Seri Pemikiran Pasca Hegemoni (1)

Pemikiran Pasca Hegemoni I: Menggugat Otoritas Bank

Oleh: Agus Sunyoto - Facebook Lesbumi

Sudah sebulan ini DR Thomaq al-Bakhili, pemilik BPR Rakyat Nestapa ingin berdebat dengan Guru Sufi yang diam-diam memfatwakan haram praktek perbankan dan kemudian membangun jaringan keuangan antar pesantren dan pengikut tarikat serta masyarakat. Akibat tindakan Guru Sufi itu, para pedagang yang biasa pinjam uang ke BPR Rakyat Nestapa menurun jumlahnya. Bahkan pedagang-pedagang yang biasa menginvestasikan dananya ke BPR sudah tidak ada lagi. Belakangan, malah tersiar kabar pedagang-pedagang tidak mau lagi mendepositokan uangnya ke bank-bank konvensional.

Takut usahanya bangkrut, DR Thomaq al-Bakhili dengan didampingi ustadz Tajir al-Nafaq menemui Guru Sufi untuk meminta penjelasan seputar pandangan Guru Sufi mengharamkan praktek perbankan. Ustadz Tajir al-Nafaq sendiri sudah menyiapkan dalil-dalil untuk mementahkan pandangan dan simpulan Guru Sufi mengharamkan praktek perbankan.

“Maaf Mbah Kyai,” kata DR Thomaq al-Bakhili memulai pembicaraan,”Kami datang untuk memperoleh fatwa seputar haramnya praktek perbankan. Mohon petunjuk, Mbah Kyai.”

Guru Sufi tersenyum dan berkata,”Aku tidak pernah mengharamkan perbankan. Yang aku haramkan adalah praktek perbankan yang di dalamnya terdapat unsur penipuan. Jadi kalau bank tidak menipu dan merugikan, maka tidak haram. Sampai di sini, sampeyan setuju tidak dengan pandanganku?”

“Oo begitu Mbah Kyai, kami tentu setuju,” sahut DR Thomaq al-Bakhili mengangguk-angguk,”Karena orang kafir pun tidak mau kalau ditipu. Tapi bisakah kami diberi contoh riil, praktek perbankan mana yang mengandung unsur penipuan?”

“Hampir semua bank melakukan praktek yang menipu, maksudku praktek-praktek yang menguntungkan pihak bank dan sebaliknya merugikan nasabah. Menurut pandangan Islam yang aku fahami, jika transaksi dua pihak ternyata terbukti dengan sengaja mengandung unsur yang merugikan salah satu pihak, maka transaksi semacam itu haram hukumnya. Karena salah satu pihak sengaja ingin menarik keuntungan dengan membuat aturan main yang merugikan pihak lain,” Guru Sufi memaparkan.

“Ah itu sangat menarik, saya sepakat itu Mbah Kyai,” sahut DR Thomaq al-Bakhili menarik nafas berat,”Tapi bisakah Mbah Kyai memberi contoh riil terkait praktek perbankan yang tegas-tegas menunjukkan pihak bank dengan sengaja menjalankan aturan main yang merugikan nasabah?”

Guru Sufi diam. Sebentar kemudian menjelaskan,”Pertama-tama, masyarakat agar dengan sukarela mau mmenjadi nasabah, diyakinkan dulu dengan paradigma berpikir yang menyatakan bahwa BANK ADALAH LEMBAGA KEUANGAN YANG TERPERCAYA. Oleh sebab itu, kalau masyarakat ingin menyimpan uang harus dititipkan ke bank supaya aman uangnya tidak hilang. Berapa juta berapa miliar pun uang yang dimiliki masyarakat diyakinkan akan aman dan selamat kalau disimpan di bank sebagai deposito, tabungan, saham, dan lain-lain. Bukankah aturan main ini yang berlaku dari dulu sampai sekarang?”

“Itu benar sekali Mbah Kyai?” kata DR Thomaq al-Bakhili,”Lalu masalahnya apa?”

“Kalau masyarakat sebagai nasabah menyimpan uang di bank dengan cara langsung sesuai administrasi yang diyakini memberikan keamanan dan keselamatan pada uang yang disimpan di bank, bagaimana jika bank terbukti bangkrut? Uang nasabah hilang kan? Ingat tidak, bagaimana tahun 1990-an dulu Bank Harapan Sentosa kolaps dan uangnya dibawa lari komisaris bank, Hendra Rahadja, kakaknya Edi Tanzil? Uang nasabah menguap tanpa sisa. Ingat juga, kasus Bank Century yang ramai-ramai dirampok parpol tertentu? Hilang juga kan duit nasabah? Bagaimana masyarakat diwajibkan meyakini pemikiran dogmatis-hegemonik bahwa BANK ADALAH LEMBAGA KEUANGAN YANG TERPERCAYA? Memangnya ada dalil kitab suci dan sunnah Nabi Saw yang meyakinkan bahwa semua orang wajib mengimani bahwa bank adalah lembaga keuangan yang terpercaya?”

Dr Thomaq al-Bakhili diam. Ia berusaha memutar pikiran. Tapi sebelum memulai pembicaraan, Guru Sufi sudah berkata,”Sekarang pikirkan secara obyektif dengan nalar waras dan hati nurani yang jernih. Jika dengan dogma sesat bahwa BANK ADALAH LEMBAGA KEUANGAN YANG TERPERCAYA itu bank harus dipercaya sebagai tempat untuk menyimpan uang, bagaimana jika masyarakat sebagai nasabah meminjam uang ke bank? Apakah pihak bank akan mengucurkan begitu saja uangnya untuk dipinjam nasabah? Tentu tidak kan? Karena pihak bank mensyaratkan nasabah yang meminjam uang ke bank harus memberikan jaminan kepercayaan yang disebut agunan. Maksudnya, jika nasabah akan utang Rp 100 juta, maka nasabah wajib memberikan agunan senilai Rp 150 – 200 juta. Sehingga kalau nasabah tidak bisa membayar, maka agunannya akan dirampas bank. Bagaimana ini, ada aturan main transaksional bisa begitu tidak adil?” kata Guru Sufi dengan nsuara ditekan tinggi.

“Tapi Mbah Kyai, sejak dulu aturannya memang begitu,” kata DR Thomaq al-B akhili.

“Soal transaksi yang adil dan obyektif jangan pakai alasan aturan lama, karena itu doktrin hegemonic yang menyesatkan dan membodohkan orang. Atas dasar pemikiran post hegemony yang menggugat pembodohan manusia itulah, aku menyatakan praktek perbankan sebagai nharam. Sebab aturan main yang digunakan jelas-jelas mengandung unsur penipuan yang disengaja. Jadi fatwaku itu berdasar logika waras orang yang berusaha membebaskan diri dari hegemoni pikiran-pikiran dogmatis dan doktriner yang merugikan dan menyengsarakan manusia,” kata Guru Sufi.

“Tapi Mbah Kyai membangun jaringan keuangan sendiri, bagaimana itu?” tanya DR Thomaq al-Bakhili tidak terima.

“Aku tidak menyalahi aturan apa pun, karena jaringan itu sifatnya antar person dari manusia-manusia berpikiran post hegemony yang merdeka dan tidak mau lagi dibodohi pikiran-pikiran dogmatis-doktriner yang merugikan. Dasar yang menjadi landasan bagi jaringan keuangan itu adalah KEPERCAYAAN ANTAR KAUM BERIMAN di mana dengan kepercayaan antar person itu jaringan keuangan bisa dijalankan secara adil di mana tidak ada satu pihak pun yang dirugikan,” kata Guru Sufi menegaskan.

“Bukankah praktek itu juga rawan penipuan?” sahut Dr Thomaq al-Bakhili.

“Itu juga bagian dari resiko sebuah sistem. Tapi pelakunya adalah individu, bukan lembaga keuangan. Biar nanti pelakunya bertanggung-jawab di depan hukum dunia maupun peradilan akhirat, karena tanggung jawab manusia adalah tanggung jawab individu dan bukan tanggung jawab kolektif. Yang penting dasar kami lebih kuat dari sekedar aturan main perbankan, yaitu KEPERCAYAAN dan IMAN,” kata Guru Sufi.


Pemikiran Pasca Hegemony II: Menggugat Otoritas Bank atas Uang

Oleh: K Ng H Agus Sunyoto - Facebook Lesbumi

Ketika menyimak penjalasan Guru Sufi tentang seluk-beluk aturan perbankan yang merugikan, DR Thomaq al-Bakhili melihat langsung bagaimana para pedagang yang pernah menjadi nasabah BPR Rakyat Nestapa bergantian melapor kepada Guru Sufi bahwa mereka baru saja menyimpan emas kepada Sufi Sudrun. Fahrurrozi, pedagang alat elektronik, melapor telah menyimpan emas 22 karat seberat ½ kilogram. Azmi, pedagang ekspor-impor, melapor telah menyimpan emas 24 karat seberat 1,5 kilogram. Dan Devri, pedagang kain, melapor telah menyimpan emas 22 karat seberat ¼ kilogram.

Yang membuat DR Thomas al-Bakhili kaget adalah saat Sufi Sudrun masuk menjinjing tas kulit berisi koin-koin emas berbagai ukuran. Rupanya, koin-koin emas itu dibuat dalam ukuran 0,5 gram, 1 gram, 1,5 gram, 4 gram, 7 gram, 10 gram, 38 gram, 50 gram, 100 gram, 250 gram, dan 750 gram. Masing-masing diberi harga satu gram Rp 540.000. Jadi satuan terkecil simpanan emas yang ukuran 0,5 gram harganya Rp 270.000 dan satuan terbesar yang ukuran 750 gram harganya Rp 405.000.000.

Marah, kecewa, jengkel, dan penasaran teraduk-aduk menjadi satu menyaksikan praktek mirip perbankan berlangsung di depannya, DR Thomaq al-Bakhili menyoal penggunaan emas sebagai alat penyimpan kekayaan. “Zaman sudah global begini masih menyimpan harta kekayaan dalam bentuk emas, apa itu tidak ketinggalan zaman, kuno, terbelakang, ndeso, kampungan, Mbah Kyai?” tanya DR Thomaq al-Bakhili dengan suara sinis.

Guru Sufi ketawa. Sebentar kemudian Guru Sufi berkata,”Masalah menyimpan harta bukanlah masalah gaya hidup. Sebab masalah transaksi keuangan, penyimpanan harta, kesepakatan moneter adalah masalah yang berkaitan dengan akal sehat yang didasari prinsip-prinsip sukarela tanpa ada pihak yang dirugikan. Jadi penggunaan emas sebagai alat tukar yang setara dengan uang adalah pilihan rasional – empirik yang obyektif dan masuk akal.”

“Maksudnya bagaimana Mbah Kyai?” sergah DR Thomaq al-Bakhili,”Penjelasannya bagaimana bahwa emas itu alat tukar paling rasional – empirik yang obyektif dan masuk akal?”

Guru Sufi ketawa sambil mengeluarkan selembar uang Rp 100.000 dan selembar uang RM 1 (satu Ringgit Malaysia). Sambil mengangkat uang Rp 100.000 Guru Sufi berkata,”Ini uang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dengan nilai nominal Rp 100.000. Kalian percaya bahwa nilai uang ini benar-benar Rp 100.000?”

“Ya pasti percaya, Mbah Kyai, itu kan uang keluaran bank milik negara?” sahut Thomaq.

“”Yang kalian percaya sejatinya hanya nilai nominal, yaitu nilai formal yang ditentukan oleh bank milik negara itu. Kalian tidak memikirkan nilai dari bahan yang digunakan mencetak uang ini, yaitu nilai intrinsik dari uang ini,” kata Guru Sufi.

“Maksudnya bagaimana Mbah Kyai?”

“Maksudku, dari nilai nominal Rp 100.000 ini, bahan untuk membuat uang ini kira-kira berapa harganya? Maksudku, kalau bahan kertas uang Rp 100.000 ini tidak ada gambar cetakannya, berapa kira-kira harganya? Berapa harga selembar kertas ini jika tidak ada gambar cetakan yang diberi nilai nominal Rp 100.000 ini?” tanya Guru Sufi melambaikan-lambaikan uang kertas seratus ribuan itu.

“Kalau yang dimaksud nilai bahan, ya kertas itu tidak ada harganya Mbah Kyai.”

“Kalau bahan uang yang selembar kertas ini tidak berharga, kenapa kalian percaya membuta bahwa uang itu harganya Rp 100.000?” tanya Guru Sufi.

“Ya harus percaya karena orang di seluruh negara percaya itu.”

Guru Sufi ketawa. Sambil tersenyum ia berkata,”Kalian kalah kritis dibanding orang-orang jaman Majapahit dulu.”

“Kurang kritis dibanding orang Majapahit? Apa maksudnya?” tanya Thomaq heran.

“Ketahuilah, orang di jaman Majapahit dulu kalau diberi alat tukar uang berupa kertas, mereka akan menolak. Sebab mereka tidak bisa menerima aturan tukar-menukar yang tidak masuk akal di mana kertas diberi nilai lebih tinggi atau sama dengan emas,” kata Guru Sufi menjelaskan.

“Tapi pemakaian uang kertas sudah jadi kesepakatan dunia bahkan sekarang orang sudah pakai credit card dan atm,” kata Thomaq.

“Kalau pemerintah yang menjamin nilai mata uang itu mengalami krisis dan nilai mata uang jatuh, bagaimana nasib pemilik uang kertas?” tanya Guru Sufi.

“Sesuai aturan, resikonya pemilik uang kertas akan merugi karena nilai kurs jatuh dan jika tingkat inflasi tinggi lalu dilakukan devaluasi mata uang bahkan sanering,” kata Thomaq.

“Itu yang dialami orang Indonesia ketika terjadi krisis moneter tahun 1960-an yang menyebabkan dilakukan sanering dan runtuhnya kurs mata uang rupiah tahun 1997 yang disebut krisis moneter, yang membuat bangkrut ribuan pemilik mata uang. Tapi perlu diketahui, bahwa dalam krisis moneter itu, rakyat yang menyimpan emas tidak ikut rugi. Karena nilai emas tidak terpengaruh nilai pasang surutnya kurs mata uang. Jadi dengan menyimpan uang senilai Rp 3.780.000 dalam bentuk emas 7 gram, misal, berapa pun kurs nilai mata uang rupiah terhadap ringgit Malaysia, Dolar Amerika, Dolar Singapura, dan bahkan devaluasi, orang tidak akan pernah ikut-ikutan rugi. Karena emas 7 gram itu jika dijual dalam keadaan apa pun, harganya tetap sekitar Rp 3.780.000 dan bahkan nilainya bisa lebih mahal jika harga emas naik, kata Guru Sufi menjelaskan.

DR Thomaq al-Bakhili menarik nafas panjang. Di benaknya terlintas bayangan tumpukan uang kertas yang dimilikinya yang disimpan di brankas. Ia bayangkan apa yang akan dialaminya jika semua uang itu hilang gambarnya dan hanya sekedar menjadi tumpukan kertas? Ia bayangkan bagaimana jika pemerintah tiba-tiba membuat kebijakan penyesuaian nilai mata uang seperti terjadi pada tahun 1997 – 1998 di mana kurs mata uang yang nilai tukar 1 US dolar Rp 3.236 tiba-tiba berubah menjadi Rp 17.000 per US dolar? Bagaimana jika nilai rupiah untuk beli dolar yang Rp 9.300 per US dolar itu tiba-tiba harus berubah menjadi Rp 14.000 per US dolar? Thomaq memejamkan mata. Ia tidak berani membayangkan uang kertas senilai Rp 17.000.000.000 yang dimilikinya itu mengalami perubahan akibat kebijakan moneter yang menjadikan nilainya jatuh. Sungguh, tidak ada sedikit pun jaminan untuk menjadikan uang kertas sebagai kekayaan yang permanen dan tidak terpengaruh kebijakan moneter.


Pemikiran Pasca Hegemony III: Menggugat Aturan Bank Berjual-beli Uang

Oleh: K Ng H Agus Sunyoto - Facebook Lesbumi

Usai belanja suvenir dari Pasar Sentral Kualalumpur, Asmawi buru-buru ke bandara internasional untuk ikut mengantar Guru Sufi kembali ke tanah air. Sebagai santri yang berhasil membuka usaha di negeri jiran, Asmawi selain membelikan oleh-oleh untuk Guru Sufi juga akan menyerahkan uang yang diperolehnya dari para santri alumnus pesantren sufi yang bekerja di Kualalumpur dan sekitar. Sebelum menemui Guru Sufi yang check in di dalam, begitu masuk ke terminal keberangkatan Asmawi terlebih dulu mendatangi counter CIMB Bank. Ia berniat menjual uang 20.000 RM ke kurs rupiah terlebih dulu sebelum diberikan kepada Guru sufi.

Ketika ia menghitung 20.000 RM uang pecahan 100 RM, yang nilai kurs totalnya sekitar Rp 70 juta (1 RM kurs Rp 3500) tiba-tiba merasa ada seseorang mendekatinya. Dan sebelum ia menyerahkan uang kepada petugas bank, ia merasakan bahunya ditepuk seseorang hingga ia dengan gerak refleks membalikkan badan.

Asmawi terkejut bukan alang kepalang ketika mengetahui bahwa orang yang menepuk bahunya adalah Guru Sufi. Dengan tergagap ia menyapa,”O assalamualaikum, Mbah Kyai, maaf ini saya mau menukar uang.”

Tanpa bicara Guru Sufi mengangkat tangan kanan ke atas dan menggoyang-goyangnya, seperti memberi isyarat melarang Asmawi menukar uang ke bank sambil berkata,”Untuk apa uang ringgit itu ditukar?”

“Ee anu Mbah Kyai, ini dari teman-teman untuk disampaikan kepada Mbah Kyai. Ini akan saya tukar dulu dengan rupiah, supaya tidak repot di tanah air,” kata Asmawi menjelaskan.

“Kalau tidak dalam keadaan darurat, jangan pernah melakukan jual-beli uang dengan bank. Haram hukumnya,” kata Guru Sufi tegas.

“Tukar RM dengan rupiah haram?” gumam asmawi heran,”Mohon penjelasan Mbah Kyai.” “Bukan tukar RM dengan rupiah yang haram, tapi berjual-beli uang RM dengan rupiah antara orang dengan bank itulah yang haram,” kata Guru Sufi dengan suara ditekan.

“Kenapa haram Mbah Kyai?” tanya Asmawi masih belum faham.

“Karena ada unsur penipuan sistematis di dalam transaksi itu.”

“Penipuan sistematis dalam transaksi penukaran RM dengan rupiah?”

Guru Sufi mengangguk.

“Mohon penjelasan Mbah Kyai, saya belum faham karena bertahun-tahun kami semua melakukan tukar-menukar RM dengan rupiah sebagai kebiasaan,” kata Asmawi.

“Kamu akan menukar uang berapa RM?” tanya Guru Sufi.

“20.000 RM, Mbah Kyai.”

“Berapa kurs 1 RM dalam rupiah?”

“Rp 3500, tigaribu limaratus rupiah, Mbah Kyai.”

“Berarti, dengan 20.000 RM harusnya diperoleh 20.000 x 3500 = Rp 70 juta.”

“Benar Mbah Kyai.”

“Faktanya nanti kamu akan dapat berapa?”

“Ee di daftar kurs yang di situ,” Asmawi menunjuk daftar jual dan beli uang yang terpampang di dinding counter,”Kurs bank beli 0,266 dan kurs bank jual 0,357.”

“Artinya, kalau kamu jual 20.000 RM tidak memperoleh Rp 70.000.000 tetapi hanya memperoleh sekitar 20.000 x 2.660 = Rp 53.200.000, benar begitu?” tanya Guru Sufi.

“Benar Mbah Kyai.”

“Berarti dalam tempo kurang dari 5 menit transaksi jual-beli uang itu, bank sudah mengeruk keuntungan Rp 70.000.000 – Rp 53.200.000 = Rp.16.800.000?” kata Guru Sufi.

“Eee selama ini aturannya memang begitu, Mbah Kyai.”

“Itu artinya, dalam transaksi yang kurang dari 5 menit itu kita sudah akan dirugikan Rp 16.800.000?” kata Guru Sufi.

“Tidak ada pilihan lain, Mbah Kyai,” kata Asmawi,”Nanti kita tukar ke Maybank juga aturannya akan sama.”

“Itulah yang aku katakan jual-beli uang dengan bank itu haram.”

“Tapi kalau tidak dijual di bank ditukar di mana, Mbah Kyai?”

“Tukar antar orang dengan orang yang tidak terlalu serakah mengeruk untung.”

Asmawi tiba-tiba ingat bahwa di terminal kedatangan bandara internasional Juanda setiap penumpang pesawat dari Kualalumpur yang turun selalu ditawari oleh orang-orang yang memberi patokan harga sekitar Rp 3000 – Rp 3100 setiap 1 RM. Faham apa yang dimaksud Guru Sufi, Asmawi batal menjual uang 20.000 RM ke bank. Sebaliknya dengan buru-buru ia menyerahkan uang itu langsung kepada Guru Sufi. Ia sadar bahwa selama bertahun-tahun ia telah dirugikan ratusan juta rupiah dalam tukar-menukar uang RM dengan rupiah yang dilakukan dengan bank karena akal sehatnya telah dihegemoni oleh dogma dan doktrin menyesatkan aturan perbankan.


Pemikiran Pasca Hegemony IV: Menggugat Istilah Ciptaan Kapitalisme Global

Oleh: K Ng H Agus Sunyoto - Facebook Lesbumi

Dalam kajian rutin Selasa malam dengan tema korupsi dan good governance, DR Thomaq al-Bakhili yang tampil pertama mengecam keras praktek korup yang dilakukan para pejabat yang menggunakan dana bantuan dari World Bank, Asia development bank dan IMF untuk kepentingan pribadi. Dengan sejumlah istilah sinis dan sarkastis, ia mengajukan usulan agar pejabat-pejabat korup yang menyalah-gunakan kebaik-hatian lembaga-lembaga keuangan itu untuk dijatuhi hukuman berat kalau perlu dijatuhi hukuman mati.

Ketika sesi tanya jawab dibuka, Sufi Sudrun yang terkantuk-kantuk tetapi menyimak setiap kata-kata DR Thomaq al-Bakhili menyampaikan sejumlah catatan istilah yang disampaikan pemilik BPR Rakyat Nestapa itu. Pertama-tama, Sufi Sudrun meminta agar istilah “AID” atau BANTUAN harus diganti dengan istilah yang riil sesuai fakta. “Ini penting dilakukan, karena dalam fakta yang disebut “AID” atau BANTUAN itu adalah “LOAN” atau UTANG. Orang goblok pun bisa membedakan BANTUAN dengan UTANG, apalagi seorang doktor ekonomi,” kata Sufi Sudrun.

“Tapi itu sudah menjadi istilah baku yang digunakan pemerintah dan para pengamat ekonomi kita,” ujar DR Thomaq al-Bakhili.

“Silahkan Anda ceramah di istana negara dan di media massa dengan istilah itu, tapi di forum ini jangan coba-coba mempengaruhi para peserta dengan istilah-istilah hegemonic yang menyesatkan,” kata Sufi Sudrun dengan suara ditekan tinggi.

“Saya hanya mengikuti istilah baku,” sahut DR Thomaq al-Bakhili bergetar.

“Itu istilah baku yang salah, karena menyesatkan pikiran waras,” kata Sufi Sudrun tinggi,”Saya sudah konfirmasi kepada Pak Kwik Kian Gie tentang istilah-istilah laknat itu, dan Pak Kwik tegas menyatakan bahwa itu istilah sesat yang wajib diubah jika negara Indonesia tidak ingin terus-terusan dijadikan bulan-bulanan, obyek eksploitasi oleh lembaga-lembaga keuangan internasional. Bahkan menurut Pak Kwik, sewaktu beliau menjadi menteri sudah pernah mengajukan agar istilah itu dirubah tetapi tidak berhasil. Itu artinya, silahkan di istana negara, media massa, kampus-kampus, lembaga-lembaga moneter kaki tangan kapitalisme global, istilah itu digunakan secara baku, tetapi jangan sekali-kali dipaksakan digunakan di forum ilmiah pesantren ini.”

“Saya faham itu, pak,” sahut DR Thomaq al-Bakhili.

“Yang wajib diubah juga adalah istilah NEGARA DONOR yang memiliki kesan NEGARA DONATUR yang membantu Indonesia karena kedermawanan dan kebaik-hatian. Istilah keparat-laknat-jahanam itu harus diganti, karena fakta menunjuk bahwa negara-negara garong itu tidak pernah memberi bantuan donasi gratisan, melainkan memberikan UTANG. Jadi NEGARA DONOR harus diganti menjadi NEGARA PEMBERI HUTANG.”

“Apakah itu juga sudah konfirmasi dengan Pak Kwik?”

“Sudah pasti.”

“Ada lagi pak?”

“Istilah PRIVATISASI yang saudara gunakan untuk penjualan aset negara, itu juga harus diganti dengan istilah PENJUALAN ASET NEGARA. Ini penting, karena mengkaji sesuatu berdasar telaah ilmiah tidak boleh ada istilah-istilah yang bersifat manipulatif yang digunakan untuk tujuan menipu orang sebagaimana yang selama ini dilakukan negara-negara Neo-imperialis dalam mengeksploitasi negara bangsa Indonesia dengan didukung antek-anteknya, para komprador berjiwa tuyul bermental blorong, yang tergabung dalam organisasi tanpa bentuk yang disebut Berkeley Mafia,” seru Sufi Sudrun.

“Mohon maaf sebelumnya pak,” kata DR Thomaq al-Bakhili dengan muka kecut, ”Saya tidak bisa melanjutkan diskusi ini. Perut saya sakit. Kepala saya pening. Dada saya sesak. Saya mohon pamit untuk pulang.”

Para peserta kajian rutin tertawa riuh.Mereka faham kenapa DR Thomaq al-Bakhili tidak berani melanjutkan diskusi. Tetapi mereka bersukacita, karena jiwa dan pikiran mereka telah terbebas dari hegemoni peristilahan menyesatkan yang dicipta kapitalisme global dan disebarkan oleh akademisi, intelektual, ekonom, birokrat sontoloyo seperti DR Thomaq al-Bakhili.

(Bersambung)