Oleh
Dr Zaprulkhan
Bagaimanakah mencari makna hidup dalam pentas kehidupan abad 21 yang sangat pluralistik dalam berbagai aspeknya? Bagaimana caranya kita dapat berinteraksi dengan penuh kedamaian, ketenangan, kesetaraan, penghormatan, harmoni dan kebahagiaan di tengah-tengah beragamnya perbedaan agama, keyakinan, paham, tradisi, budaya, filosofi, bangsa dan negara dalam ruang dan waktu milenium ketiga dewasa ini? Inilah benang merah yang akan dijawab oleh Tariq Ramadan dalam karya cemerlangnya tersebut.
Bagaimanakah mencari makna hidup dalam pentas kehidupan abad 21 yang sangat pluralistik dalam berbagai aspeknya? Bagaimana caranya kita dapat berinteraksi dengan penuh kedamaian, ketenangan, kesetaraan, penghormatan, harmoni dan kebahagiaan di tengah-tengah beragamnya perbedaan agama, keyakinan, paham, tradisi, budaya, filosofi, bangsa dan negara dalam ruang dan waktu milenium ketiga dewasa ini? Inilah benang merah yang akan dijawab oleh Tariq Ramadan dalam karya cemerlangnya tersebut.
Dalam
pendahuluannya, Tariq Ramadaan mengajukan sebuah tesis dengan
metafora sebuah jendela: We all observe the world through our own
windows. “Kita semua mengamati dunia melalui jendela milik kita
masing-masing.” Jendela merupakan metafora dari sebuah sudut
pandang, sebuah kerangka kerja, atau sebuah kaca mata yang selalu
mewarnai penglihatan kita sekaligus memiliki orientasi dan
keterbatasan dalam mencandra realitas secara holistik-komprehensif.
Dengan
kesadaran ini, kita harus mengakui dengan rendah hati bahwa yang kita
miliki tidak lebih dari sebuah point of view, suatu sudut
pandang yang membentuk ide-ide, persepsi dan imajinasi kita terhadap
fenomena kehidupan dunia yang plural. Di sini, kita mesti mengakui
keterbatasan sudut pandang kita dalam memotret realitas yang
kompleks.
Meskipun
demikian, kita jangan larut dalam relativitas sudut pandang kita dan
meragukan segala sesuatu yang kita tangkap. Kesadaran bahwa kita
memiliki sudut pandang yang terbatas justru mengajak kita memiliki
rasa ingin tahu yang sehat, enerjik dan kreatif tentang jumlah sudut
pandang yang tak terbatas banyaknya yang juga dimiliki orang lain
dalam memandang dunia yang sama. Kita harus menyadari bahwa ada
begitu banyak orang yang memandang realitas kompleks yang sama
melalui jendela mereka masing-masing.
Selain
itu, Tariq Ramadan juga mengajak kita menyelami samudera kebenaran
hakiki melalui jendela (perspektif) kita masing-masing. Kita harus
siap berlayar mengarungi ke tengah-tengah lautan dan menyadari bahwa
lautan eksis karena ada begitu banyak pantai di sekelilingnya.
Kehadiran pantai yang sangat banyak jumlahnya itulah yang menjadikan
satu lautan, satu samudera. Ketika kita mencandra kebenaran dengan
perspektif yang kita miliki, kita perlu menyadari bahwa ada begitu
banyak perspektif yang dimiliki orang lain yang juga sedang mencandra
kebenaran yang sama.
Setiap
kita hanya mencandra kebenaran dengan perspektif kita yang terbatas.
Begitu pula pihak lain menangkap kebenaran dari perspektif mereka
masing-masing yang memiliki keterbatasan. Meskipun tatkala kita
tenggelam di tengah-tengah lautan, kita tidak melihat pantai; sejauh
mata memandang, kita hanya menyaksikan sebuah lautan yang tak
bertepi, tapi bersama kesadaran dan kerendahan hati, kita perlu
mengakui bahwa ada begitu banyak pantai pada setiap horizon pandangan
yang kita saksikan.
Hakikat
kebenaran (luasnya lautan) terlalu akbar untuk dibatasi dengan satu
perspektif (satu pantai) semata. Oleh sebab itu, dalam mengarungi
samudera kebenaran yang maha luas tersebut, kita mesti menyiapkan
sikap rendah hati sebagai kapal kehidupan kita.
Dalam karya brilian tersebut, Tariq Ramadan membahas berbagai topik, seperti pencarian makna hidup, konsep tentang sesuatu yang universal, iman dan nalar, persaudaraan dan kesetaraan, kebebasan dan pendidikan, respek dan toleransi, tradisi dan modernitas, peradaban, cinta, pengampunan, spiritualitas dan lain-lain. Izinkan saya memotret sekilas beberapa topik yang menjadi core karya tersebut.
Pencarian
Makna Hidup
Dalam
pandangan Tariq Ramadan, kendati setiap kita mencandra kompleksitas
kehidupan yang bersifat plural dan hakikat kebenaran dengan
keterbatasan perspektif kita masing-masing, namun setiap kita
memiliki satu kesamaan: setiap kita selalu mencari makna, kebenaran,
kedamaian sekaligus kebahagiaan.
Dalam
tilikan Tariq Ramadan, setiap orang, baik kaum idealis maupun
materialis, filsuf atau saintis, orang beriman maupun ateis, selalu
mencari makna dalam kehidupan yang mereka jalani. Setiap orang yang
bersedia menelisik fenomena kehidupannya dengan lebih dalam, niscaya
akan dihantui dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial: Why life?
Why me? What is the meaning of death, suffering, love, morality and
so on?
Dengan
hadirnya pertanyaan-pertanyaan eksistensial itu, setiap orang bahkan
kaum ateis sekalipun berupaya menjawabnya agar kehidupan mereka
bermakna. Seorang filsuf ateis seperti Jean Paul Sartre yang
menegaskan kehidupan ini absurd, tetap mengakui bahwa kegelisahan
eksistensial terhadap hadirnya penderitaan dan kematian merupakan
sesuatu yang sangat sentral dalam pengalaman riil kehidupan umat
manusia. Karena itu, berhadapan dengan kegelisahan eksistensial ini,
Sartre meresponsnya dengan tegas: ‘We have to recognize it,
accept it, and transcend it’, ‘Kita harus mengenalinya,
menerimannya, dan sekaligus melampauinya.’ Dengan respons tersebut,
bagaimana pun juga Sartre tengah merajut makna dalam kehidupannya.
Dengan
demikian, menurut Tariq Ramadan pencarian makna hidup dalam pentas
kehidupan umat manusia bagaikan sidik jari yang unik bagi setiap
orang. Setiap orang sama-sama mempunyai sidik jari itu. Namun setiap
orang memiliki sidik jari yang unik dan berbeda antara satu dengan
lainnya. Prinsip universal dalam pencarian makna yang selalu
dilakukan setiap orang ini, disebut oleh Tariq Ramadan sebagai a
universal singularity.
Tentang
Yang Universal
Ketika
berbicara tentang suatu konsep yang bersifat universal, biasanya kita
merujuk pada beberapa konsep yang kita yakini atau kita pahami
sebagai universal. Lalu kita mengartikulasikannya di ruang publik dan
menginginkan bahkan kadangkala mengharuskan publik yang terdiri dari
orang-orang yang berbeda paham, keyakinan, pendidikan, dan kultur
untuk menerima konsep-konsep yang kita gulirkan. Dalam benak kita,
karena konsep-konsep tersebut bersifat universal, maka semua orang,
tidak peduli adanya perbedaan mereka dengan kita, harus menerima
konsep-konsep universal tersebut. Dalam benak kita mengatakan:
“Karena konsep-konsep tersebut bersifat universal, maka semua orang
harus menerimanya.”
Yang
seringkali luput dari pandangan kita adalah orang lain juga dengan
pandangan, keyakinan, paham, agama, pendidikan, dan kultur yang
mereka miliki mempunyai juga konsep-konsep universal yang boleh jadi
berbeda dengan konsep-konsep universal yang kita miliki. Kaum filsuf
mempunyai beragam konsep tentang sesuatu yang bersifat universal.
Para ilmuwan juga memiliki berbagai konsep tentang hal-hal yang
universal. Demikian pula kaum agamawan mempunyai pelbagai ide
mengenai hal-hal yang dinilai universal yang berlaku bagi semua umat
manusia.
Yang
berbahaya adalah ketika kita memaksakan konsep-konsep universal yang
kita yakini atau kita pahami kepada orang lain yang berbeda untuk
menerimanya. Kita meyakini bahwa konsep-konsep universal yang kita
miliki itulah satu-satu yang bersifat universal dan semua orang harus
menerimanya. Tariq Ramadan menyebut keyakinan ini sebagai “dogmatic
mind”, pikiran yang dogmatis.
Dogmatic mind ini bisa saja dimiliki oleh siapapun: kaum agamawan, para cendekiawan, filsuf ataupun juga ilmuwan. Ketika seseorang mempercayai bahwa konsep-konsep yang digulirkannya merupakan satu-satunya yang bersifat universal dan harus diterima oleh orang lain yang berbeda, maka ia sudah terjebak dalam perangkap dogmatic mind.
Untuk
keluar dari jebakan dogmatic mind, kata Tariq Ramadan, yang
diperlukan adalah open minded, sebuah pikiran yang terbuka
untuk berinteraksi, bersedia mendengarkan pihak lain sekaligus
berusaha secara empati memahami beragam perbedaan tentang
konsep-konsep yang universal yang disuarakan oleh orang lain, budaya
lain, tradisi lain, paham lain dan agama lain. Tariq Ramadan menyebut
beragam istilah tentang konsep-konsep yang bersifat universal, the
immanent universal, the inner universal, the universal of the
heart, the universal of reason bahkan the nihilist universal
of nothingness and non-meaning.
Dengan
alasan inilah, Tariq Ramadan menegaskan sebuah prinsip: There can
be no universal without diversity. ‘Tidak akan pernah ada
suatu konsep universal tanpa hadirnya keragaman.’ Oleh sebab
itu, karena diskursus tentang yang universal dinarasikan oleh banyak
suara yang beragam dengan argumentasinya masing-masing, kita jangan
terlalu percaya diri dengan menutup diri. Bahkan kita perlu
menumbuhkan kecurigaan yang sehat terhadap konsep universal kita
sebagai satu-satunya konsep yang benar.
Sejatinya
dalam hidup ini kita sedang dalam perjalanan panjang untuk mencari
makna, kebenaran, kebahagiaan dan kedamaian hakiki. Dalam perjalanan
pencarian ini, kita berjumpa dengan begitu banyak orang yang berbeda
namun memiliki pencarian makna hakiki yang sama, meskipun dengan
jalan yang berbeda. Karena itu, menyadari bahwa kita sedang dalam
perjalanan pencarian makna, mengenali beragam cara yang berbeda dalam
merengkuh makna, dan memiliki keraguan yang sehat terhadap perspektif
kita sebagai satu-satunya yang benar, bagi Tariq Ramadan merupakan
tiga elemen dasar untuk menumbuhkan sikap rendah hati dalam interaksi
kita dengan orang lain yang memiliki latar belakang yang pluralistik.
Tariq
Ramadan juga mengusulkan agar kita menjadikan sesuatu yang bersifat
universal sebagai sebuah ruang terbuka atau sebuah ruang umum besar
dimana beragam cara, beragam jalan, dan beragam tradisi pemikiran dan
agama dapat berjumpa satu sama lain dengan damai. Dalam ruang umum
yang sangat akbar tersebut, semua perbedaan wacana pemikiran yang
diwakili fakultas panca indra, pikiran, dan hati dapat berjumpa satu
sama lain.
Pesannya
bukan untuk menyatukan pelbagai sistem, nilai dan budaya dengan
sistem, nilai dan budaya lain yang berbeda, tapi justru untuk
menyediakan ruang-ruang perjumpaan dimana kita semua dapat bertemu
dan saling menyapa secara setara. Kita tidak perlu mempunyai obsesi
untuk menyatukan semua yang beragam tersebut, karena memang tidak
bisa disatukan. Tariq Ramadan lebih setuju menggunakan kata
intersection daripada integration: The intersection
of what we have in common, rather than the integration of
differences.
Toleransi
dan Respek
Toleransi
dan respek terhadap pihak yang berbeda menjadi salah satu tema yang
sangat menarik yang dibahas dalam buku ini. Menurut Tariq Ramadan,
ada perbedaan antara toleransi dan respek dalam menyikapi perbedaan.
Meskipun dalam keadaan tertentu, toleransi dapat bersifat aktif, tapi
secara umum toleransi lebih bersifat pasif dalam menyikapi perbedaan.
Dalam toleransi, kita hanya bersikap untuk menerima eksistensi pihak
lain yang berbeda tanpa kita berusaha memahami, mengenali dan bahkan
menggali lebih jauh tentang eksistensi pihak lain tersebut.
Sedang dengan respek, kita lebih bersikap aktif dan proaktif kepada pihak yang berbeda daripada sikap pasif. Kita terdorong perasaan ingin tahu secara positif terhadap eksistensi dan kehadiran pihak lain. Kita juga berupaya mempelajari pihak-pihak yang berbeda agar kita dapat mengetahui dan mengenali siapa sebenarnya mereka. Pengenalan, perasaan ingin tahu dan pengetahuan yang aktif mengantarkan akal dan hati kita memasuki kompleksitas dunia pihak lain yang berbeda. Kita mulai bersentuhan dengan prinsip-prinsip dan harapan-harapan mereka, dengan ketegangan dan kontradiksi-kontradiksi kehidupan yang mereka alami.
Sedang dengan respek, kita lebih bersikap aktif dan proaktif kepada pihak yang berbeda daripada sikap pasif. Kita terdorong perasaan ingin tahu secara positif terhadap eksistensi dan kehadiran pihak lain. Kita juga berupaya mempelajari pihak-pihak yang berbeda agar kita dapat mengetahui dan mengenali siapa sebenarnya mereka. Pengenalan, perasaan ingin tahu dan pengetahuan yang aktif mengantarkan akal dan hati kita memasuki kompleksitas dunia pihak lain yang berbeda. Kita mulai bersentuhan dengan prinsip-prinsip dan harapan-harapan mereka, dengan ketegangan dan kontradiksi-kontradiksi kehidupan yang mereka alami.
Jika
toleransi dapat mereduksi pihak lain hanya sebagai pihak yang hadir
belaka secara pasif, respek justru membuka diri kita untuk menyelami
kompleksitas eksistensi pihak lain. Pada saat yang sama, sikap respek
mengajarkan kita bahwa pihak lain sama kompleksnya dengan eksistensi
kita: mereka sama dengan kita, mereka cermin kita, dan kegelisahan
mereka pun sama dengan kegelisahan kita. Melalui sikap respek, kita
akan menyadari bahwa: The other exists within me, and I exist
within the others, “Pihak lain sebenarnya hadir dalam diri kita
dan kita juga sesungguhnya hadir dalam pihak lain.”
Sebab,
kita bukan cuma sama-sama merasakan kesenangan dan kegembiraan,
kenikmatan dan kebahagiaan, kasih sayang dan cinta, tawa dan
senyuman, tapi juga sama-sama mengalami kesulitan dan kepayahan
hidup, kepahitan dan penderitaan hidup, kebencian dan penolakan,
termasuk air mata dan tangisan. Di bawah kolong langit yang sama,
kita semua sama-sama merasakan kehangatan sinar matahari yang sama
sebagaimana kita juga merasakan kesejukan guyuran air hujan yang
sama.
Kendati
demikian, dalam pengamatan Tariq Ramadan, sebenarnya dari agama Hindu
hingga agama-agama monoteis, dan sejak dari Sokrates, Plato dan
Aristoteles, semuanya membawa pesan umum bahwa kita semua secara
alami dan potensial memiliki kecenderungan untuk menolak orang lain
yang berbeda, bahkan bisa menjadi intoleran dan rasis. Kita bisa
menjadi tuli, buta, dogmatis, bersikap tertutup dan membenci yang
liyan: kita tidak terlahir langsung sebagai orang yang berpikiran
terbuka, penuh penghormatan kepada pihak lain dan bersikap pluralis.
Kita menjadi orang yang open-minded, penuh penghormatan, dan pluralis
melalui upaya personal, pendidikan, pengalaman, dan pengendalian diri
dengan bijaksana.
Dalam
konteks ini, cukup menarik bagaimana Tariq Ramadan mengingatkan kita
tentang perumpamaan sejumlah orang buta yang berusaha mengenali
seekor gajah. Kita perlu melihat kembali kisah manis ini sejenak
untuk menengok pesan moral di baliknya.
Orang buta pertama, menyentuh belalainya dan menyimpulkan bahwa gajah itu seperti ular panjang dan bisa meliuk-liuk ke kiri dan ke kanan. Orang buta kedua yang menyentuh badan gajah, membantahnya. Katanya, gajah itu seperti tembok rumah yang lebar dan keras. Orang buta ketiga yang meraba gadingnya gajah, menolak kedua kawannya sebelumnya. Ia mengatakan bahwa gajah itu seperti sebuah tombak yang runcing. Orang buta keempat yang memegang telinganya gajah, berpendapat berbeda dengan ketiga kawannya. Baginya gajah itu bagaikan sebuah permadani yang lebar. Sedangkan orang buta kelima yang meraba ekor gajah, juga berpendapat berbeda dengan keempat temannya sebelumnya. Dia berpandangan bahwa gajah itu seperti seutas tali. Akhirnya orang buta keenam yang memegang kaki gajah yang kokoh, juga tidak setuju dengan pendapat kelima kawannya sebelumnya. Dengan tegas, ia menyatakan bahwa gajah itu sesungguhnya seperti sebatang pohon yang tangguh.
Orang buta pertama, menyentuh belalainya dan menyimpulkan bahwa gajah itu seperti ular panjang dan bisa meliuk-liuk ke kiri dan ke kanan. Orang buta kedua yang menyentuh badan gajah, membantahnya. Katanya, gajah itu seperti tembok rumah yang lebar dan keras. Orang buta ketiga yang meraba gadingnya gajah, menolak kedua kawannya sebelumnya. Ia mengatakan bahwa gajah itu seperti sebuah tombak yang runcing. Orang buta keempat yang memegang telinganya gajah, berpendapat berbeda dengan ketiga kawannya. Baginya gajah itu bagaikan sebuah permadani yang lebar. Sedangkan orang buta kelima yang meraba ekor gajah, juga berpendapat berbeda dengan keempat temannya sebelumnya. Dia berpandangan bahwa gajah itu seperti seutas tali. Akhirnya orang buta keenam yang memegang kaki gajah yang kokoh, juga tidak setuju dengan pendapat kelima kawannya sebelumnya. Dengan tegas, ia menyatakan bahwa gajah itu sesungguhnya seperti sebatang pohon yang tangguh.
Gajah
dalam konteks ini secara metaforis bisa bermakna hakikat kebenaran
yang senantiasa dicari, diburu, dan ditangkap eksistensinya oleh
setiap orang dari berbagai tradisi pemikiran, filsafat, agama, dan
keyakinan. Dari parabel di atas, menurut Tariq Ramadan ada beberapa
pesan moral edukatif yang bisa kita petik agar kita dapat bersikap
toleran, respek, pluralis dan open-minded terhadap beragam
pandangan tentang kebenaran.
Pertama,
tidak seorang pun yang mampu menangkap dan memahami hakikat kebenaran
secara utuh komprehensif. Kedua, cara, pendekatan dan metode
dalam menangkap dan memahami hakikat kebenaran ada banyak. Hampir
setiap orang, dalam hal ini setiap tradisi pemikiran, filsafat,
spiritualitas, agama dan keyakinan memiliki beragam cara dan
pendekatan yang unik dalam mencandra kebenaran berdasarkan tradisi
mereka masing-masing.
Ketiga, setiap orang sebenarnya memiliki kelemahan (kebutaan) internal dalam mencandra hakikat kebenaran; sehingga yang dituntut sebuah sikap rendah hati dan siap saling berbagi dengan orang lain.
Ketiga, setiap orang sebenarnya memiliki kelemahan (kebutaan) internal dalam mencandra hakikat kebenaran; sehingga yang dituntut sebuah sikap rendah hati dan siap saling berbagi dengan orang lain.
Yang
menjadi masalah, sebagaimana kita lihat pada parabel di atas, setiap
orang merasa begitu yakin dengan perspektifnya masing-masing dan
menolak, mengesampingkan bahkan dengan arogan menyalahkan
pandangan-pandangan lain yang berbeda. Semua sikap tersebut merupakan
representasi dari sikap closed-minded, sebuah sikap tertutup terhadap
pandangan yang berbeda. Di sini kita melihat betapa berbahayanya
sikap closed-minded.
Solusinya,
setiap kita perlu melakukan fundamental introspection, untuk
bersedia melihat, mendengar, mengenali sekaligus memahami
pandangan-pandangan lain yang berbeda. Kita perlu menyadari kelemahan
perspektif kita tentang hakikat kebenaran. Kita perlu menyadari
terdapat pandangan-pandangan yang kaya tentang kebenaran dan idealnya
kita bersedia mengkaji secara empatik pandangan-pandangan orang lain
yang berbeda mengenai kebenaran tersebut.
Dengan
keterbukaan sikap inilah, beragam perspektif yang awalnya berbeda dan
tampak bertentangan satu sama lain, justru akan memperkaya dan
melengkapi perspektifnya sendiri. Dengan open-minded, kita
melakukan semacam transendensi yakni melampaui perspektif kita yang
terbatas dengan menyelami beragam perspektif pihak lain yang kaya
sehingga bisa melengkapi sekaligus memperkaya perspektif kita yang
terbatas. Di sini kita melihat betapa signifikannya sikap
open-minded.
Kendati
demikian, sikap respek kita terhadap orang lain melampaui wilayah
pemahaman semata, tapi juga membutuhkan suatu pengalaman yang
bersifat psikologis dan resiprokal. Tariq Ramadan juga menurunkan
sebuah pesan universal tentang hubungan yang penuh kedamaian dan
cinta kasih dalam sebuah adagium populer: “Cintailah tetanggamu
sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri.”
Menurut
Tariq Ramadan, adagium ideal ini membawa tiga pesan moral. Pertama,
adagium itu sesungguhnya sebuah imbauan tentang cinta kepada sesama,
sebuah kecenderungan hati yang penuh kasih kepada pihak lain yang
perlu kita upayakan.
Kedua, untuk bisa mencintai orang lain, berarti kita harus memberi perhatian khusus terlebih dahulu untuk mencintai diri sendiri yang harus benar-benar dialami secara autentik. Sebab kita tidak bisa mencintai orang lain dengan tulus sebelum kita mencintai diri sendiri dengan autentik. Ketiga, sebagai implikasinya: mencintai diri sendiri dan menemukan kedamaian internal merupakan sebuah prasyarat untuk mencintai dan menyambut orang lain ke dalam damainya hati kita. Semua ini juga mengharuskan kita mengenali godaan-godaan alami diri kita yang paling gelap, namun tetap berusaha mencari suara-suara aspirasi murni yang paling luhur di kedalaman jiwa kita. “This is a love story”, ini merupakan sebuah kisah cinta, tulis Tariq Ramadan.
Kedua, untuk bisa mencintai orang lain, berarti kita harus memberi perhatian khusus terlebih dahulu untuk mencintai diri sendiri yang harus benar-benar dialami secara autentik. Sebab kita tidak bisa mencintai orang lain dengan tulus sebelum kita mencintai diri sendiri dengan autentik. Ketiga, sebagai implikasinya: mencintai diri sendiri dan menemukan kedamaian internal merupakan sebuah prasyarat untuk mencintai dan menyambut orang lain ke dalam damainya hati kita. Semua ini juga mengharuskan kita mengenali godaan-godaan alami diri kita yang paling gelap, namun tetap berusaha mencari suara-suara aspirasi murni yang paling luhur di kedalaman jiwa kita. “This is a love story”, ini merupakan sebuah kisah cinta, tulis Tariq Ramadan.
Pendidikan
Selain
itu, Tariq Ramadan juga menyinggung bagaimana cara kita menghadapi
kompleksitas tantangan abad 21 melalui pendidikan. Meskipun diskursus
ilmu pengetahuan, sains dan teknologi menjadi tuntutan yang tidak
bisa dilepaskan dari dunia pendidikan, namun Tariq Ramadan
menganjurkan kita untuk tetap melengkapi pendidikan kita dengan
ajaran-ajaran fundamental yakni wacana agama atau spiritualitas,
filsafat dan seni. Agama atau spiritualitas, filsafat dan seni
merupakan tiga disiplin yang harus menjadi the core curriculum of
every intellect jika kita ingin membekali peserta didik menjadi
manusia yang mandiri dan bebas namun bertanggungjawab.
Agama
dan spiritualitas seringkali dapat membuat manusia tumbuh secara
spiritual dan melindungi mereka dari kegelisahan eksistensial. Agama
juga dapat menorehkan arti tentang kehidupan dan menyingkap makna
yang sublim dari pengalaman hidup kita. Sedangkan filsafat dapat
membentuk kesadaran kritis sekaligus berpikir kritis-konstruktif
dalam diri kita. Filsafat mendesak nalar kita untuk terus menelaah,
untuk mengajukan berbagai pertanyaan-pertanyaan reflektif dan
menggunakan perangkat kritisnya secara konstruktif.
Mempelajari
filsafat juga dapat menjadikan kita rendah hati dan mampu mengambil
jarak untuk tidak buru-buru melakukan justifikasi terhadap kebenaran.
Sebab filsafat yang arogan yang mengklaim mengetahui the ultimate
truth dan menghina kebenaran pihak lain, hakikatnya bukan lagi
filsafat: They are ideologies. Karena salah satu ciri filsafat
adalah keterbukaan terhadap segala pengetahuan, wacana, dan
kebenaran, tanpa menjustifikasi absolutisme.
Sementara
seni dapat mengantarkan manusia bersentuhan, berjumpa, dan merasakan
lembutnya makna keindahan. Keindahan bukan hanya berdiri sebagai
keindahan an sich, tapi dalam keindahan juga sebenarnya membersitkan
makna. Refleksi filosofis terhadap dunia seni yang autentik akan
membawa kita melampaui diri kita sehingga kita akan menyadari bahwa:
‘Beauty is the marriage of philosophy, spirituality and art’,
“Keindahan adalah pernikahan sakral antara filsafat, spiritualitas
dan seni.”
Dunia
seni juga mengundang manusia untuk menemukan berbagam sumber
keindahan dalam dirinya yang mengajak melampaui batasan-batasan dunia
fisiknya sehingga dapat memberinya makna dan inspirasi. Karena itu,
pendidikan hati, pikiran dan imajinasi yang melatih kita agar dapat
melihat, mendengar, mencium, merasa dan menyentuh dengan lebih baik
merupakan salah satu kebutuhan dalam membentuk sikap mandiri dan
bebas yang terletak dalam jantung modernitas.
Ketiga
wacana spritualitas, filsafat dan seni harus ada dalam dunia
pendidikan agar dapat membentuk seorang manusia yang kritis namun
bijaksana, kaya inspirasi namun rendah hati, dan bersikap bebas
merdeka namun bertanggungjawab; sebuah tanggungjawab kepada Tuhan
sekaligus tanggungjawab kepada kemanusiaan.
Dengan
konsep-konsep tentang pencarian makna hidup, kebenaran, dan
kedamaian, serta sesuatu yang bersifat universal, toleransi, respek,
dan pendidikan, Tariq Ramadan menjadikan semua ini sebagai wahana
dalam membangun sikap pluralisme, di samping beragam konsep lainnya
yang ia eksplorasi dengan elegan dalam karya tersebut.
Secara
global, The Quest for Meaning merupakan karya Tariq Ramadan
yang paling rasional-filosofis sekaligus sangat bersifat
kontemplatif-reflektif dibandingkan dengan karya-karyanya yang lain,
seperti To Be A European Muslim, Islam, The West and The
Challenges of Modernity, Western Muslims and The Future of Islam,
atau pun Radical Reform.
Dalam
The Quest for Meaning, Tariq Ramadan mengajak kita menyelami
berbagai tradisi pemikiran filsafat, baik dari Barat maupun Timur,
seperti dari tradisi Yunani, Cina, India, maupun dari kawasan Timur
Tengah Islam. Ia juga mambawa kita mendalami wacana-wacana agama,
teologi, dan spiritualitas dari beragam agama dunia, semacam agama
Yahudi, Kristen, Islam, Buddhisme, Hindu, Kong Hu Chu misalnya.
Menariknya,
ia tidak memiliki tendensi untuk membela atau mengistimewakan satu
tradisi pemikiran dan agama di atas tradisi pemikiran dan agama
lainnya. Tradisi pemikiran dan filsafat Barat tidak lebih hebat
daripada tradisi pemikiran dan filsafat Timur, sebagaimana tradisi
pemikiran dan filsafat Timur tidak lebih istimewa daripada tradisi
pemikiran dan filsafat Barat. Wacana agama Yahudi dan Kristen tidak
lebih unggul ketimbang wacana agama Islam, Buddhisme, Hindu dan Kong
Hu Chu, sebagaimana wacana agama Islam, Buddhisme, Hindu dan Kong Hu
Chu tidak lebih tinggi ketimbang wacana agama Yahudi dan Kristen.
Semuanya sama-sama menawarkan makna hidup dan kedamaian hakiki,
kebajikan dan kebenaran, belas kasih dan kebahagiaan meskipun dengan
cara yang berbeda-beda.
Dengan
begitu fasihnya, ia menayangkan puspa ragam diskursus yang relevan
dengan persoalan-persoalan yang sedang dibahasnya dari berbagai
tradisi pemikiran, teologi, spiritualitas dan agama. Semuanya dikaji
secara terbuka dan kritis. Setiap solusi-solusi cemerlang yang sudah
disuguhkannya secara eksploratif, di ujung pembahasan selalu
dipertanyakan kembali secara terbuka.
Tariq
Ramadan memberikan kita semacam constructive discontent,
sebuah ketidakpuasan konstruktif yang mengundang kita untuk selalu
mempertanyakan setiap jawaban-jawaban yang kita gulirkan, sekaligus
terus memperkaya, mempertajam, dan tetap terbuka dengan
jawaban-jawaban baru yang tidak berkesudahan. Dengan kata lain,
setiap jawaban yang disuguhkannya, selalu ditutup dengan tanda koma
(,) yang merefleksikan sebuah sikap keterbukaan, bukan tanda titik
(.) yang merefleksikan sebuah sikap ketertutupan.
Karena
itu, sebagaimana ditegaskan oleh Tariq Ramadan dalam awal
pembahasannya bahwa karya ini adalah sebuah perjalanan dan juga
sebuah tujuan yang tidak ada titik finishnya. The goal of the
journey is the journey itself, tulis Tariq Ramadan.
Akan
tetapi kita sebagai pelancong yang memburu makna hidup, kebenaran,
kedamaian dan kebahagiaan, di akhir perjalanan kita, kata Tariq
Ramadan diharapkan dengan yakin dan pikiran terbuka akan berikrar:
‘My philosophy is travel, and pluralism is my destination.
Humanity is my table, respect is my garment, empathy is my food and
curiosity is my drink’. “Filosofi saya adalah perjalanan dan
pluralisme adalah tujuan saya. Kerendakan hati menjadi sandaran saya,
dan rasa hormat menjadi pakaian saya. Sedangkan empati menjadi
makanan saya dan hasrat ingin tahu menjadi minuman saya.”
Oleh
sebab itu, The Quest for Meaning bukan hanya inspiring and
provoking our thought but also enlightening and transforming our
mind.
Sungguh,
sebuah karya yang sangat layak untuk kita gumuli dan cumbui.