”.

Ada sebuah gambaran menarik yang diberikan oleh Jostein Gaarder dalam bukunya yang berjudul Sophie’s World, tentang perbedaan seorang filsuf dan bukan filsuf. Kata Gaarder, seandainya misteri-misteri dunia ini digambarkan sebagai hasil dari pekerjaan seorang tukang sulap (si tukang sulap ini bisa saja disebut sebagai Tuhan), dan dunia ini digambarkan seperti seekor kelinci yang keluar dari topi sang pesulap itu, maka manusia bisa dikatakan sebagai serangga-serangga kecil yang hidup di sela-sela bulu kelinci, dan seorang filsuf adalah serangga-serangga kecil itu yang selalu berusaha untuk memanjat helaian-helaian bulu kelinci untuk dapat mengetahui kelinci, topi dan tentunya jika mampu mengetahui juga si pesulap itu sendiri.

Tantangan untuk menguji hidup ini tampaknya semakin menemukan relevansinya di saat ini, zaman yang penuh dengan kemajuan teknologi dan globalisasi informasi tidak hanya telah menjadi santapan sehari-hari manusia, tetapi juga telah ‘menyetir’ hampir semua aspek kehidupan manusia.

Hampir semua orang di masa kini setiap hari ‘disetir’ kemauan, keinginan sampai kebutuhannya oleh media-media informasi, baik yang berskala lokal, regional, nasional, maupun global. Mulai model rambut, merek mobil, jenis telepon seluler sampai aturan ketatanegaraan mengalami gejala ini.

Budaya manusia menjelma menjadi ‘budaya populer’; apapun dan siapapun yang populer, itulah yang akan menjadi kiblat semua orang. Kalau televisi banyak menayangkan rambut gondrong, maka bisa dipastikan sebentar lagi akan banyak orang berambut gondrong. Kalau Demi Moore dipromosikan oleh media sebagai seorang yang keren dengan rambut pendek, maka sebentar lagi pasti akan banyak wanita berambut pendek. Kalau Sarah Azhari terlihat seksi dengan baju bikini, maka tidak lama lagi akan banyak orang yang memakai bikini ala Sarah Azhari, dan lain sebagainya.

Termasuk diantara budaya populer yang mengglobal itu misalnya pandangan-pandangan yang sengaja disusun untuk tujuan tertentu dan memengaruhi banyak orang. Misalnya ikutlah Partai A kalau Anda ingin hidup sejahtera; kuliahlah di universitas B agar bisa dapat pekerjaan segera; pakailah parfum C agar dapat pacar ganteng; pakailah baju merk D dan Anda akan berselera muda; makanlah di restoran E maka Anda akan terlihat romantis; dengan menonton film F berarti Anda tidak ketinggalan zaman; dan lain sebagainya, termasuk yang paling membingungkan saya adalah: pakailah dasi agar Anda tergolong kalangan eksekutif! Budaya yang populer mengindikasikan gaya hidup yang ikut-ikutan dan kehilangan daya kritis untuk berpikir secara mandiri.

Di sisi lain, mekanisasi hidup juga semakin terlihat dalam keseharian setiap orang. Pagi bangun, sarapan, berangkat kerja, pulang sore, nonton TV, tidur, bangun, sarapan, berangkat kerja… dan seterusnya, tidak ada bedanya dengan robot atau program komputer. Apel ke tempat pacar itu malam Minggu, beribadah atau senam kesehatan jasmani setiap Jum’at, main tenis setiap Selasa, cukur rambut sebulan sekali setiap tanggal 15, dan lain sebagainya. Bahkan sampai urusan makan pun menjadi mekanis; orang harus makan tiga kali sehari, baik dia dalam kondisi lapar atau kenyang, yaitu jam 7 pagi, jam 1 siang dan jam 7 malam. Kalau sudah jam 1 siang saya harus makan siang, meskipun antara jam 7 sampai jam 1 itu saya terus menerus nyemil dan masih kenyang. Jadi kalau ada pertanyaan mengapa Anda makan? Jawabannya pasti: “karena sudah jam makan”, bukan karena sudah lapar.

Sebenarnya, setiap orang memiliki yang namanya curiosity atau rasa ingin tahu: rasa heran, takjub dan ingin menyingkap kebenaran sesuatu yang menarik hatinya tetapi masih misterius. Bukti paling mudah yang tampak dari adanya rasa ingin tahu ini bisa ditemukan dalam diri seorang anak yang akalnya mulai berjalan dan fisiknya mulai berkembang.

Anak seumur ini biasanya sangat eksploratif dan serba mencoba. Kalau sudah mulai bisa menata perkataannya biasanya ia akan secara demonstratif bertanya dan selalu bertanya tentang hal-hal yang masih belum dipahaminya. Ia akan mencoba menaiki meja untuk meraih barang di atasnya, ia heran melihat mobil yang bisa berjalan, ia menangis jika dilarang bermain dengan api atau pisau, dan ia akan sangat cerewet menanyakan apapun yang ada di hadapannya.

Namun seiring perkembangan usia, perlahan namun pasti ia terjebak—atau mungkin lebih tepatnya ‘dijebak’—oleh lingkungannya untuk hidup serba mekanis. Mekanisasi hidup ini ada kalanya sampai tingkat yang menggelikan kalau tidak mengkhawatirkan. Dulu ketika kecil mungkin Anda atau saya bisa dengan santai main dengan air hujan dan sehat-sehat saja, tetapi karena berbagai pengondisian tertentu, maka tubuh kita sekarang seakan menjadi anti-hujan, sehingga sedikit saja terkena gerimis, maka bisa dipastikan besok pagi kita akan bersin-bersin kena pilek.

Padahal hujan itu air, sama dengan air yang setiap hari kita pakai untuk mengguyur tubuh saat mandi. Itu satu contoh kecil. Pasti sangat banyak contoh-contoh lain yang tidak kalah menggelikannya karena pengondisian yang kita lakukan sendiri, termasuk misalnya betapa kita alergi terhadap orang bertato, merasa sungkan menghadapi orang bersorban, merasa lebih sehat ketika diobati oleh dokter spesialis dan tidak merasa sehat kalau diobati oleh mantri suntik meskipun obat yang diberikan sama, dan banyak lagi contoh lain.

Karena pengondisian-pengondisian—baik sengaja maupun tidak—inilah maka rasa curiosity yang sangat menarik itu pun perlahan juga mulai tersisihkan, meskipun sebenarnya apabila dicermati masih banyak hal yang layak, dan sangat layak untuk dipertanyakan ulang.

Mengurusi curiosity semacam ini bagi banyak orang hanya membuang waktu saja, karena mereka melihat masih sangat banyak hal lain yang lebih penting untuk diurusi. Dan ironisnya, hal lain yang lebih penting untuk diurusi itu adalah ‘proyek besar memenuhi program mekanisasi hidup’ seperti disebut di muka.

Segala sesuatu yang berjalan di sekelilingnya dipandang memang berjalan seperti itu, dan harus berjalan seperti itu. Maka jadilah wajah dunia itu seperti sekarang ini, serba mekanis, sangat mudah untuk diramal geraknya, karena bahkan ternyata berbagai kesalahan maupun kekeliruan dalam sejarah manusia pun sering berulang.

Secara umum harus dikatakan bahwa sebagian besar manusia hidup dalam ‘kemapanan’, status quo, sungai kehidupan yang airnya tidak mengalir, tidak berkembang secara kualitatif, tidak mampu memberlakukan semboyan ‘hari ini harus lebih baik dari kemarin, hari esok harus lebih baik dari hari ini’. Kita seakan mandeg. Kita adalah robot.

Robot-robot manusia, atau manusia-manusia robot ini jumlahnya mungkin bisa mencapai lebih dari 95% penduduk dunia, dan kalau melihat hal ini mungkin sang empu filsafat yang bernama Socrates tadi akan menangis—atau jangan-jangan malah tertawa. Apalagi jika melihat betapa banyak orang yang merasa ‘serba tahu’ akan kehidupannya tanpa dia sadari bahwa sebenarnya dirinya tidak tahu apa-apa, hanya sekadar ikut-ikutan dan membuntuti orang-orang di sekitarnya saja. Kata Socrates dalam Apology yang ditulis oleh muridnya, Plato:

Banyak di antara kita yang tidak tahu apa itu keindahan atau kebajikan, tetapi mereka menganggap telah tahu, padahal sebenarnya tidak tahu apa-apa; sementara saya, kalau tidak tahu apa-apa tidak akan pernah merasa sudah tahu. Maka kelihatannya saya sedikit lebih bijaksana dibandingkan mereka, sejauh saya tidak pernah membayangkan bahwa saya sudah tahu tentang sesuatu yang saya sama sekali tidak tahu.

(Bersambung)

Lanjutan dari tulisan bagian pertama - mjscolombo.com/

Siapakah saya? Mengapa saya ada? Apa bedanya saya dengan yang lain? Untuk apa saya hidup? Bagaimana saya harus hidup? Dari mana asalku? Kemana nantinya tujuanku? Apa yang harus saya lakukan dan apa yang jangan saya lakukan? Sudah tepatkah yang saya lakukan selama ini? Benarkah pengetahuan saya tentang hidup yang saya punyai selama ini? Secara umum pertanyaan-pertanyaan inilah yang biasanya dilacak jawabannya secara serius oleh para filsuf untuk ‘menguji hidup’ mereka.

Berbagai jawaban telah diberikan terhadap pertanyaan ini, dan sekarang giliran Anda untuk menjawab pertanyaan ini. Jangan takut atau merasa tidak mampu, karena sebenarnya setiap orang mampu melakukannya. Jangan takut atau minder membaca atau melihat berbagai pandangan yang ‘serba tinggi’, ‘serba ruwet’ atau ‘serba njlimet’ yang diberikan oleh para filsuf terhadap kehidupan mereka sendiri-sendiri. Andalah yang paling tahu kehidupan Anda sendiri, bukan mereka. Jalanilah ujian ini untuk kehidupan Anda sendiri, karena dengan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, berarti Anda sudah memulai untuk membuat hidup Anda sendiri berharga, lebih bermakna. Jadilah filsuf, setidaknya filsuf tentang diri Anda sendiri. Kenalilah Dirimu, itulah jargon lain dari Socrates.[1]

Maka sebenarnya, kehadiran filsafat bagi saya sebenarnya adalah untuk menantang kita, beranikah kita mempertanyakan dan menguji kembali segala yang selama ini kita anggap ‘sudah semestinya demikian’? Mengapa harus makan sehari tiga kali? Mengapa tidur harus sekitar delapan jam sehari? Mengapa di pagi hari harus mandi? Mengapa jam kantor harus dimulai pukul delapan? Mengapa anak kecil tidak boleh berbicara sambil menatap mata orang dewasa? Mengapa wanita harus ‘diakhirkan’ atau ‘didahulukan’ dalam berbagai urusan? Mengapa harus lelaki yang berkewajiban mencari nafkah? Mengapa harus wanita yang mengurusi urusan rumah tangga? Mengapa harus ada negara? Mengapa orang harus beragama? Mengapa orang butuh ikatan perkawinan?, dan seterusnya.

Beranikah kita menjawab tantangan filsafat ini? Mungkin tidak semuanya berani, karena harus diakui bahwa hampir semua manusia dalam kehidupannya hanyalah sekadar ‘membebek’ saja terhadap berbagai tradisi yang selama ini sudah berjalan ‘mapan’. Menguji kembali berbagai hal yang selama ini berjalan mapan seringkali akan menempatkan Anda berseberangan dengan mayoritas orang, dan risiko untuk ini tidak kecil.

Socrates sendiri yang menganjurkan dan mempopulerkan tantangan ini harus menemui ajalnya setelah dipaksa minum racun oleh pengadilan Athena karena tuduhan merusak akidah anak-anak muda saat itu. Dan banyak contoh tentang mereka yang mencoba mencari alternatif baru dari cara pandang yang ‘mapan’ semacam ini harus menelan berbagai risiko pahit; mulai dicemooh, dicap menyeleweng, kafir, pemberontak sampai yang harus menjalani hukuman mati, dengan tuduhan utama: mendobrak kemapanan.

Meskipun kelihatannya sederhana, apabila ditelaah dengan lebih mendalam, orang akan menjadari bahwa sekadar semboyan ‘ujilah hidupmu’ tersebut tidak sesederhana pada mulanya. Nantinya dalam sejarah Anda akan melihat bahwa slogan sederhana ini bisa menjungkurbalikkan tatanan kehidupan manusia yang telah mapan meskipun sebenarnya tujuan akhir dari penjungkirbalikan ini—seperti yang dimaui oleh Socrates sendiri—adalah untuk membawa dunia ke arah ketertiban yang tingkatnya lebih tinggi, yaitu ketertiban yang diiringi dengan kesadaran serta kepedulian dan pemahaman manusia terhadap kehidupan mereka sendiri.

Manusia tidak boleh hidup hanya dengan mengandalkan rutinitas, ikut apa kata orang, merasa tahu padahal tidak tahu, dan merasa bisa padahal belum tentu. Manusia harus disadarkan dan dibangunkan dari keseharian yang membuat mereka terlena dan tidak suka ambil pusing terlalu dalam dengan segala yang mereka lakukan dan mereka pikirkan.

Manusia harus digugah dari ketenggelaman mereka dalam kesibukan duniawi yang membuat mereka tidak lagi peka terhadap baik-buruknya, benar-salahnya, dan layak-tidak layaknya apa yang mereka pikirkan, mereka lakukan dan mereka angankan. Dengan melakukan re-evaluasi terhadap hidup inilah manusia akan menemukan kebermaknaan kehidupannya, bukan sekadar menjadi komponen dalam sebuah mesin besar yang tidak punya nilai tawar dan nilai pilih selain hanya ikut berjalan sesuai program tertentu yang telah dipatenkan.

Bermaknanya hidup dan berharganya hidup, itulah kiranya tawaran paling menarik dari makhluk yang namanya filsafat ini. Dan jangan dianggap remeh, karena dalam pandangan saya, kebermaknaan hidup inilah yang esensial bagi manusia. Bisa disebut manusia atau tidak bagi saya terletak dalam bagaimana seseorang bisa memberi makna kepada hidupnya sendiri dan hidup dalam kebermaknaan itu. Dan kebermaknaan inilah hal paling asasi yang membedakan manusia dengan binatang.

Dalam berbagai kesempatan diskusi saya sering melontarkan pertanyaan: Apakah bedanya manusia dengan binatang? Biasanya banyak teman akan menjawab bahwa perbedaan manusia dan binatang itu terletak pada rasionya, kemampuan berpikirnya. Dan biasanya juga saya akan bertanya, apa sih yang kamu dimaksud dengan kemampuan untuk berpikir itu? Jawaban dari pertanyaan ini biasanya agak bervariasi, ada yang mengatakan bahwa kemampuan berpikir yang khas manusia adalah kemampuannya untuk memilih dan menentukan sendiri, atau kemampuannya untuk menyadari keberadaan dirinya, atau kemampuannya menyadari adanya tanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukannya.

Dalam kualitas tertentu sebenarnya binatang pun memiliki hal yang disebut itu. Anjing penjaga yang patuh dapat dikatakan memiliki tanggung jawab, induk ayam yang melindungi anak-anaknya dapat dikatakan memiliki tanggung jawab sekaligus kesadaran sebagai seorang ibu, monyet yang dididik main sirkus, tikus eksperimental yang bisa melewati jebakan-jebakan, dapat dikatakan memiliki kemampuan untuk ‘memilih’ dan memutuskan jalan yang aman dan harus ditempuhnya, dan banyak contoh yang lain menunjukkan bahwa dalam aspek ini manusia pada dataran ekspresifnya tidak sangat jauh berbeda dengan binatang, meskipun tentunya dalam kualitas yang sangat rendah, karena binatang lebih mengandalkan instink bertahan hidupnya, sementara manusia memiliki potensi perkembangan.

Bahkan ada kalanya—dalam hal ini—manusia jatuh ke dataran lebih rendah dari kualitas kelas rendah yang dimiliki binatang tadi. Misalnya bagaimana pertanggungjawaban seorang satpam yang maling di kantornya sendiri, pejabat pemerintah yang korupsi, ibu yang membuang anaknya, pemimpin yang mengkhianati orang yang memilihnya, dan lain sebagainya.

Maka menurut saya, perbedaan paling esensial antara manusia dan binatang terletak pada kemampuannya memaknai hidup, mengatur hidupnya agar tidak terjebak dalam kesia-siaan. Untuk bisa membuat hidupnya bermakna pertama-partama orang harus menyadari dulu apa yang harus dan seharusnya ia lakukan, sekaligus mampu memahami benar-salah, baik-buruk atau layak-tidak layaknya yang ia lakukan itu. Dengan kesadaran dan pemahaman ini maka hidup yang dijalaninya akan memiliki ‘harga’, bernilai untuk dibela dan dipertanggung-jawabkan.

Melalui kemampuan memaknai hidup inilah manusia diharapkan mampu melepaskan dirinya dari jeratan mekanisasi hidup dan cara pandang dan perilaku yang stereotipe tentang hidup. Kemiskinan, kekayaan, ketertindasan, kemerdekaan, kebahagiaan, dan juga kesedihan dalam kehidupan pada dasarnya adalah persoalan pemaknaan hidup, bagaimana manusia memaknai hidupnya sendiri. Dan untuk bisa melakukan itu, filsafat menawarkan dirinya sebagai kendaraan. Kenalilah Dirimu!

Mungkin membaca misi filsafat yang mendorong setiap orang untuk menguji hidupnya sendiri membuat Anda takut kepada filsafat, atau memiliki ketidaksetujuan tertentu kepada filsafat. Boleh saja jika kemudian karena ketidaksetujuan itu Anda bertekad untuk tidak melibatkan sama sekali filsafat dalam hidup Anda. Tetapi Anda perlu mencatat bahwa setiap orang, termasuk Anda, sebenarnya berhak dan layak untuk masuk dan bergelut dalam dunia filsafat. Setidaknya setiap orang memiliki filosofi hidup sendiri-sendiri, misalnya ada orang yang memiliki prinsip hidup ‘kuliah dulu-baru menikah’, ‘sikat dulu, urusan belakangan’, ‘jangan sampai saya tidak jujur kepada orang tua’, ‘berbohong asal membawa keuntungan itu tidak apa-apa’, ‘setiap tindakan harus menghasilkan uang’, ‘mangan ora mangan sing penting kumpul’, atau ‘kumpul ora kumpul sing penting mangan’, atau ‘lebih baik mati dari pada malu’, dan mungkin ada pula yang memiliki filosofi ‘lebih baik malu dari pada tidak punya duit’. Itulah filosofi hidup.

Filosofi tersebut tentunya sangat memengaruhi gaya hidup setiap orang, meskipun sayangnya banyak orang tidak menyadari hal ini sehingga tidak mampu untuk berintrospeksi diri dan melakukan re-evaluasi terhadap segala filosofi hidup yang dimilikinya. Kalau Anda memutuskan untuk sama sekali tidak melibatkan diri dengan filsafat berarti Anda membiarkan segala filosofi hidup Anda itu memengaruhi Anda, menyetir hidup Anda, tanpa Anda benar-benar memahaminya mengapa harus demikian? Sudah tepatkah sikap dan filosofi Anda tersebut? Apakah filosofi hidup semacam itu masih relevan dengan kehidupan Anda? Tidak adakah filosofi hidup lain yang lebih benar, baik dan tepat?

Seorang tokoh filsafat, Karl Popper, pernah berkata:

“Saya rasa, kita semuanya mempunyai filsafat dan bahwa kebanyakan dari filsafat kita itu tidak bernilai terlalu banyak. Dan saya kira bahwa tugas utama dari filsafat adalah untuk menyelidiki berbagai filsafat itu secara kritis, filsafat mana yang dianut oleh berbagai orang secara tidak kritis.”

Dengan melihat bahwa semua orang memiliki filosofi hidup dapat dikatakan bahwa sebenarnya setiap orang sudah berada diambang pintu dunia filsafat, termasuk Anda. Hanya kurang dua langkah lagi Anda akan masuk ke dalam dunia filsafat.

Langkah pertama, sadarilah segala filosofi hidup dan realitas hidup Anda. Langkah kedua bernalar atau berpikirlah secara serius, teratur, terfokus, dan mendalam tentang segala filosofi Anda tadi, baik latar belakangnya, tujuannya, yang harus atau tidak boleh dilakukan berdasarkan filosofi hidup tadi, dan seterusnya.

Akan lebih baik lagi apabila Anda juga meluangkan sedikit waktu untuk membaca beberapa tulisan para tokoh filsafat yang pernah ada, yang pada dasarnya juga adalah evaluasi dan refleksi mereka terhadap hidup mereka masing-masing. Bandingkan hasil pikiran mereka dengan refleksi Anda sendiri, lalu putuskan dan pilihlah pandangan mana menurut Anda lebih tepat untuk diikuti, atau lebih baik lagi kalau Anda bisa menemukan benang merah kesamaan pandangan diantara para tokoh tadi dan pandangan Anda.

Dan setelah melakukan semua itu… kini Anda telah berada di dunia filsafat! Berani menerima tantangan? Lanjutkan refleksi Anda, karena masih ada banyak hal yang harus diuji kembali. Selamat datang dan lihatlah… banyak hal menarik di sini.

Sekali lagi, selamat datang, know your selves! Man ‘arafa Nafsahu-‘arafa rabbahu.[2]

______

[1] Untuk kepentingan kesadaran dan pemahaman setiap orang akan hidup ini, Si Socrates ini sepanjang hidupnya berjalan menyusuri jalan-jalan kota Athena, tempat dia tinggal, dan mencari kesempatan berdiskusi dengan siapapun yang ditemuinya. Dalam perbincangan dengan orang-orang yang ditemuinya itu, biasanya Socrates akan memosisikan dirinya sebagai orang yang tidak tahu apa-apa dan melancarkan pertanyaan-pertanyaan yang oleh banyak orang dianggap ‘sudah diketahui’, misalnya, “Bagaimana hidup yang benar itu?”, “Apakah cinta itu?”, “Apa yang Anda maksud dengan kebajikan?”, dan tentunya orang yang ditanya akan menjawab sesuai dengan yang dipahaminya selama ini. Karena banyak orang tidak benar-benar paham dengan apa yang mereka sangka sudah diketahui tadi, maka jawaban-jawaban yang mereka berikan pun seringkali sangat artifisial. Dari sinilah kemudian Socrates melancarkan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya yang ‘memaksa’ orang yang ditanya untuk berpikir dan mengkonstruksi ulang pemahaman-pemahamannya yang lama. Dengan gayanya ini Socrates berhasil menggiring orang kepada pemahaman yang benar tanpa harus menggurui.

[2] Fahruddin Faiz, Aku Bertanya Maka Aku Ada (Yogyakarta: Qalam, 2003). Sumber tulisan berasal dari sini.