Pemikiran Pasca Hegemoni V: Menggugat Konsep HAM Ciptaan Barat
Oleh: K Ng H Agus Sunyoto - Facebook Lesbumi
Dalam kajian kamis malam bertema Penegakan HAM (Hak Azasi Manusia) di Indonesia yang disampaikan DR Ashobia W Armstrong, teman DR Thomaq al-Bakhili, dipaparkan berbagai fakta menyedihkan tentang belum tegaknya HAM di Indonesia sampai memasuki era global. Berbagai tekanan, tindak kekerasan, tindakan represif, teror, ancaman, dan intimidasi masih menandai berbagai pelanggaran terhadap hak azasi manusia. “Dalam pandangan negara-negara maju dan beradab,” kata DR Ashobia W Armstrong dengan suara ditekan tinggi,”Indonesia masih tergolong negara yang belum bisa secara konsekuen dan konsisten menegakkan HAM sesuai yang diharapkan.”
Untuk menunjukkan bagaimana Indonesia sebagai negara pelanggar HAM yang belum berubah dari dekade 1960-an hingga sekarang, sebuah film dokumenter berjudul The Act of Killing yang dibikin sutradara bernama Joshua Oppenheimer diputar. Film itu menampilkan pengakuan seorang algojo penjagal PKI bernama Anwar Congo, preman bioskop Medan, yang memperagakan ulang kekerasan-kekerasan yang pernah dilakukannya dalam membantai orang-orang PKI.
Menurut DR Ashobia W Armstrong, sewaktu film The Act of Killing diputar di Festival Film Toronto di Canada, pers Barat menyebut film itu sangat mengerikan dan mengguncang batin. Itu karena Anwar Congo tampak bangga sekali dengan tindakannya. Lalu sambil menjelaskan ini dan itu, DR Ashobia W Armstrong menampilkan slide-slide tentang kasus Petrus, Marsinah, Wiji Thukul, peristiwa 13-14 Mei 1998, hingga pembunuhan aktivis HAM Munir. Dan di akhir presentasi, peserta kajian yang terkesan dengan pemaparan DR Ashobia W Armstrong meng-amin-i kebenaran bahwa bangsa dan negara Indonesia sampai memasuki era global ini belum mencapai tahap Negara beradab sebagaimana yang sudah dilampaui negara-negara Barat.
Pada saat sesi tanya jawab dibuka, Sufi Sudrun tidak mempertanyakan sesuatu tentang materi yang disampaikan DR Ashobia W Armstrong dan tidak pula meng-amin-i atau menampik pandangan doktor lulusan Chicago itu. Sebaliknya, Sufi Sudrun mempertanyakan hal elementer tentang makna HUMAN RIGHT atau HAK AZASI MANUSIA yang digunakan dalam kajian itu, sebab dalam kajian ilmiah segala sesuatu wajib didasarkan pada paradigma, dogma, doktrin, mitos, dan asumsi dasar yang benar.
“Saya mohon Pak Doktor menjelaskan kepada kami semua, apa yang dimaksud HUMAN dan apa pula yang dimaksud RIGHT!” kata Sufi Sudrun serius, ingin pemaknaan dasar Human Right.
DR Ashobia W Armstrong tertawa sambil geleng-geleng kepala. Setelah diam sejenak, ia menjelaskan makna HUMAN kepada Sufi Sudrun seperti seorang guru menjelaskan sebuah jawaban gampang kepada muridnya yang goblok.
”Coba pak, sampeyan buka Kamus bahasa Inggris. Lalu cari kosa kata HUMAN. Di situ sampeyan akan menemukan bahwa arti kata HUMAN adalah manusia. Masa gitu saja tidak tahu,” jawab DR Ashobia W Armstrong dengan nada mengejek.
“Kalau jawaban kamus, itu anak SD juga sudah tahu Pak Doktor,” sahut Sufi Sudrun merendahkan suara, ”Yang saya maksud, kata HUMAN itu asal-muasal terminologi dan epistemologi terbentuknya bagaimana? Kenapa dalam konsep HAM atau HUMAN RIGHT orang-orang Barat menggunakan kosa kata HUMAN dan bukan HOMO atau HOMME atau HOMBRE?”
“Wah kalau itu sih, tanya saja pada orang Barat sana kenapa mereka pakai istilah HUMAN dan bukannya HOMO atau HOMME atau HOMBRE,” sahut DR Ashobia W Armstrong ketawa.
“Sebagai doktor, seharusnya sampeyan sangat faham dengan apa yang sampeyan sampaikan mulai kosa kata dasar sampai perkembangannya sebagai sebuah konsep. Kalau masalah keilmuan tidak mengetahui secara mendasar asumsi dasar, paradigma, dogma, dan doktrin dari sebuah konsep, itu menunjuk sampeyan sebagai orang terpelajar bermental cargo cult. Seperti kapal cargo, kepala sampeyan hanya memuat segala sesuatu yang dimasukkan dan dimuatkan tanpa sedikit pun memiliki daya kritis tentang sesuatu yang dimuatkan di otak sampeyan. Sampeyan jelas bukan ilmuwan yang memiliki wacana independen karena jiwa dan pikiran sampeyan sudah penuh sesak oleh dogma-dogma, doktrin-doktrin, konsep-konsep, gagasan-gagasan, ide-ide, pandangan-pandangan yang diproduksi oleh pemikiran Barat yang sangat logosentristik.”
Tersinggung dengan kritikan Sufi Sudrun, DR Ashobia W Armstrong dengan nafas tersengal-sengal dan mata berkilat-kilat menyalak, ”Sampeyan sendiri tahu tidak kenapa Barat menggunakan istilah HUMAN dalam konsep HUMAN RIGHT? Tolong jelaskan sampai tuntas kepada kami yang tidak sehebat sampeyan dalam pengetahuan. Silahkan dijelaskan! Silahkan! Silahkan!! Silahkan!!”
Sebagai orang pesantrenn yang terbiasa berbeda pendapat dalam ba’tsul masail Sufi Sudrun hanya ketawa. Lalu sambil tersenyum ia menjelaskan bahwa menurut George Ritzer dalam Sociological Theory (1996) yang mengutip pandangan Pierre Bourdieu tentang struktur mental dan pengetahuan yang disebut habitus, konsep Human Right yang disebarkan oleh negara-negara Barat memiliki kaitan dengan “produk internalisasi struktur” dunia sosial bangsa Eropah dalam merasakan, memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi dunia sosial mereka, yang dalam teori psiko-analisa Carl Gustaf Jung habitus tersebut mempengaruhi sikap dan tindakan manusia sebagaimana Archetype. Dan archetype bangsa Eropa telah terbentuk oleh legenda-legenda, dongeng-dongeng dan mitologi Arian yang menyatakan bahwa ras mereka – ras bertubuh tinggi, kulit putih, mata biru, hidung mancung, rambut perang – adalah ras keturunan tokoh bernama Manush putera Tuisto sebagaimana ditulis H.R.E. Davidson dalam Gods and Myths of Northern Europe (1982).
“Maksudnya, di dalam Archetype ras Aria-Eropa tersimpan asumsi bawah sadar yang memaknai keberadaan manusia sebagai spesies keturunan tokoh Manush, di mana hal itu tercermin dari kosa kata – kosa kata bahasa Aria-Eropa yang memaknai kata ganti untuk orang atau manusia yang selalu dikaitkan dengan nama Manush, leluhur mereka: Man, Hu-Man, Mensch, Mann, Manusa,” kata Sufi Sudrun menjelaskan.
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan, “Dengan demikian, di alam bawah sadar ras Aria-Eropa tersembunyi keyakinan bahwa ras manusia yang bukan keturunan Manush adalah bukan spesies manusia. Hanya ras yang memiliki tipologi fisik seperti Manush – berperawakan tinggi, berkulit putih, berambut perang, bermata biru, berhidung mancung – yang disebut MAN, MENSCH, HU-MAN, MANUSA itulah manusia atau orang.”
“Bagaimana sampeyan menganggap kosa kata MANUSA adalah bahasa Aria-Eropa?” sergah DR Ashobia W Armstrong tidak terima.
“Lha kosa kata MANUSA kan dari Bahasa Sansekerta yang merupakan bahasa Indo-Aria?” kata Sufi Sudrun dengan nada tanya, ”MANUSA dari kata MANU dan SA, di mana makhluk pertama yang dianggap leluhur oleh imigran Aria-Kaukasian ke India adalah tokoh MANU. Jadi kata MANUSA maknanya ANAK (SA) MANU.”
DR Ashobia w Armstrong diam dengan dada naik turun. Lalu dengan suara tinggi ia bertanya,”Lalu apa korelasi hubungan kosa kata HUMAN, MANUSH, MANUSA dalam konsep HUMAN RIGHT menurut sampeyan? Apa sampeyan bisa menjelaskan tentang pengaruh istilah HUMAN dengan pelaksanaan HUMAN RIGHT?”
Oleh: K Ng H Agus Sunyoto - Facebook Lesbumi
Dalam kajian kamis malam bertema Penegakan HAM (Hak Azasi Manusia) di Indonesia yang disampaikan DR Ashobia W Armstrong, teman DR Thomaq al-Bakhili, dipaparkan berbagai fakta menyedihkan tentang belum tegaknya HAM di Indonesia sampai memasuki era global. Berbagai tekanan, tindak kekerasan, tindakan represif, teror, ancaman, dan intimidasi masih menandai berbagai pelanggaran terhadap hak azasi manusia. “Dalam pandangan negara-negara maju dan beradab,” kata DR Ashobia W Armstrong dengan suara ditekan tinggi,”Indonesia masih tergolong negara yang belum bisa secara konsekuen dan konsisten menegakkan HAM sesuai yang diharapkan.”
Untuk menunjukkan bagaimana Indonesia sebagai negara pelanggar HAM yang belum berubah dari dekade 1960-an hingga sekarang, sebuah film dokumenter berjudul The Act of Killing yang dibikin sutradara bernama Joshua Oppenheimer diputar. Film itu menampilkan pengakuan seorang algojo penjagal PKI bernama Anwar Congo, preman bioskop Medan, yang memperagakan ulang kekerasan-kekerasan yang pernah dilakukannya dalam membantai orang-orang PKI.
Menurut DR Ashobia W Armstrong, sewaktu film The Act of Killing diputar di Festival Film Toronto di Canada, pers Barat menyebut film itu sangat mengerikan dan mengguncang batin. Itu karena Anwar Congo tampak bangga sekali dengan tindakannya. Lalu sambil menjelaskan ini dan itu, DR Ashobia W Armstrong menampilkan slide-slide tentang kasus Petrus, Marsinah, Wiji Thukul, peristiwa 13-14 Mei 1998, hingga pembunuhan aktivis HAM Munir. Dan di akhir presentasi, peserta kajian yang terkesan dengan pemaparan DR Ashobia W Armstrong meng-amin-i kebenaran bahwa bangsa dan negara Indonesia sampai memasuki era global ini belum mencapai tahap Negara beradab sebagaimana yang sudah dilampaui negara-negara Barat.
Pada saat sesi tanya jawab dibuka, Sufi Sudrun tidak mempertanyakan sesuatu tentang materi yang disampaikan DR Ashobia W Armstrong dan tidak pula meng-amin-i atau menampik pandangan doktor lulusan Chicago itu. Sebaliknya, Sufi Sudrun mempertanyakan hal elementer tentang makna HUMAN RIGHT atau HAK AZASI MANUSIA yang digunakan dalam kajian itu, sebab dalam kajian ilmiah segala sesuatu wajib didasarkan pada paradigma, dogma, doktrin, mitos, dan asumsi dasar yang benar.
“Saya mohon Pak Doktor menjelaskan kepada kami semua, apa yang dimaksud HUMAN dan apa pula yang dimaksud RIGHT!” kata Sufi Sudrun serius, ingin pemaknaan dasar Human Right.
DR Ashobia W Armstrong tertawa sambil geleng-geleng kepala. Setelah diam sejenak, ia menjelaskan makna HUMAN kepada Sufi Sudrun seperti seorang guru menjelaskan sebuah jawaban gampang kepada muridnya yang goblok.
”Coba pak, sampeyan buka Kamus bahasa Inggris. Lalu cari kosa kata HUMAN. Di situ sampeyan akan menemukan bahwa arti kata HUMAN adalah manusia. Masa gitu saja tidak tahu,” jawab DR Ashobia W Armstrong dengan nada mengejek.
“Kalau jawaban kamus, itu anak SD juga sudah tahu Pak Doktor,” sahut Sufi Sudrun merendahkan suara, ”Yang saya maksud, kata HUMAN itu asal-muasal terminologi dan epistemologi terbentuknya bagaimana? Kenapa dalam konsep HAM atau HUMAN RIGHT orang-orang Barat menggunakan kosa kata HUMAN dan bukan HOMO atau HOMME atau HOMBRE?”
“Wah kalau itu sih, tanya saja pada orang Barat sana kenapa mereka pakai istilah HUMAN dan bukannya HOMO atau HOMME atau HOMBRE,” sahut DR Ashobia W Armstrong ketawa.
“Sebagai doktor, seharusnya sampeyan sangat faham dengan apa yang sampeyan sampaikan mulai kosa kata dasar sampai perkembangannya sebagai sebuah konsep. Kalau masalah keilmuan tidak mengetahui secara mendasar asumsi dasar, paradigma, dogma, dan doktrin dari sebuah konsep, itu menunjuk sampeyan sebagai orang terpelajar bermental cargo cult. Seperti kapal cargo, kepala sampeyan hanya memuat segala sesuatu yang dimasukkan dan dimuatkan tanpa sedikit pun memiliki daya kritis tentang sesuatu yang dimuatkan di otak sampeyan. Sampeyan jelas bukan ilmuwan yang memiliki wacana independen karena jiwa dan pikiran sampeyan sudah penuh sesak oleh dogma-dogma, doktrin-doktrin, konsep-konsep, gagasan-gagasan, ide-ide, pandangan-pandangan yang diproduksi oleh pemikiran Barat yang sangat logosentristik.”
Tersinggung dengan kritikan Sufi Sudrun, DR Ashobia W Armstrong dengan nafas tersengal-sengal dan mata berkilat-kilat menyalak, ”Sampeyan sendiri tahu tidak kenapa Barat menggunakan istilah HUMAN dalam konsep HUMAN RIGHT? Tolong jelaskan sampai tuntas kepada kami yang tidak sehebat sampeyan dalam pengetahuan. Silahkan dijelaskan! Silahkan! Silahkan!! Silahkan!!”
Sebagai orang pesantrenn yang terbiasa berbeda pendapat dalam ba’tsul masail Sufi Sudrun hanya ketawa. Lalu sambil tersenyum ia menjelaskan bahwa menurut George Ritzer dalam Sociological Theory (1996) yang mengutip pandangan Pierre Bourdieu tentang struktur mental dan pengetahuan yang disebut habitus, konsep Human Right yang disebarkan oleh negara-negara Barat memiliki kaitan dengan “produk internalisasi struktur” dunia sosial bangsa Eropah dalam merasakan, memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi dunia sosial mereka, yang dalam teori psiko-analisa Carl Gustaf Jung habitus tersebut mempengaruhi sikap dan tindakan manusia sebagaimana Archetype. Dan archetype bangsa Eropa telah terbentuk oleh legenda-legenda, dongeng-dongeng dan mitologi Arian yang menyatakan bahwa ras mereka – ras bertubuh tinggi, kulit putih, mata biru, hidung mancung, rambut perang – adalah ras keturunan tokoh bernama Manush putera Tuisto sebagaimana ditulis H.R.E. Davidson dalam Gods and Myths of Northern Europe (1982).
“Maksudnya, di dalam Archetype ras Aria-Eropa tersimpan asumsi bawah sadar yang memaknai keberadaan manusia sebagai spesies keturunan tokoh Manush, di mana hal itu tercermin dari kosa kata – kosa kata bahasa Aria-Eropa yang memaknai kata ganti untuk orang atau manusia yang selalu dikaitkan dengan nama Manush, leluhur mereka: Man, Hu-Man, Mensch, Mann, Manusa,” kata Sufi Sudrun menjelaskan.
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan, “Dengan demikian, di alam bawah sadar ras Aria-Eropa tersembunyi keyakinan bahwa ras manusia yang bukan keturunan Manush adalah bukan spesies manusia. Hanya ras yang memiliki tipologi fisik seperti Manush – berperawakan tinggi, berkulit putih, berambut perang, bermata biru, berhidung mancung – yang disebut MAN, MENSCH, HU-MAN, MANUSA itulah manusia atau orang.”
“Bagaimana sampeyan menganggap kosa kata MANUSA adalah bahasa Aria-Eropa?” sergah DR Ashobia W Armstrong tidak terima.
“Lha kosa kata MANUSA kan dari Bahasa Sansekerta yang merupakan bahasa Indo-Aria?” kata Sufi Sudrun dengan nada tanya, ”MANUSA dari kata MANU dan SA, di mana makhluk pertama yang dianggap leluhur oleh imigran Aria-Kaukasian ke India adalah tokoh MANU. Jadi kata MANUSA maknanya ANAK (SA) MANU.”
DR Ashobia w Armstrong diam dengan dada naik turun. Lalu dengan suara tinggi ia bertanya,”Lalu apa korelasi hubungan kosa kata HUMAN, MANUSH, MANUSA dalam konsep HUMAN RIGHT menurut sampeyan? Apa sampeyan bisa menjelaskan tentang pengaruh istilah HUMAN dengan pelaksanaan HUMAN RIGHT?”
“Justru dengan penggunaan kosa kata HUMAN, orang-orang Aria-Eropa telah melakukan banyak pelanggaran terhadap hak hidup orang-orang dari ras bukan keturunan tokoh Manush. Orang-orang Aria-Eropa selalu terjebak ke dalam standar ganda dalam memaknai Human Right. Fakta sejarah mencatat, kapan dan bagaimana ras Aria-Eropa melakukan ethnic cleansing di berbagai negara di Asia, Afrika, Amerika, Australia, dan bahkan di Eropa sendiri terhadap orang-orang bukan keturunan Manush,” kata Sufi Sudrun menjelaskan.
“Itu tuduhan serius,” tukas DR Ashobia W Armstrong tidak senang, ”Sampeyan bisa membuktikan apa yang sampeyan tuduhkan?”
“Sampeyan tahu ketika tahun 1492 Columbus beserta rombongan yang mencari negeri India kesasar ke Kepulauan Bahama? Lalu Columbus bertemu dengan penduduk asli yang mereka kira orang India?”
“Ya semua orang tahu itu.”
“Pernahkah Columbus bertanya kepada penduduk asli itu tentang siapa jati diri mereka?“ kata Sufi Sudrun, ”Pernahkah Columbus bertanya apakah mereka bangsa India atau tidak? Tentu tidak. Sejarah mencatat, Columbus dengan semena-mena menyebut penduduk asli itu dengan sebutan Indian seolah-olah mereka adalah orang India. Begitulah, Barat kulit putih menyebut bangsa penghuni benua itu dengan sebutan INDIAN tanpa memberi kesempatan bagi bangsa Navayo, Apache, Commanche, Sioux, Mohican di negerin itu untuk menyebut jati diri mereka. Bahkan sebutan INDIAN itu ditarik terus ke selatan untuk menyebut bangsa INCA, AZTEC, MAYA yang semuanya sejatinya bukan bangsa INDIA. Bahkan karena anggapan bangsa-bangsa asli itu bukan keturunan Manush yang berarti bukan Manusia, maka sejarah mencatat bagaimana ethnic cleansing terjadi atas bangsa-bangsa itu tanpa sedikit pun rasa bersalah dari keturunan Manush berkulit putih, bertubuh jangkung, bermata biru, dan berambut rambut pirang itu.”
DR Ashobia W Armstrong mengatupkan mulut rapat dengan gigi gemeletuik.
“Waktu Barat masuk ke benua kanguru yang disebut Australia, mereka menemukan ras Melanesia sebagai penghuni,” kata Sufi Sudrun menjelaskan,”Lalu dengan semena-mena mereka menyebut penduduk asli benua itu dengan sebutan ABORIGIN, sebutan yang sangat menghina, yaitu: AB-ORIGIN, setengah orang, setengah makhluk yang diidentikkan dengan AB-NORMAL. Itu sebabnya, tahun 1889 pernah ada undang-undang yang membolehkan penduduk kulit putih Australia berburu Aborigin.”
DR Ashobia W Armstrong menyapu keringat dari keningnya. Ia menahan nafas.
“Yang sama kita ketahui bagaimana orang-orang Jerman keturunan Manush membasmi ras Semit Yahudi selama Nazi berkuasa, di mana Yahudi yang berkulit coklat, rambut keriting, mata hitam asal Jazirah Arab dibasmi dalam jumlah jutaan orang. Lalu orang-orang Belanda membantai besar-besaran bangsa di negeri saya ini tanpa sedikit pun merasa salah apalagi melanggar HUMAN RIGHT, “ kata Sufi Sudrun.
“Jadi simpulan dari diskusi ini apa?” sahut DR Ashobia W Armstrong.
“Kalau yang dimaksud HUMAN RIGHT adalah HAK AZASI untuk keturunan MANUSH tentu kami tolak mentah-mentah karena kami bukan keturunan Manush. Kami tidak mau digolongkan bangsa HOBBIT, ORC, ENT, ONODRIM, TROLL, KURCACI, yang dianggap bukan orang karena bukan keturunan Manush. Termasuk kami menolak teori Darwin digunakan dalam konteks ilmu pengetahuan tentang manusia. Sebab kami tahu, teori itu digunakan oleh Aria-Eropa untuk membenarkan bahwa ras-ras orang di luar keturunan MANUSH adalah keturunan PITHECANTHROPUS ERECTUS – Manusia Kera Berjalan tegak. Sedang Aria-Eropa adalah keturunan manusia Cro-magnon,” kata Sufi Sudrun.
“Apakah itu semua ada hubungan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM?”
“Tentu ada,” sahut Sufi Sudrun, ”Kalau yang dipakai HUMAN RIGHT, maka menyiksa, melakukan tindak kekerasan apalagi membunuh HUMAN keturunan MANUSH akan dianggap melanggar HUMAN RIGHT. Sementara kalau keturunan MANUSH membunuh bangsa bukan keturunan MANUSH, yaitu membunuh bangsa kulit berwarna tidak dianggap pelanggaran Human Right,” kata Sufi Sudrun menjelaskan,”Faktanya yang berlaku sampai saat ini adalah aturan itu, pak doktor.”
Semua menahan nafas sewaktu Sufi Sudrun menampilkan slide-slide dokumenter terkait pembunuhan dalam bentuk pembantaian massal, penjagalan, massacre, holocaust, ethnic cleansing yang dilakukan ras kulit putih keturunan Manush terhadap ras kulit berwarna di Afrika, Asia, Australia, Amerika, bahkan di Eropa sendiri saat pembersihan etnis Yahudi selama Perang Dunia II.
"Nah yang ini," kata Sufi Sudrun menunjuk ke layar yang disorot LCD player, "Itu kebiadaban Kapten Raymond Westerling yang membantai 40.000 orang penduduk sipil Sulawesi Selatan. Belanda cuma bilang "maaf ya bro, Westerling itu bukan tentara KL maupun KNIL. Jadi tindakan brutalnya bukan tanggung jawab pemerintah Belanda.. he he he."
Pemikiran Pasca Hegemony VI: Menggugat Mitos Bangsa Bodoh Ciptaan Barat“Itu tuduhan serius,” tukas DR Ashobia W Armstrong tidak senang, ”Sampeyan bisa membuktikan apa yang sampeyan tuduhkan?”
“Sampeyan tahu ketika tahun 1492 Columbus beserta rombongan yang mencari negeri India kesasar ke Kepulauan Bahama? Lalu Columbus bertemu dengan penduduk asli yang mereka kira orang India?”
“Ya semua orang tahu itu.”
“Pernahkah Columbus bertanya kepada penduduk asli itu tentang siapa jati diri mereka?“ kata Sufi Sudrun, ”Pernahkah Columbus bertanya apakah mereka bangsa India atau tidak? Tentu tidak. Sejarah mencatat, Columbus dengan semena-mena menyebut penduduk asli itu dengan sebutan Indian seolah-olah mereka adalah orang India. Begitulah, Barat kulit putih menyebut bangsa penghuni benua itu dengan sebutan INDIAN tanpa memberi kesempatan bagi bangsa Navayo, Apache, Commanche, Sioux, Mohican di negerin itu untuk menyebut jati diri mereka. Bahkan sebutan INDIAN itu ditarik terus ke selatan untuk menyebut bangsa INCA, AZTEC, MAYA yang semuanya sejatinya bukan bangsa INDIA. Bahkan karena anggapan bangsa-bangsa asli itu bukan keturunan Manush yang berarti bukan Manusia, maka sejarah mencatat bagaimana ethnic cleansing terjadi atas bangsa-bangsa itu tanpa sedikit pun rasa bersalah dari keturunan Manush berkulit putih, bertubuh jangkung, bermata biru, dan berambut rambut pirang itu.”
DR Ashobia W Armstrong mengatupkan mulut rapat dengan gigi gemeletuik.
“Waktu Barat masuk ke benua kanguru yang disebut Australia, mereka menemukan ras Melanesia sebagai penghuni,” kata Sufi Sudrun menjelaskan,”Lalu dengan semena-mena mereka menyebut penduduk asli benua itu dengan sebutan ABORIGIN, sebutan yang sangat menghina, yaitu: AB-ORIGIN, setengah orang, setengah makhluk yang diidentikkan dengan AB-NORMAL. Itu sebabnya, tahun 1889 pernah ada undang-undang yang membolehkan penduduk kulit putih Australia berburu Aborigin.”
DR Ashobia W Armstrong menyapu keringat dari keningnya. Ia menahan nafas.
“Yang sama kita ketahui bagaimana orang-orang Jerman keturunan Manush membasmi ras Semit Yahudi selama Nazi berkuasa, di mana Yahudi yang berkulit coklat, rambut keriting, mata hitam asal Jazirah Arab dibasmi dalam jumlah jutaan orang. Lalu orang-orang Belanda membantai besar-besaran bangsa di negeri saya ini tanpa sedikit pun merasa salah apalagi melanggar HUMAN RIGHT, “ kata Sufi Sudrun.
“Jadi simpulan dari diskusi ini apa?” sahut DR Ashobia W Armstrong.
“Kalau yang dimaksud HUMAN RIGHT adalah HAK AZASI untuk keturunan MANUSH tentu kami tolak mentah-mentah karena kami bukan keturunan Manush. Kami tidak mau digolongkan bangsa HOBBIT, ORC, ENT, ONODRIM, TROLL, KURCACI, yang dianggap bukan orang karena bukan keturunan Manush. Termasuk kami menolak teori Darwin digunakan dalam konteks ilmu pengetahuan tentang manusia. Sebab kami tahu, teori itu digunakan oleh Aria-Eropa untuk membenarkan bahwa ras-ras orang di luar keturunan MANUSH adalah keturunan PITHECANTHROPUS ERECTUS – Manusia Kera Berjalan tegak. Sedang Aria-Eropa adalah keturunan manusia Cro-magnon,” kata Sufi Sudrun.
“Apakah itu semua ada hubungan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM?”
“Tentu ada,” sahut Sufi Sudrun, ”Kalau yang dipakai HUMAN RIGHT, maka menyiksa, melakukan tindak kekerasan apalagi membunuh HUMAN keturunan MANUSH akan dianggap melanggar HUMAN RIGHT. Sementara kalau keturunan MANUSH membunuh bangsa bukan keturunan MANUSH, yaitu membunuh bangsa kulit berwarna tidak dianggap pelanggaran Human Right,” kata Sufi Sudrun menjelaskan,”Faktanya yang berlaku sampai saat ini adalah aturan itu, pak doktor.”
Semua menahan nafas sewaktu Sufi Sudrun menampilkan slide-slide dokumenter terkait pembunuhan dalam bentuk pembantaian massal, penjagalan, massacre, holocaust, ethnic cleansing yang dilakukan ras kulit putih keturunan Manush terhadap ras kulit berwarna di Afrika, Asia, Australia, Amerika, bahkan di Eropa sendiri saat pembersihan etnis Yahudi selama Perang Dunia II.
"Nah yang ini," kata Sufi Sudrun menunjuk ke layar yang disorot LCD player, "Itu kebiadaban Kapten Raymond Westerling yang membantai 40.000 orang penduduk sipil Sulawesi Selatan. Belanda cuma bilang "maaf ya bro, Westerling itu bukan tentara KL maupun KNIL. Jadi tindakan brutalnya bukan tanggung jawab pemerintah Belanda.. he he he."
Oleh: K Ng H Agus Sunyoto - Facebook Lesbumi
Dalam Sarasehan Selasa Pagi yang bertema ‘Indonesia di tengah arus globalisasi’ dengan narasumber Prof Nafaq al-Bahluli, Ph.D, seorang pakar sejarah sosial lulusan universitas ternama di Amerika. Seperti lazimnya doktor lulusan luar negeri, Prof Nafaq al-Bahluli memiliki pandangan miring bersifat stigmatis terhadap orang-orang Indonesia yang dikenal sebagai pribumi pemalas, dengan etos kerja rendah, lebih suka menggunakan perasaan daripada akal, suka pamer, pemikirannya diliputi takhayul, suka berangan-angan, kurang memiliki kemampuan untuk bersaing, dan kurang cerdas alias agak sedikit bodoh. Itu sebabnya, menurut Prof Nafaq al-Bahluli, di era global – terutama saat memasuki MEA -- orang-orang Indonesia hanya berkedudukan sebagai konsumen karena tidak mampu memproduksi komoditas apalagi mendistribusikannya.
Untuk menunjukkan bukti ketidak-mampuan orang-orang Indonesia bersaing di era global, Prof Nafaq al-Bahluli memaparkan kemajuan bangsa Eropa di bidang IPTEK yang jauh tidak terkejar. Dikatakan tidak terkejar karena di Eropa IPTEK lahir dan berkembang, sedang Indonesia hanya meniru-niru saja. Fakta menunjuk, pengaruh IPTEK Eropa di Indonesia adalah IPTEK rendahan yang tampak pada sejumlah istilah teknologi Belanda dalam bahasa Indonesia seperti: Kusir (koetsir), sopir (chauffeur), cek (check), sekop (schoppen), sepur (spoor), spon (spons), slot, grendel, engsel, radio, lampu, gelas, delman, hotel, jodium, kantoor, bank. Pos (post), bromfiets, bom, buku (boek), dok, bioskop (bioscoop), plafon, klompen, dll. “Kalau bikin alas kaki yang disebut klompen saja meniru Belanda, apa yang bisa dibikin oleh bangsa ini?”, kata Prof Nafaq al-Bahluli dengan nada mengejek lalu melanjutkan, ”Bagaimana bisa menyaingi USA, Jepang, Cina, Jerman, Perancis, inggris, bahkan Thailand dan Vietnam kalau bikin peniti saja tidak bisa. Peniti saja impor dari Cina.”
Pada saat sesi dialog dibuka Dullah yang tersinggung mencecar Prof Nafaq al-Bahluli dengan memaparkan bukti-bukti kemampuan orang-orang Indonesia memproduksi komoditas yang bisa bersaing di tengah perdagangan global seperti sepeda motor, mobil, televisi, radio, kulkas, pesawat terbang, dll. “Apakah Anda mengingkari fakta bahwa bangsa kita sudah mampu memproduksi mobil Kijang, motor Revo, pesawat Tetuko CN-120, TV Sony, radio Telesonic, kulkas Sharp?”, kata Dullah.
“Itu bukan masuk prestasi yang berkaitan dengan kemampuan anak bangsa Indonesia di bidang teknologi,” kata Prof Nafaq al-Bahluli meremehkan.
“Apa Anda mengingkari fakta?” sergah Dullah dengan nada tinggi.
“Tidak ada yang mengingkari fakta,” sahut Prof Nafaq al-Bahluli,”Sebab mobil Kijang yang Anda maksud itu sejatinya adalah mobil Toyota bikinan Jepang. Mobil Kijang diproduksi di Indonesia untuk alasan pemasaran belaka. Jadi, hanya nama saja yang Indonesia: Kijang. Sejatinya itu produk Jepang. Motor Revo, Astrea, Supra, King, Vario sejatinya adalah motor Honda bikinan Jepang yang meluaskan produksi dengan membangun pabrik di Indonesia. Begitu juga dengan produk radio, televisi, kulkas, kipas angin adalah bikinan Jepang yang meluaskan pasar dengan memproduksi di Indonesia. Pesawat pun, itu mencontoh Cassa Spanyol. Bahkan pabriknya sudah bangkrut.”
Dullah diam. Semua peserta sarasehan diam menarik nafas berat atas fakta-fakta yang disodorkan Prof Nafaq al-Bahluli terkait kebodohan dan kemalasan orang-orang Indonesia. Prof Nafaq al-Bahluli sendiri memandangi hadirin sambil senyum-senyum mengejek.
Tanpa terduga, tiba-tiba Sufi Sudrun bertanya, ”Saya mau tanya soal teknologi meriam alias kanon, prof, boleh tidak?”
“Oo silahkan, boleh saja,” sahut Prof Nafaq mengerutkan kening.
“Siapa yang mengembangkan teknologi meriam pertama kali?” tanya Sufi Sudrun.
“Sebagaimana kita ketahui dari sejarah, teknologi pembuatan meriam dikembangkan bangsa Eropa pada abad ke-15. Karena itu, orang-orang Indonesia selalu kalah bertempur melawan Belanda karena tidak punya meriam. Mana mungkin meriam dan senapan dilawan tombak, keris, pedang, panah, kelewang?”, jawab Prof Nafaq al-Bahluli menjelaskan.
“Ah rupanya pengetahuan sejarah Anda belum lengkap, prof,” tukas Sufi Sudrun tegas.
“Belum lengkap bagaimana?”, sergah Prof Nafaq,”Apa maksudnya?”
“Anda harus membaca lebih detail sejarah perjalanan Vasco da Gama dari Eropa ke India.”
“Mmm, bukankah dia masuk ke Calicut di India tahun 1498?”
“Itu benar, tapi yang saya maksud bagaimana sambutan Samutiru, penguasa Calicut terhadap kehadiran Vasco da Gama waktu itu?”, tanya Sufi Sudrun.
“Kalau tidak salah, Vasco da Gama disambut dengan salvo tembakan bedhil ke udara.”
“Berarti saat Portugis pertama datang ke India, penduduk India sudah menggunakan bedhil, benar begitu kan?” kata Sufi Sudrun dengan nada tanya.
“Hmm, kayaknya begitu.”
“Tahun 1511, 13 tahun pasca kedatangan Vasco da Gama, Alfonso d’Abuquerque membawa kapal-kapal akan menyerang Malaka karena Sultan Malaka telah menawan anak buahnya yang dipimpin Diego de Coelho. Lewat kurir, Diego de Coelho mengirim surat kepada Alfonso d’Albuquerque, memperingatkan agar pimpinannya itu tidak gegabah menyerang Malaka. Apakah kira-kira alasan Diego de Coelho meminta pimpinannya itu agar tidak gegabah?” tanya Sufi Sudrun.
“Kalau tidak salah Diego de Coelho memperingatkan d’Albuquerque tentang meriam-meriam ukuran besar yang melindungi bandar Malaka,” kata Prof Nafaq al-Bahluli.
“Menurut Diego de Coelho, darimana meriam-meriam itu didatangkan?”
“Dari Jawa.”
“Berarti dari Demak, bukan?” tanya Sufi Sudrun.
“Kayaknya begitu pak.”
“Dalam sastra akhir Majapahit berjudul Kidung Panji Wijayakrama disebutkan keberadaan alat perang yang disebut BEDHIL dan BEDHIL BESAR serta istilah JURU MUDI NING BEDHIL BESAR. Apa kira-kira makna alat-alat perang itu?” kata Sufi Sudrun dengan suara ditekan.
“Eee kalau tidak salah BEDHIL adalah Senapan dan BEDHIL BESAR adalah Meriam, sedang JURU MUDI NING BEDHIL BESAR adalah operator Meriam,” sahut Prof Nafaq al-Bahluli.
“Berarti jauh sebelum Portugis datang ke India tahun 1498, orang Majapahit akhir dan kemudian dilanjutkan Demak sudah memproduksi BEDHIL dan BEDHIL BESAR yang diperdagangkan sampai ke Malaka. Bukankah seperti itu kesimpulannya, prof?”, kata Sufi Sudrun.
Prof Nafaq al-Bahluli diam. “Bagaimana sampeyan dan para sejarawan didikan sekolah menetapkan fakta palsu bahwa senapan dan meriam itu yang memperkenalkan bangsa Eropa? Tidakkah itu mengingkari bahwa penemu mesiu adalah Cina? Bukankah meriam pertama kali digunakan oleh Jenghiz Khan pada pertengahan abad ke-13? Bukankah Majapahit yang letaknya lebih dekat dengan Cina dengan cepat melakukan alih teknologi dibanding Eropa yang sangat jauh dari Cina?” tanya Sufi Sudrun berantai.
Prof Nafaq al-Bahluli termangu-mangu bingung. “Kalau pada abad ke-15 orang Majapahit dan Demak sudah mampu memproduksi senapan dan meriam,” kata Sufi Sudrun dengan nada tinggi, ”Dari aspek mana sampeyan menyimpulkan Bangsa Indonesia adalah bangsa goblok, pemalas, emosional, tidak mampu membuat karya apa-apa kecuali menjadi konsumen pengguna produk bangsa Barat? Bukankah yang sampeyan sebut itu lebih tepat dialamatkan kepada bangsa Indonesia zaman ini yang dididik di sekolah, yaitu lembaga pendidikan Barat yang secara sistematis membodohkan peserta didiknya?”
Pemikiran Pasca Hegemony VII: Menggali Mutiara Keunggulan Bangsa di Bawah Jejak Reruntuhan Kolonialisme Barat
Oleh: K Ng H Agus Sunyoto - Facebook Lesbumi
Tidak terima dengan pandangan Sufi Sudrun yang menyatakan lembaga pendidikan Barat secara sistematis membodohkan peserta didiknya, yang bermakna orang bersekolah menjadi tambah bodoh, Prof Nafaq al-Bahluli, Ph.D, minta dilakukan dialog terbuka pada Rabu pagi bakdal Subuh dengan tema 'Pendidikan Sekolah, Mencerdaskan Atau Membodohkan Manusia?'. Dengan ciri khas akademisi yang ‘mahatahu’, ‘mahabenar’, ‘mahajenius’, ‘mahakuasa’ yang tidak terkalahkan, yang berdiri di atas permadani ketidak-bersalahan Prof Nafaq al-Bahluli, Ph.D, memaparkan bagaimana sistem persekolahan (schooling system) telah membuka cakrawala baru bagi bangsa Indonesia. “Andaikata tidak ada sekolah, bangsa kita pasti masih merayap di tanah dan bergelantungan di pohon atau paling tidak sangat-sangat primitive seperti terlihat pada film documenter ini!” kata Prof Nafaq al-Bahluli, Ph.D menunjuk layar LCD Player yang memutar film dokumenter berjudul Moeder Dao.
Sufi Sudrun bertepuk tangan sambil berkomentar, ”Itu rangkaian film yang dibuat antara tahun 1913 sampai 1930. Itu jadi bukti kolonial betapa primitif dan tololnya inlander Hindia Belanda yang tidak sekolah.”
Prof Nafaq al-Bahluli, Ph.D, tersenyum. Sekejap kemudian berkata lantang, ”Asal tahu, tahun 1909 tercatat dalam data orang Indonesia yang melek huruf baru 1%. Sedang yang 99% buta huruf. Padahal, tahun 1908 dinyatakan sebagai Kebangkitan Nasional. Siapa yang bangkit? Rakyat buta huruf yang 99% itu?”
“Interupsi professor!” sahut Sufi Sudrun menyela, ”Darimana angka 1% melek huruf dan 99% buta huruf itu Anda peroleh?”
“Hasil sensus!”
“Hasil sensus?” tukas Sufi Sudrun menekan tinggi suara, ”Apakah 99% yang buta huruf dari penduduk Indonesia saat itu termasuk di dalamnya para kyai, santri, haji, dan warga lulusan pesantren yang melek huruf Arab dan melek huruf pegon serta melek huruf Jawa? Apakah mereka yang bisa baca dan tulis al-Qur’an disensus sebagai warga buta huruf?”
“Maksud saya, buta huruf latin.”
“Wahaha, kalau buta huruf latin, itu memang disengaja oleh golongan santri karena mereka tidak sudi belajar membaca tulisan penjajah. Jadi kalau bikin statemen harus jelas. Penduduk yang 1% itu, melek huruf latin. Yang 99% melek huruf Jawa, huruf pegon, huruf Arab, huruf Sunda, huruf Bali, huruf Bugis-Makassar, huruf Mandailing, dan lain-lain. Oke, lanjutkan!” kata Sufi Sudrun mempersilahkan.
Prof Nafaq al-Bahluli, Ph.D memaparkan bagaimana pendidikan sekolah telah mencetak berpuluh ribu sarjana, insinyur, magister, doctor, dan professor yang menjadikan Indonesia sebagai Negara maju dan terpandang di dunia. Andaikata tidak ada sekolah, ungkap Prof Nafaq al-Bahluli, dapat dibayangkan Negara Indonesia akan tetap menjadi Negara terjajah karena penduduknya bodoh, buta huruf, terbelakang, primitif, tidak modern, tidak mengenal ilmu pengetahuan dan teknologi. “Siapa bilang pendidikan sekolah membodohkan manusia?” kata Prof Nafaq al-Bahluli, Ph.D menyindir, ”Sungguh, tanpa pendidikan sekolah bangsa ini tidak pernah mencapai dunia modern seperti sekarang ini. Tanpa sekolah, orang di negeri ini hanya memakai sarung, baju takwa, kopiah, bakiak, dengan alas tikar, lampu minyak, dan kitab-kitab kuno dari abad pertengahan.”
“Apakah tanpa sekolah negeri ini akan primitive, tidak modern?” tanya Sufi Sudrun.
“Silahkan dilihat film Muder Dao itu sebagai bukti!” sahut Prof Nafaq al-Bahluli sinis.
“Menurut professor, mulai kapan bangsa pribumi Hindia Belanda ini mengenal sekolah?”
“Tentu saja semenjak diterapkannya Etische Politiek!”
“Tahun berapa itu prof?”
“Tahun 1901!”
“Ooo begitu ya,” Sufi Sudrun manggut-manggut, ”Berarti sebelum tahun 1901 bangsa Indonesia ini primitif, bodoh, buta huruf, terbelakang, biadab, tidak berbudaya, tidak mengenal ilmu pengetahuan, dan teknologi karena tidak sekolah. Begitukah Prof?”
Prof Nafaq al-Bahluli Ph.D diam seperti ragu-ragu untuk menjawab.
“Professor pernah baca catatan Wan Zen, pegawai di pelabuhan Sanghai pada abad ke-3 Masehi tentang kapal-kapal Kun Lun yang datang dari selatan yang memiliki ukuran 200 kaki (70 meter), tinggi geladak dari permukaan laut 30 kaki (10 meter), yang dimuati 700 penumpang dan mengangkut barang seberat 10.000 houw?” Prof Nafaq al-Bahluli, Ph.D menggeleng.
“Professor pernah membaca perjalanan I Tsing ke India pada abad ke-5 Masehi yang menggunakan kapal berukuran sangat besar seperti yang dicatat Wan Zen, yaitu panjang 200 kaki dan dinaiki 700 orang?” tanya Sufi Sudrun.
“Perjalanan I Tsing saya pernah baca. Saat kapalnya terdampar di Jawa. I Tsing memesan kapal dengan ukuran yang sama, yang selesai dalam waktu lima bulan. Memangnya kenapa?” kata Prof Nafaq al-Bahluli, Ph.D heran.
“Menurut professor, kapal yang dibuat orang Jawa pada masa I Tsing abad ke-5 yang juga sudah dicatat Wan Zen abad ke-3 Masehi itu, apakah dibuat orang berpendidikan sekolah? Ilmu pengetahuan dan teknologi dari sekolahkah yang digunakan orang-orang Nusantara pada masa itu?” tanya Sufi Sudrun.
Prof Nafaq al-Bahluli, Ph.D terdiam.
“Maaf prof,” kata Sufi Sudrun minta penjelasan, ”Pernahkah professor membaca catatan Portugis tentang kapal-kapal Jawa yang membawa beras untuk diperdagangkan ke India pada dasawarsa 1510 Masehi?”
“Tentu pernah.”
“Menurut catatan Portugis, berapa kira-kira ukuran kapal beras waktu itu?”
“Sekitar 800 ton.”
“Hmm kapal kayu dengan berat 800 ton?” Sufi Sudrun manggut-manggut, ”Berarti lima kali lebih besar dari kapal Portugis.”
Prof Nafaq al-Bahluli, Ph.D diam.
“Saya pikir professor sudah membaca kenapa kapal-kapal ukuran raksasa itu tiba-tiba menghilang dan tidak lagi berkembang?” kata Sufi Sudrun dengan nada tanya.
“Ya kapal-kapal raksasa itu sangat lamban sehingga sering dirampok Portugis. Berasnya dirampas untuk membayar upah prajuritnya,” kata Prof Nafaq al-Bahluli, Ph.D, “Lalu orang-orang Jawa membuat kapal yang lebih kecil agar dapat menghindar dan lari dari kejaran kapal Portugis yang menghadang.”
“Berarti orang-orang Indonesia yang tidak kenal pendidikan sekolah sudah memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi, ya prof?” kata Sufi Sudrun menyindir.
Prof Nafaq al-Bahluli, Ph.D diam menarik nafas berat. Sufi Sudrun melanjutkan pembicaraan menyangkut pengetahuan orang-orang Indonesia kuno yang di abad pertama Masehi sudah menciptakan sistem kalender surya sengkala (syamsiyyah) dan rembulan (candra sengkala) yang dikembangkan dan digunakan hingga saat sekarang ini. “Jika tahun 78 Masehi bangsa ini sudah memiliki kalender, apakah para sarjana, magister, doctor, professor didikan sekolah ada yang mampu membuat sistem kalender baru khas Nusantara?”
Prof Nafaq al-Bahluli, Ph.D diam tak menjawab.
Sejak abad ke-4 Masehi, ungkap Sufi Sudrun, orang Nusantara sudah mengenal aksara meski meminjam aksara Pallawa yang dilanjut aksara Dewanagari. Namun sejak abad ke-8 sudah tercipta aksara Jawa Kuno yang digunakan menulis prasasti-prasasti dan kitab-kitab. Setelah itu tercipta aksara Bali, Sunda, Batak, Bugis-Makassar, Lampung, aksara Jawi atau Pegon. “Apakah para sarjana, magister, doctor, professor didikan sekolah ada yang mampu menciptakan aksara khas Nusantara?” kata Sufi Sudrun dengan nada tanya.
Prof Nafaq al-Bahluli, Ph.D termangu-mangu dengan dada naik turun.
Pertengahan abad ke-7, Sufi Sudrun memaparkan, KUHP pertama Nusantara yang disebut Kalingga Dharmasashtra diterapkan. Pada masa Wisynuwarddhana di paruh pertama abad ke-13 KUHP Kalingga disempurnakan dengan nama baru Purwadigama Dharmasashtra. Pada paruh pertama abad ke-14 Gajah Mada menyempurnakan Purwadigama menjadi Kutara Manawa Dharmasashtra. Di jaman Demak dibuat KUHP Angger Suryangalam. Di era Pajang dibuat KUHP Jugul Muda. Di era Mataram terdapat KUHP Angger Gunung, Angger Arubiru, Angger Pradata Dalem, dan lain-lain. Di era kolonial, penjajah Belanda membuatkan KUHP untuk pribumi inlander yang disebut HIR. “Nah di era kemerdekaan hingga sekarang ini, adakah sarjana, magister, doctor, professor didikan sekolah yang mampu mencipta KUHP Nusantara?” kata Sufi Sudrun bertubi-tubi.
Prof Nafaq al-Bahluli diam kelihatan tertekan. Sufi Sudrun tak sampai hati meneruskan pandangannya yang membongkar fakta keunggulan bangsa Indonesia sebelum mengenal pendidikan sekolah. Sufi Sudrun hanya menjelaskan bahwa semenjak mengenal pendidikan sekolah, bangsa Indonesia malah merosot dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan sekolah terbukti belum mampu melahirkan seorang ilmuwan unggul yang memberikan sumbangan pengetahuan dan teknologi kepada bangsanya. Orang-orang didikan sekolah hanya mampu memposisikan diri sebagai “agen penyalur” ilmu pengetahuan dan teknologi Barat. “Jadi saya tidak merendahkan, melainkan mengungkapkan fakta betapa sejak belajar di sekolah bangsa kita tidak mampu melahirkan ilmuwan-ilmuwan seperti leluhur kita di masa lalu, sebaliknya hanya saling pamer gelar akademik, dengan kedudukan sebagai bangsa konsumen yang mengkonsumsi ilmu-ilmu dan teknologi Barat.”
Pemikiran Pasca Hegemony VIII: Menggugat Stigma Bangsa Kuli Ciptaan Kolonial
Oleh: K Ng H Agus Sunyoto - Facebook Lesbumi
Dalam Kajian Selasa malam yang mengambil tema “Bangsa Kuli dan Kuli Bangsa-bangsa’ yang dihadiri aktivis buruh , migrant care, mahasiswa, para santri, dan para sufi, semua yang hadir merasakan sesak nafas dan panas matanya mendengar uraian Ahmad Ali Fujiwara, seorang sosiolog yang sangat piawai memaparkan fakta seputar penyebaran bangsa Indonesia sebagai buruh migran di berbagai negara di seluruh dunia. Tidak ada negara di dunia yang tidak didatangi orang Indonesia, baik negara dalam keadaan damai maupun dalam konflik peperangan. Seperti tidak perduli dengan keselamatan diri, orang-orang Indonesia berduyun-duyun mencari pekerjaan di berbagai belahan bumi sebagai buruh, kuli, kacung, jongos, babu, sopir, tukang, pelayan, kernet, dan bahkan pelacur.
Data statistik yang digunakan Ahmad Ali Fujiwara yang menunjuk betapa besarnya jumlah tenaga kerja Indonesia berstatus buruh, kuli, pelayan, kacung, jongos, babu, kernet, sopir ternyata dibenarkan oleh Hermanto, aktivis Migrant Care. Yang membuat dada peserta makin sesak sewaktu Ahmad Ali Fujiwara membuat simpulan bahwa di era global ini tidak bisa lagi ditutupi bahwa bangsa Indonesia sudah layak menyandang status bangsa kuli dan kuli dari bangsa-bangsa , di mana negara Indonesia pun menjadi negara pengekspor kuli terbesar di dunia.
Yang lebih mengejutkan dari simpulan Ahmad Ali Fujiwara tentang status kuli yang disandang bangsa Indonesia bukanlah sekedar status sosial yang sewaktu-waktu bisa berubah jika terjadi perubahan sosial dan perubahan kebijakan pemerintah, melainkan status kuli itu sudah permanen menghunjam ke dalam alam bawah sadar masyarakat yang bersimbiosis menjadi bagian dari habitus dan bahkan arketip yang membentuk struktur mental dan kerangka berpikir orang Indonesia dalam mencitrakan diri mereka. Maksudnya, masyarakat Indonesia tanpa sadar memiliki kecenderungan psikologis untuk mengidentikkan sebutan kuli, buruh, kacung, jongos, babu, tukang, pelayan dengan diri mereka. “Jika mentalitas kuli itu dibiarkan terus-menerus, maka dua-tiga generasi ke depan dari bangsa ini akan benar-benar menjadi bangsa kuli dan kuli dari bangsa-bangsa. Itu artinya, bangsa Indonesia di masa depan akan hidup dan mati dalam kedudukan tidak terhormat, yaitu hidup dan mati dengan status kuli, kacung, jongos, sopir, babu, pelayan, dan bahkan budak bangsa lain,” kata Ahmad Ali Fujiwara tegas.
Semua hadirin diam. Masing-masing menarik nafas berat. Mereka faham bahwa semua yang dikemukakan Ahmad Ali Fujiwara adalah benar.
Pada saat suasana hening tetapi diliputi ketegangan, tiba-tiba Sufi Kenthir bertanya,”Pak Fujiwara, kalau boleh tahu apakah mentalitas kuli, buruh, kacung, jongos, babu, pelayan yang melekat pada jiwa bangsa saya ini merupakan naluri bawaan?”
“Secara teoritik tidak ada komunitas bangsa yang lahir dengan naluri budak,” sahut Ahmad Ali Fujiwara tegas.
“Berarti ada proses sejarah yang membuat sebuah bangsa bermental budak?”
“Itu sudah pasti.”
“Kalau begitu, sejak kapan bangsa saya ini bermental kuli, jongos, kacung, babu, pelayan?” tukas Sufi Kenthir bernada tanya.
“Itu yang saya tidak tahu karena saya bukan sejarawan,” kata Ahmad Ali fujiwara mengelak, ”Adakah di antara bapak-bapak yang mengetahui sejak kapan bangsa Indonesia menjadi bangsa bermental kuli, jongos, kacung, babu, pelayan?”
Guru Sufi yang duduk di pojok tiba-tiba menyatakan bahwa ia baru siang tadi membincang sejarah kolonialisme di Indonesia bersama Pak Marquechaeu, sejarawan asal Perancis yang ternyata ikut hadir dalam kajian itu. Tanpa terduga, tiba-tiba Guru Sufi mengemukakan kasus Prasasti Wurudu Kidul yang bertarikh 922 Masehi. “Saya mohon agar Pak Marquechaeu berkenan menceritakan sedikit tentang isi prassasti Wurudu Kidul kepada saudara-saudara kita, agar semua faham bagaimana kedudukan bangsa kami di masa lalu,” kata Guru Sufi.
Tanpa menunggu waktu Pak Marquechaeu menguraikan isi prasasti Wurudu Kidul yang memaparkan sebuah kasus hukum bagaimana seorang warga Wurudu Kidul di wilayah Halaran yang bernama Sang Dhanadi mendapatkan Surat Jayapatra dari Samgat i Padang Pu Bhadra, Samgat Lucem Pu Ananta, Tuan i Kanayakan Pu Suming dan Juru Lamparan Rake Rangga. Dengan diperolehnya Surat Jayapatra dari hakim dan pejabat negara kependudukan, maka status Sang Dhanadi menjadi sama dan sederajat dengan penduduk setempat yang lain, yaitu sebagai Wong Yukti yaitu manusia Agung, Mulia, Terhormat dan Dihormati.
Sebelumnya Sang Dhanadi dicurigai sebagai warga keturunan Weka Kilalan (orang asing) karena bentuk fisiknya yang berbeda dengan penduduk setempat. Itu sebabnya, Sang Dhanadi diperiksa di pengadilan mengenai statusnya apakah keturunan Weka Kilalan (orang asing) yang status kedudukannya rendah ataukah keturuna n Wong Yukti (pribumi) yang kedudukannya mulia. Lalu atas kesaksian warga dari Desa Berih, Kahuripan dan Panglaran yang bersumpah bahwa Sang Dhanadi adalah keturunan pribumi asli mulai buyut, kakek dan neneknya. “Begitulah Sang Dhanadi memperoleh Surat Jayapatra dari pengadilan yang menguatkan bahwa ia adalah orang pribumi dan sekali-kali bukan keturunan Weka Kilalan sebagaimana diduga sebelumnya,”kata Pak Marquechaeu menjelaskan.
“Mohon tanya Pak Marquechaeu,” sahut Dullah penasaran.
“Silahkan, “ kata Pak Marquechaeu.
“Apakah yang dimaksud Wong Yukti, dan apa pula yang dimaksud Wong Kilalan?”
“Wong Yukti maknanya dalam bahasa Jawa Kuno adalah manusia agung, mulia, terhormat dan dihormati. Kedudukan Wong Yukti diberikan kepada seluruh penduduk pribumi asli. Sementara Wong Kilalan maknanya pelayan, pembantu, jongos, kacung, kuli, manusia berderajat rendah. Kedudukan Wong Kilalan diberikan kepada semua penduduk asing dan keturunannya,” kata Pak Marquechaeu menjelaskan.
“Jadi waktu itu pribumi kedudukannya lebih tinggi dari orang asing?” tanya Dullah.
“Ya aturannya seperti itu,” sahut Pak Marquechaeu dengan suara lantang,”Bahkan karena kedudukan sebagai Wong Yukti itulah seluruh penduduk pribumi asli diharamkan bekerja menjadi pelayan, kacung, jongos, babu.”
“Kalau pribumi dilarang menjadi pelayan, kuli, jongos, buruh, kacung, babu, lalu siapa yang bekerja sebagai pembantu pak?” sergah Dullah terheran-heran.
“Yang bekerja menjadi pelayan, jongos, kacung, babu, kuli kepada penduduk pribumi adalah Wong Kilalan, yaitu orang-orang asing,” kata Pak Marquechaeu.
“Aha kayak gak masuk akal,” seru Dullah geleng-geleng kepala,”Bagaimana mungkin pribumi punya pelayan orang asing...”
“Tapi faktanya aturan zaman itu memang seperti itu pak,” sahut Pak Marquechaeu menjelaskan,”Bahkan penduduk pribumi yang kedapatan bekerja menjadi pelayan, pembantu, jongos, kacung, tanpa ampun akan dijatuhi hukuman berat oleh raja.”
“Siapa sajakah orang asing yang digolongkan Weka Kilalan?”
“Ya semua orang asing, misal seperti wong Kmir (Khmer), wong Kling (India Keling), wong Pegu (Burma-Thai), wong Jenggi (Negro Afrika), wong Cina, wong Atas Angin (Arab-Yamani), wong Ngerum (Persia), ” kata Pak Marquechaeu.
“Mohon tanya pak,” kata Sufi Kenthir menyela,”Prasasti Wurudu Kidul itu bertahun 922 Masehi, berarti zaman Mataram Kuno. Apakah aturan kependudukan itu masih berlaku sampai zaman Majapahit?”
“Oo pada era Majapahit kedudukan wong Kilalan lebih tegas lagi karena dilandasi undang-undang yang menetapkan kedudukan wong Kilalan (orang asing) ke dalam status Mleccha, yaitu status sosial penduduk dua tingkat di bawah golongan sudra,” kata Pak Marquechaeu.
“Lalu sejak kapan mentalitas kuli, kacung, jongos, babu, pelayan itu menjadi keniscayaan dalam kehidupan sebangsa saya?” tanya Dullah penasaran.
“Benih-benihnya sudah ditebar sejak era Mataram akhir pasca Perjanjian Gianti, tetapi secara sistematis dan terprogram dimulai sejak tahun 1848, yaitu saat Burgerlijk Wetboek ditetapkan sebagai peraturan kependudukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda,” tegas Pak Marquechaeu menegaskan.
“Lho apa tidak ada perlawanan dari penduduk pak?”
“Ya pasti ada, terutama dari kalangan pesantren dan penganut tarikat yang secara tradisi mewarisi nilai-nilai masyarakat Nusantara. Itu sebabnya, sepanjang waktu antara tahun 1800 hingga 1900 terjadi pemberontakan di kalangan pesantren dan tarikat sebanyak 112 kali, terutama setelah tahun 1848.”
“Walah, berarti setahun bisa dua kali berontak.”
“Itu data dokumenter yang tersimpan dalam colonial archive.”
“Oo saya faham pak, kenapa tahun 1892 kurikulum sekolah diseragamkan secara nasional dan digencarkan dalam Etische Politiek, di mana anak-anak pribumi diharuskan sekolah di Volks School, Tweede School, Vervolk School, HIS, Kweek School, MULO, AMS, HBS, STOVIA, THS, NIAS, dan aneka sekolah Belanda. Rupanya itu program sistematis kolonialisme untuk menundukkan perlawanan penduduk pribumi, dengan cara merendahkan mereka di bidang pendidikan,” kata Sufi Kenthir.
“Tepat sekali,” sahut Pak Marquechaeu,”Tatanan sosial yang menempatkan Belanda kulit putih sebagai warga negara kelas satu, Timur Asing (Cina-Arab-India) sebagai warganegara kelas dua, dan Inlander (pribumi) sebagai warganegara paling rendah disosialisasikan lewat sistem persekolahan (schooling system).”
“Dan para kyai yang melawan usaha sistematis itu dengan politik tasabuh yang menolak sekolah dan menolak meniru gaya hidup Belanda dituduh sebagai kalangan tradisional yang primitif dan terbelakang yang fanatik,” kata Sufi Kenthir menyimpulkan.
“Hmm, sekolah..,” gumam Dullah,”Rupanya itu proyek kolonialisasi bertopeng etis dan modernisasi dengan tujuan utama penundukan bangsa terjajah lewat hegemoni pikiran. Ya ya, sejak bersekolah itulah bangsa kita tanpa sadar mengikuti dengan patuh aturan kependudukan yang diskriminatif merendahkan pribumi.”
“Bahkan untuk menguatkan stratifikasi social yang memposisikan pribumi sebagai warga kelas rendah,” kata Pak Marquechaeu dengan suara tinggi,”Pemerintah Kolonial Hindia Belanda membikinkan KUHP khusus untuk pribumi yang disebut HIR. Pelaksanaan hukum pun didiskriminasi. Jika warga kulit putih dan warga Timur Asing melakukan pelanggaran hukum akan diadili di Raad van Justitie, maka pribumi yang melanggar diadili di Landraad!”
“Ah begitu ya,” sahut Sufi Kenthir menyela,”Rendahnya derajat pribumi itu ditanamkan dalam pikiran bahkan lewat lagu dan nyanyian. Hmm lagu Kacung Kampret, khas pribumi. Artinya, pekerjaan kacung belum pernah diberikan kepada Willem, Robert, Bernard, Phillip, tetapi khusus diberikan kepada Si Kampret, pribumi bodoh.”