The Quest for Meaning: Developing a Philosophy of Pluralism

Oleh Dr Zaprulkhan

Bagaimanakah mencari makna hidup dalam pentas kehidupan abad 21 yang sangat pluralistik dalam berbagai aspeknya? Bagaimana caranya kita dapat berinteraksi dengan penuh kedamaian, ketenangan, kesetaraan, penghormatan, harmoni dan kebahagiaan di tengah-tengah beragamnya perbedaan agama, keyakinan, paham, tradisi, budaya, filosofi, bangsa dan negara dalam ruang dan waktu milenium ketiga dewasa ini? Inilah benang merah yang akan dijawab oleh Tariq Ramadan dalam karya cemerlangnya tersebut.

Dalam pendahuluannya, Tariq Ramadaan mengajukan sebuah tesis dengan metafora sebuah jendela: We all observe the world through our own windows. “Kita semua mengamati dunia melalui jendela milik kita masing-masing.” Jendela merupakan metafora dari sebuah sudut pandang, sebuah kerangka kerja, atau sebuah kaca mata yang selalu mewarnai penglihatan kita sekaligus memiliki orientasi dan keterbatasan dalam mencandra realitas secara holistik-komprehensif.

Dengan kesadaran ini, kita harus mengakui dengan rendah hati bahwa yang kita miliki tidak lebih dari sebuah point of view, suatu sudut pandang yang membentuk ide-ide, persepsi dan imajinasi kita terhadap fenomena kehidupan dunia yang plural. Di sini, kita mesti mengakui keterbatasan sudut pandang kita dalam memotret realitas yang kompleks.

Meskipun demikian, kita jangan larut dalam relativitas sudut pandang kita dan meragukan segala sesuatu yang kita tangkap. Kesadaran bahwa kita memiliki sudut pandang yang terbatas justru mengajak kita memiliki rasa ingin tahu yang sehat, enerjik dan kreatif tentang jumlah sudut pandang yang tak terbatas banyaknya yang juga dimiliki orang lain dalam memandang dunia yang sama. Kita harus menyadari bahwa ada begitu banyak orang yang memandang realitas kompleks yang sama melalui jendela mereka masing-masing.

Selain itu, Tariq Ramadan juga mengajak kita menyelami samudera kebenaran hakiki melalui jendela (perspektif) kita masing-masing. Kita harus siap berlayar mengarungi ke tengah-tengah lautan dan menyadari bahwa lautan eksis karena ada begitu banyak pantai di sekelilingnya. Kehadiran pantai yang sangat banyak jumlahnya itulah yang menjadikan satu lautan, satu samudera. Ketika kita mencandra kebenaran dengan perspektif yang kita miliki, kita perlu menyadari bahwa ada begitu banyak perspektif yang dimiliki orang lain yang juga sedang mencandra kebenaran yang sama.

Setiap kita hanya mencandra kebenaran dengan perspektif kita yang terbatas. Begitu pula pihak lain menangkap kebenaran dari perspektif mereka masing-masing yang memiliki keterbatasan. Meskipun tatkala kita tenggelam di tengah-tengah lautan, kita tidak melihat pantai; sejauh mata memandang, kita hanya menyaksikan sebuah lautan yang tak bertepi, tapi bersama kesadaran dan kerendahan hati, kita perlu mengakui bahwa ada begitu banyak pantai pada setiap horizon pandangan yang kita saksikan.

Hakikat kebenaran (luasnya lautan) terlalu akbar untuk dibatasi dengan satu perspektif (satu pantai) semata. Oleh sebab itu, dalam mengarungi samudera kebenaran yang maha luas tersebut, kita mesti menyiapkan sikap rendah hati sebagai kapal kehidupan kita. 

Dalam karya brilian tersebut, Tariq Ramadan membahas berbagai topik, seperti pencarian makna hidup, konsep tentang sesuatu yang universal, iman dan nalar, persaudaraan dan kesetaraan, kebebasan dan pendidikan, respek dan toleransi, tradisi dan modernitas, peradaban, cinta, pengampunan, spiritualitas dan lain-lain. Izinkan saya memotret sekilas beberapa topik yang menjadi core karya tersebut.

Pencarian Makna Hidup

Dalam pandangan Tariq Ramadan, kendati setiap kita mencandra kompleksitas kehidupan yang bersifat plural dan hakikat kebenaran dengan keterbatasan perspektif kita masing-masing, namun setiap kita memiliki satu kesamaan: setiap kita selalu mencari makna, kebenaran, kedamaian sekaligus kebahagiaan.

Dalam tilikan Tariq Ramadan, setiap orang, baik kaum idealis maupun materialis, filsuf atau saintis, orang beriman maupun ateis, selalu mencari makna dalam kehidupan yang mereka jalani. Setiap orang yang bersedia menelisik fenomena kehidupannya dengan lebih dalam, niscaya akan dihantui dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial: Why life? Why me? What is the meaning of death, suffering, love, morality and so on?

Dengan hadirnya pertanyaan-pertanyaan eksistensial itu, setiap orang bahkan kaum ateis sekalipun berupaya menjawabnya agar kehidupan mereka bermakna. Seorang filsuf ateis seperti Jean Paul Sartre yang menegaskan kehidupan ini absurd, tetap mengakui bahwa kegelisahan eksistensial terhadap hadirnya penderitaan dan kematian merupakan sesuatu yang sangat sentral dalam pengalaman riil kehidupan umat manusia. Karena itu, berhadapan dengan kegelisahan eksistensial ini, Sartre meresponsnya dengan tegas: ‘We have to recognize it, accept it, and transcend it’, ‘Kita harus mengenalinya, menerimannya, dan sekaligus melampauinya.’ Dengan respons tersebut, bagaimana pun juga Sartre tengah merajut makna dalam kehidupannya.

Dengan demikian, menurut Tariq Ramadan pencarian makna hidup dalam pentas kehidupan umat manusia bagaikan sidik jari yang unik bagi setiap orang. Setiap orang sama-sama mempunyai sidik jari itu. Namun setiap orang memiliki sidik jari yang unik dan berbeda antara satu dengan lainnya. Prinsip universal dalam pencarian makna yang selalu dilakukan setiap orang ini, disebut oleh Tariq Ramadan sebagai a universal singularity.

Tentang Yang Universal

Ketika berbicara tentang suatu konsep yang bersifat universal, biasanya kita merujuk pada beberapa konsep yang kita yakini atau kita pahami sebagai universal. Lalu kita mengartikulasikannya di ruang publik dan menginginkan bahkan kadangkala mengharuskan publik yang terdiri dari orang-orang yang berbeda paham, keyakinan, pendidikan, dan kultur untuk menerima konsep-konsep yang kita gulirkan. Dalam benak kita, karena konsep-konsep tersebut bersifat universal, maka semua orang, tidak peduli adanya perbedaan mereka dengan kita, harus menerima konsep-konsep universal tersebut. Dalam benak kita mengatakan: “Karena konsep-konsep tersebut bersifat universal, maka semua orang harus menerimanya.”

Yang seringkali luput dari pandangan kita adalah orang lain juga dengan pandangan, keyakinan, paham, agama, pendidikan, dan kultur yang mereka miliki mempunyai juga konsep-konsep universal yang boleh jadi berbeda dengan konsep-konsep universal yang kita miliki. Kaum filsuf mempunyai beragam konsep tentang sesuatu yang bersifat universal. Para ilmuwan juga memiliki berbagai konsep tentang hal-hal yang universal. Demikian pula kaum agamawan mempunyai pelbagai ide mengenai hal-hal yang dinilai universal yang berlaku bagi semua umat manusia.

Yang berbahaya adalah ketika kita memaksakan konsep-konsep universal yang kita yakini atau kita pahami kepada orang lain yang berbeda untuk menerimanya. Kita meyakini bahwa konsep-konsep universal yang kita miliki itulah satu-satu yang bersifat universal dan semua orang harus menerimanya. Tariq Ramadan menyebut keyakinan ini sebagai “dogmatic mind”, pikiran yang dogmatis.

Dogmatic mind ini bisa saja dimiliki oleh siapapun: kaum agamawan, para cendekiawan, filsuf ataupun juga ilmuwan. Ketika seseorang mempercayai bahwa konsep-konsep yang digulirkannya merupakan satu-satunya yang bersifat universal dan harus diterima oleh orang lain yang berbeda, maka ia sudah terjebak dalam perangkap dogmatic mind.

Untuk keluar dari jebakan dogmatic mind, kata Tariq Ramadan, yang diperlukan adalah open minded, sebuah pikiran yang terbuka untuk berinteraksi, bersedia mendengarkan pihak lain sekaligus berusaha secara empati memahami beragam perbedaan tentang konsep-konsep yang universal yang disuarakan oleh orang lain, budaya lain, tradisi lain, paham lain dan agama lain. Tariq Ramadan menyebut beragam istilah tentang konsep-konsep yang bersifat universal, the immanent universal, the inner universal, the universal of the heart, the universal of reason bahkan the nihilist universal of nothingness and non-meaning.

Dengan alasan inilah, Tariq Ramadan menegaskan sebuah prinsip: There can be no universal without diversity. ‘Tidak akan pernah ada suatu konsep universal tanpa hadirnya keragaman. Oleh sebab itu, karena diskursus tentang yang universal dinarasikan oleh banyak suara yang beragam dengan argumentasinya masing-masing, kita jangan terlalu percaya diri dengan menutup diri. Bahkan kita perlu menumbuhkan kecurigaan yang sehat terhadap konsep universal kita sebagai satu-satunya konsep yang benar.

Sejatinya dalam hidup ini kita sedang dalam perjalanan panjang untuk mencari makna, kebenaran, kebahagiaan dan kedamaian hakiki. Dalam perjalanan pencarian ini, kita berjumpa dengan begitu banyak orang yang berbeda namun memiliki pencarian makna hakiki yang sama, meskipun dengan jalan yang berbeda. Karena itu, menyadari bahwa kita sedang dalam perjalanan pencarian makna, mengenali beragam cara yang berbeda dalam merengkuh makna, dan memiliki keraguan yang sehat terhadap perspektif kita sebagai satu-satunya yang benar, bagi Tariq Ramadan merupakan tiga elemen dasar untuk menumbuhkan sikap rendah hati dalam interaksi kita dengan orang lain yang memiliki latar belakang yang pluralistik.

Tariq Ramadan juga mengusulkan agar kita menjadikan sesuatu yang bersifat universal sebagai sebuah ruang terbuka atau sebuah ruang umum besar dimana beragam cara, beragam jalan, dan beragam tradisi pemikiran dan agama dapat berjumpa satu sama lain dengan damai. Dalam ruang umum yang sangat akbar tersebut, semua perbedaan wacana pemikiran yang diwakili fakultas panca indra, pikiran, dan hati dapat berjumpa satu sama lain.

Pesannya bukan untuk menyatukan pelbagai sistem, nilai dan budaya dengan sistem, nilai dan budaya lain yang berbeda, tapi justru untuk menyediakan ruang-ruang perjumpaan dimana kita semua dapat bertemu dan saling menyapa secara setara. Kita tidak perlu mempunyai obsesi untuk menyatukan semua yang beragam tersebut, karena memang tidak bisa disatukan. Tariq Ramadan lebih setuju menggunakan kata intersection daripada integration: The intersection of what we have in common, rather than the integration of differences.

Toleransi dan Respek

Toleransi dan respek terhadap pihak yang berbeda menjadi salah satu tema yang sangat menarik yang dibahas dalam buku ini. Menurut Tariq Ramadan, ada perbedaan antara toleransi dan respek dalam menyikapi perbedaan. Meskipun dalam keadaan tertentu, toleransi dapat bersifat aktif, tapi secara umum toleransi lebih bersifat pasif dalam menyikapi perbedaan. Dalam toleransi, kita hanya bersikap untuk menerima eksistensi pihak lain yang berbeda tanpa kita berusaha memahami, mengenali dan bahkan menggali lebih jauh tentang eksistensi pihak lain tersebut.

Sedang dengan respek, kita lebih bersikap aktif dan proaktif kepada pihak yang berbeda daripada sikap pasif. Kita terdorong perasaan ingin tahu secara positif terhadap eksistensi dan kehadiran pihak lain. Kita juga berupaya mempelajari pihak-pihak yang berbeda agar kita dapat mengetahui dan mengenali siapa sebenarnya mereka. Pengenalan, perasaan ingin tahu dan pengetahuan yang aktif mengantarkan akal dan hati kita memasuki kompleksitas dunia pihak lain yang berbeda. Kita mulai bersentuhan dengan prinsip-prinsip dan harapan-harapan mereka, dengan ketegangan dan kontradiksi-kontradiksi kehidupan yang mereka alami.


Jika toleransi dapat mereduksi pihak lain hanya sebagai pihak yang hadir belaka secara pasif, respek justru membuka diri kita untuk menyelami kompleksitas eksistensi pihak lain. Pada saat yang sama, sikap respek mengajarkan kita bahwa pihak lain sama kompleksnya dengan eksistensi kita: mereka sama dengan kita, mereka cermin kita, dan kegelisahan mereka pun sama dengan kegelisahan kita. Melalui sikap respek, kita akan menyadari bahwa: The other exists within me, and I exist within the others, “Pihak lain sebenarnya hadir dalam diri kita dan kita juga sesungguhnya hadir dalam pihak lain.”

Sebab, kita bukan cuma sama-sama merasakan kesenangan dan kegembiraan, kenikmatan dan kebahagiaan, kasih sayang dan cinta, tawa dan senyuman, tapi juga sama-sama mengalami kesulitan dan kepayahan hidup, kepahitan dan penderitaan hidup, kebencian dan penolakan, termasuk air mata dan tangisan. Di bawah kolong langit yang sama, kita semua sama-sama merasakan kehangatan sinar matahari yang sama sebagaimana kita juga merasakan kesejukan guyuran air hujan yang sama.

Kendati demikian, dalam pengamatan Tariq Ramadan, sebenarnya dari agama Hindu hingga agama-agama monoteis, dan sejak dari Sokrates, Plato dan Aristoteles, semuanya membawa pesan umum bahwa kita semua secara alami dan potensial memiliki kecenderungan untuk menolak orang lain yang berbeda, bahkan bisa menjadi intoleran dan rasis. Kita bisa menjadi tuli, buta, dogmatis, bersikap tertutup dan membenci yang liyan: kita tidak terlahir langsung sebagai orang yang berpikiran terbuka, penuh penghormatan kepada pihak lain dan bersikap pluralis. Kita menjadi orang yang open-minded, penuh penghormatan, dan pluralis melalui upaya personal, pendidikan, pengalaman, dan pengendalian diri dengan bijaksana.

Dalam konteks ini, cukup menarik bagaimana Tariq Ramadan mengingatkan kita tentang perumpamaan sejumlah orang buta yang berusaha mengenali seekor gajah. Kita perlu melihat kembali kisah manis ini sejenak untuk menengok pesan moral di baliknya. 

Orang buta pertama, menyentuh belalainya dan menyimpulkan bahwa gajah itu seperti ular panjang dan bisa meliuk-liuk ke kiri dan ke kanan. Orang buta kedua yang menyentuh badan gajah, membantahnya. Katanya, gajah itu seperti tembok rumah yang lebar dan keras. Orang buta ketiga yang meraba gadingnya gajah, menolak kedua kawannya sebelumnya. Ia mengatakan bahwa gajah itu seperti sebuah tombak yang runcing. Orang buta keempat yang memegang telinganya gajah, berpendapat berbeda dengan ketiga kawannya. Baginya gajah itu bagaikan sebuah permadani yang lebar. Sedangkan orang buta kelima yang meraba ekor gajah, juga berpendapat berbeda dengan keempat temannya sebelumnya. Dia berpandangan bahwa gajah itu seperti seutas tali. Akhirnya orang buta keenam yang memegang kaki gajah yang kokoh, juga tidak setuju dengan pendapat kelima kawannya sebelumnya. Dengan tegas, ia menyatakan bahwa gajah itu sesungguhnya seperti sebatang pohon yang tangguh.


Gajah dalam konteks ini secara metaforis bisa bermakna hakikat kebenaran yang senantiasa dicari, diburu, dan ditangkap eksistensinya oleh setiap orang dari berbagai tradisi pemikiran, filsafat, agama, dan keyakinan. Dari parabel di atas, menurut Tariq Ramadan ada beberapa pesan moral edukatif yang bisa kita petik agar kita dapat bersikap toleran, respek, pluralis dan open-minded terhadap beragam pandangan tentang kebenaran.

Pertama, tidak seorang pun yang mampu menangkap dan memahami hakikat kebenaran secara utuh komprehensif. Kedua, cara, pendekatan dan metode dalam menangkap dan memahami hakikat kebenaran ada banyak. Hampir setiap orang, dalam hal ini setiap tradisi pemikiran, filsafat, spiritualitas, agama dan keyakinan memiliki beragam cara dan pendekatan yang unik dalam mencandra kebenaran berdasarkan tradisi mereka masing-masing.

Ketiga, setiap orang sebenarnya memiliki kelemahan (kebutaan) internal dalam mencandra hakikat kebenaran; sehingga yang dituntut sebuah sikap rendah hati dan siap saling berbagi dengan orang lain.


Yang menjadi masalah, sebagaimana kita lihat pada parabel di atas, setiap orang merasa begitu yakin dengan perspektifnya masing-masing dan menolak, mengesampingkan bahkan dengan arogan menyalahkan pandangan-pandangan lain yang berbeda. Semua sikap tersebut merupakan representasi dari sikap closed-minded, sebuah sikap tertutup terhadap pandangan yang berbeda. Di sini kita melihat betapa berbahayanya sikap closed-minded.

Solusinya, setiap kita perlu melakukan fundamental introspection, untuk bersedia melihat, mendengar, mengenali sekaligus memahami pandangan-pandangan lain yang berbeda. Kita perlu menyadari kelemahan perspektif kita tentang hakikat kebenaran. Kita perlu menyadari terdapat pandangan-pandangan yang kaya tentang kebenaran dan idealnya kita bersedia mengkaji secara empatik pandangan-pandangan orang lain yang berbeda mengenai kebenaran tersebut.

Dengan keterbukaan sikap inilah, beragam perspektif yang awalnya berbeda dan tampak bertentangan satu sama lain, justru akan memperkaya dan melengkapi perspektifnya sendiri. Dengan open-minded, kita melakukan semacam transendensi yakni melampaui perspektif kita yang terbatas dengan menyelami beragam perspektif pihak lain yang kaya sehingga bisa melengkapi sekaligus memperkaya perspektif kita yang terbatas. Di sini kita melihat betapa signifikannya sikap open-minded.

Kendati demikian, sikap respek kita terhadap orang lain melampaui wilayah pemahaman semata, tapi juga membutuhkan suatu pengalaman yang bersifat psikologis dan resiprokal. Tariq Ramadan juga menurunkan sebuah pesan universal tentang hubungan yang penuh kedamaian dan cinta kasih dalam sebuah adagium populer: “Cintailah tetanggamu sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri.”

Menurut Tariq Ramadan, adagium ideal ini membawa tiga pesan moral. Pertama, adagium itu sesungguhnya sebuah imbauan tentang cinta kepada sesama, sebuah kecenderungan hati yang penuh kasih kepada pihak lain yang perlu kita upayakan.

Kedua, untuk bisa mencintai orang lain, berarti kita harus memberi perhatian khusus terlebih dahulu untuk mencintai diri sendiri yang harus benar-benar dialami secara autentik. Sebab kita tidak bisa mencintai orang lain dengan tulus sebelum kita mencintai diri sendiri dengan autentik. Ketiga, sebagai implikasinya: mencintai diri sendiri dan menemukan kedamaian internal merupakan sebuah prasyarat untuk mencintai dan menyambut orang lain ke dalam damainya hati kita. Semua ini juga mengharuskan kita mengenali godaan-godaan alami diri kita yang paling gelap, namun tetap berusaha mencari suara-suara aspirasi murni yang paling luhur di kedalaman jiwa kita. “This is a love story”, ini merupakan sebuah kisah cinta, tulis Tariq Ramadan.


Pendidikan

Selain itu, Tariq Ramadan juga menyinggung bagaimana cara kita menghadapi kompleksitas tantangan abad 21 melalui pendidikan. Meskipun diskursus ilmu pengetahuan, sains dan teknologi menjadi tuntutan yang tidak bisa dilepaskan dari dunia pendidikan, namun Tariq Ramadan menganjurkan kita untuk tetap melengkapi pendidikan kita dengan ajaran-ajaran fundamental yakni wacana agama atau spiritualitas, filsafat dan seni. Agama atau spiritualitas, filsafat dan seni merupakan tiga disiplin yang harus menjadi the core curriculum of every intellect jika kita ingin membekali peserta didik menjadi manusia yang mandiri dan bebas namun bertanggungjawab.

Agama dan spiritualitas seringkali dapat membuat manusia tumbuh secara spiritual dan melindungi mereka dari kegelisahan eksistensial. Agama juga dapat menorehkan arti tentang kehidupan dan menyingkap makna yang sublim dari pengalaman hidup kita. Sedangkan filsafat dapat membentuk kesadaran kritis sekaligus berpikir kritis-konstruktif dalam diri kita. Filsafat mendesak nalar kita untuk terus menelaah, untuk mengajukan berbagai pertanyaan-pertanyaan reflektif dan menggunakan perangkat kritisnya secara konstruktif.

Mempelajari filsafat juga dapat menjadikan kita rendah hati dan mampu mengambil jarak untuk tidak buru-buru melakukan justifikasi terhadap kebenaran. Sebab filsafat yang arogan yang mengklaim mengetahui the ultimate truth dan menghina kebenaran pihak lain, hakikatnya bukan lagi filsafat: They are ideologies. Karena salah satu ciri filsafat adalah keterbukaan terhadap segala pengetahuan, wacana, dan kebenaran, tanpa menjustifikasi absolutisme.

Sementara seni dapat mengantarkan manusia bersentuhan, berjumpa, dan merasakan lembutnya makna keindahan. Keindahan bukan hanya berdiri sebagai keindahan an sich, tapi dalam keindahan juga sebenarnya membersitkan makna. Refleksi filosofis terhadap dunia seni yang autentik akan membawa kita melampaui diri kita sehingga kita akan menyadari bahwa: Beauty is the marriage of philosophy, spirituality and art’, “Keindahan adalah pernikahan sakral antara filsafat, spiritualitas dan seni.”

Dunia seni juga mengundang manusia untuk menemukan berbagam sumber keindahan dalam dirinya yang mengajak melampaui batasan-batasan dunia fisiknya sehingga dapat memberinya makna dan inspirasi. Karena itu, pendidikan hati, pikiran dan imajinasi yang melatih kita agar dapat melihat, mendengar, mencium, merasa dan menyentuh dengan lebih baik merupakan salah satu kebutuhan dalam membentuk sikap mandiri dan bebas yang terletak dalam jantung modernitas.

Ketiga wacana spritualitas, filsafat dan seni harus ada dalam dunia pendidikan agar dapat membentuk seorang manusia yang kritis namun bijaksana, kaya inspirasi namun rendah hati, dan bersikap bebas merdeka namun bertanggungjawab; sebuah tanggungjawab kepada Tuhan sekaligus tanggungjawab kepada kemanusiaan.

Dengan konsep-konsep tentang pencarian makna hidup, kebenaran, dan kedamaian, serta sesuatu yang bersifat universal, toleransi, respek, dan pendidikan, Tariq Ramadan menjadikan semua ini sebagai wahana dalam membangun sikap pluralisme, di samping beragam konsep lainnya yang ia eksplorasi dengan elegan dalam karya tersebut.

Secara global, The Quest for Meaning merupakan karya Tariq Ramadan yang paling rasional-filosofis sekaligus sangat bersifat kontemplatif-reflektif dibandingkan dengan karya-karyanya yang lain, seperti To Be A European Muslim, Islam, The West and The Challenges of Modernity, Western Muslims and The Future of Islam, atau pun Radical Reform.

Dalam The Quest for Meaning, Tariq Ramadan mengajak kita menyelami berbagai tradisi pemikiran filsafat, baik dari Barat maupun Timur, seperti dari tradisi Yunani, Cina, India, maupun dari kawasan Timur Tengah Islam. Ia juga mambawa kita mendalami wacana-wacana agama, teologi, dan spiritualitas dari beragam agama dunia, semacam agama Yahudi, Kristen, Islam, Buddhisme, Hindu, Kong Hu Chu misalnya.

Menariknya, ia tidak memiliki tendensi untuk membela atau mengistimewakan satu tradisi pemikiran dan agama di atas tradisi pemikiran dan agama lainnya. Tradisi pemikiran dan filsafat Barat tidak lebih hebat daripada tradisi pemikiran dan filsafat Timur, sebagaimana tradisi pemikiran dan filsafat Timur tidak lebih istimewa daripada tradisi pemikiran dan filsafat Barat. Wacana agama Yahudi dan Kristen tidak lebih unggul ketimbang wacana agama Islam, Buddhisme, Hindu dan Kong Hu Chu, sebagaimana wacana agama Islam, Buddhisme, Hindu dan Kong Hu Chu tidak lebih tinggi ketimbang wacana agama Yahudi dan Kristen. Semuanya sama-sama menawarkan makna hidup dan kedamaian hakiki, kebajikan dan kebenaran, belas kasih dan kebahagiaan meskipun dengan cara yang berbeda-beda.

Dengan begitu fasihnya, ia menayangkan puspa ragam diskursus yang relevan dengan persoalan-persoalan yang sedang dibahasnya dari berbagai tradisi pemikiran, teologi, spiritualitas dan agama. Semuanya dikaji secara terbuka dan kritis. Setiap solusi-solusi cemerlang yang sudah disuguhkannya secara eksploratif, di ujung pembahasan selalu dipertanyakan kembali secara terbuka.

Tariq Ramadan memberikan kita semacam constructive discontent, sebuah ketidakpuasan konstruktif yang mengundang kita untuk selalu mempertanyakan setiap jawaban-jawaban yang kita gulirkan, sekaligus terus memperkaya, mempertajam, dan tetap terbuka dengan jawaban-jawaban baru yang tidak berkesudahan. Dengan kata lain, setiap jawaban yang disuguhkannya, selalu ditutup dengan tanda koma (,) yang merefleksikan sebuah sikap keterbukaan, bukan tanda titik (.) yang merefleksikan sebuah sikap ketertutupan.

Karena itu, sebagaimana ditegaskan oleh Tariq Ramadan dalam awal pembahasannya bahwa karya ini adalah sebuah perjalanan dan juga sebuah tujuan yang tidak ada titik finishnya. The goal of the journey is the journey itself, tulis Tariq Ramadan.

Akan tetapi kita sebagai pelancong yang memburu makna hidup, kebenaran, kedamaian dan kebahagiaan, di akhir perjalanan kita, kata Tariq Ramadan diharapkan dengan yakin dan pikiran terbuka akan berikrar: ‘My philosophy is travel, and pluralism is my destination. Humanity is my table, respect is my garment, empathy is my food and curiosity is my drink’. “Filosofi saya adalah perjalanan dan pluralisme adalah tujuan saya. Kerendakan hati menjadi sandaran saya, dan rasa hormat menjadi pakaian saya. Sedangkan empati menjadi makanan saya dan hasrat ingin tahu menjadi minuman saya.”

Oleh sebab itu, The Quest for Meaning bukan hanya inspiring and provoking our thought but also enlightening and transforming our mind.

Sungguh, sebuah karya yang sangat layak untuk kita gumuli dan cumbui.