Arkoun Mendobrak Kebekuan Pemikiran Islam

Oleh: Satrio Arismunandar

Resensi Buku karya Siti Rohmah Soekarba (2019). "Dekonstruksi dan Pemikiran Mohammed Arkoun." Depok: LSM Males Arts Studio, Pusat Dokumentasi Seni Indonesia.

Buku ini terbit pada saat yang tepat, ketika fundamentalisme dan radikalisme keagamaan muncul di kalangan masyarakat Muslim yang sebetulnya sangat beragam. Fenomena munculnya ISIS (Negara Islam di Irak dan Suriah), yang tak segan-segan melakukan kekerasan dan pembunuhan terhadap warga yang berbeda pandangan keagamaan dengannya, adalah contoh ekstrem.

Di tengah perkembangan pesat teknologi komunikasi dan informasi, serta era kecerdasan buatan, dunia Islam sendiri seolah mandek. Tidak terasa adanya pembaruan dalam pemikiran Islam, yang mampu memposisikan umat agar siap menghadapi tantangan zamannya. Karena itu perlu ada pemikiran baru yang mendobrak kejumudan tesebut.

Dengan latar belakang itulah, pemikiran Mohammed Arkoun menjadi penting. Karya-karya Arkoun adalah salah satu yang menawarkan pencerahan di tengah kegelapan. Lahir pada 1928 di Aljazair, Arkoun adalah salah satu pemikir Islam mutakhir, yang sayangnya kurang banyak dikenal di Indonesia. Hal ini mungkin karena jarak bahasa. Sebagian besar karya Arkoun ditulis dalam bahasa Prancis.

Bidang utama studi dan penelitiannya adalah bahasa dan sastra Arab, serta pemikiran Islam. Tiga acuan utama dalam karya-karyanya adalah tradisi pemikiran Islam, Islamologi Barat, dan berbagai ilmu pengetahuan Barat mutakhir.

Ide-idenya banyak dipengaruhi oleh pemikir-pemikir postmodern yang mempermasalahkan keutamaan dan kedaulatan subjek terhadap pemikiran teks. Arkoun mengembangkan pemikiran keislaman dari konsep-konsep filsafat modern.

Seperti, konsep mitos dari Paul Ricoeur, konsep wacana (discourse) dan episteme yang dikembangkan Michel Foucault, serta dekonstruksi yang dikemukakan Jacques Derrida. Arkoun juga memanfaatkan konsep-konsep semiotik yang dikembangkan Roland Barthes, A.J. Greimas, dan L. Hjemslev.

Dogmatisme Pemikiran Islam

Meskipun hampir seluruh pemikirannya dikembangkan melalui universitas Barat (Prancis), Arkoun mendambakan emansipasi umat Islam dalam konteks kemajuan seluruh umat manusia. Ia sangat prihatin melihat perkembangan pemikiran Islam dewasa ini.

Ada kebekuan, ketertutupan dan dogmatisme pemikiran Islam, yang menyuburkan tumbuhnya fundamentalisme Islam. Untuk itu, Arkoun lebih menekankan pada kebebasan pemikiran.

Menurut pandangan Arkoun, pemikiran Islam saat ini sangat inferior berhadapan dengan pemikiran Barat. Hal ini disebabkan pemahaman terhadap Islam yang bersifat dogmatis. Mereka menerima, meyakini, dan mengamalkan tradisi Islam secara taken for granted, tidak tahu apa alasannya, tanpa penelaahan kritis.

Redupnya warisan tradisi filsafat dan pemahaman terhadap Islam yang bersifat dogmatis tanpa penelaahan kritis, melahirkan banyak hal yang tak dipikirkan (l’impense) atau yang tak terpikir (l’impensable). Untuk itu, Arkoun mengemukakan pentingnya kritik metodologis atas nalar Islam dengan melalui tiga pendekatan: historis, antropologis, dan linguistis.

Menurut Arkoun, dalam masyarakat heterogen, menomorsatukan sakralitas dan normatifitas dengan menepikan historisitas dan profanitas adalah cukup menggelisahkan, untuk tidak menyebutnya sebagai bahaya. Untuk melawan dogmatisme seperti itu, ia menekankan pentingnya kritik atas penalaran Islam. Strategi ini digunakan untuk menelaah secara kritis tradisi pemikiran Islam (hlm. 3).

Arkoun berpendapat, Islam bukanlah agama yang terorganisir secara kaku dan dogmatis. Tetapi dalam perjalanam historisnya, melalui jalur kekuasaan Islam telahmenjadi dogma mati untuk kepentingan kekuasaan itu sendiri. Dari sudut sejarah, pemikiran Islam telah mandek. Pemikiran yang muncul adalah pemikiran yang terkotak-kotak, tertutup, sempit, logosentris, dan tidak terbuka.
Umat Islam harus mengakui, selama empat abad pemikiran Islam tidak berdenyut seperti pemikiran Eropa. Pemikiran Islam hanya mengulang-ulang sikap akal-relijius skolastik yang konservatif, sebagaimana yang digunakan selama Abad Pertengahan, tanpa bergeser sedikit pun dari posisi ini ke posisi modern.

Maka Arkoun mencanangkan proyek besar yang disebutnya “kritik nalar Islam” dan “pembukaan kembali pintu ijtihad.” Dalam kenyataannya, ijtihad hanyalah pemenuh tuntutan ideologis dari penguasa. Karena itu, Arkoun mengusulkan agar tugas ijtihad diperluas lagi dengan usaha kritik nalar Islam.

Pembacaan Monolitik

Berbeda dengan proyek intelektual Hassan Hanafi dengan dikotomi Islam-Barat dan Abed al-Jabiri dengan revivalisme dan rasionalisme Ibnu Rusyd, Arkoun dengan kukuh mengawinkan filsafat dan historiografi kontemporer yang lahir di Prancis dengan tradisi Islam.

Hampir satu dasawarsa sejak wafatnya Arkoun (2010), gagasannya perlu diaksentuasi dan dimaklumatkan kembali, terutama dalam konteks relasi Islam dengan dunia global saat ini. Apalagi jika kita melihat kecenderungan menguatnya kembali politik identitas, yang bersumber dari pembacaan yang monolitik terhadap khazanah Islam itu sendiri, yang sebenarnya sangat kaya dan beragam.

Ajakan Arkoun untuk menghadirkan kembali iklim wacana kenabian yang bersifat terbuka dan dinamis memang relevan bagi intelektual Muslim yang tinggal di Barat, atau akademisi yang mendalami khazanah Islam dan peduli terhadap kritik paradigma teori, yang didesakkan oleh tradisi intelektual Barat.

Namun, bagi masyarakat awam atau mereka yang tengah merasakan ketenangan dan makna hidup, melalui pemahaman Islam yang mengajarkan serba kepastian tanpa banyak diskusi, pikiran-pikiran Arkoun akan dianggap bid’ah teologis. Pemikiran umat Islam umumnya masih sangat terbatas.
Jika ada yang perlu dikritik dari buku ini, itu adalah penyuntingan yang kurang rapi. Ada beberapa salah ketik di sejumlah halaman. Tabel di halaman 69 juga tidak rapi susunannya, sehingga mengganggu pembacaan. Ini sepatutnya diperbaiki, jika buku ini (semoga) akan dicetak ulang.
Kemudian ada terjemahan Surat Al-‘Alaq di halaman 161, yang hasil terjemahannya tampaknya kurang pas atau kurang menangkap nuansa makna. Tidak dijelaskan di situ, apakah terjemahan itu dari mengutip sumber tertentu atau hasil terjemahan oleh penulis sendiri.

Namun, dengan beberapa kekurangan minor tersebut, kehadiran buku ini sangat penting dan selayaknya diapresiasi. Buku tentang pemikiran Arkoun jelas masih langka di Indonesia. Buku ini sangat layak dibaca oleh mereka yang berminat mendalami filsafat ataupun isu-isu keislaman di Indonesia. ***

Depok, Mei 2020