Kalau Allah Menghendaki, Semua bisa saja Terjadi?

Oleh: Agus Mustofa* - di facebook.com
 
Beberapa waktu terakhir ini, channel Youtube saya sedang ramai. Karena, secara beruntun saya membahas tema-tema kontroversial. 
 
Yang pertama, soal konflik antara Palestina dan Israel. Sudah memasuki episode kelima. Dan yang lebih ramai lagi adalah soal penciptaan Adam dan Hawa. Yang sudah memasuki episode ketujuh belas.
Sehingga saya diundang sebagai narasumber dalam sejumlah forum kajian. Di antaranya, forum "Dialog Positif"-nya Kang Abu Marlo, "Rumah Belajar Dr Weka", "Ngaji Roso"-nya Cak Hendra dan "CakNurian Urban Sufism"-nya Prof. Komarudin Hidayat. Keempatnya meminta tema “Ternyata Adam Dilahirkan”.
 
“Perdebatan antara teori evolusi dan keyakinan tentang penciptaan manusia pertama sudah berlangsung lama. Agus Mustofa menyodorkan jawaban alternatif yang mengejutkan. Benarkah Adam ternyata dilahirkan?,” tulis flyer CakNurian Urban Sufism, yang digelar Jum’at, 4 Juni 2021.
 
Saya masih sering melihat sebagian umat Islam yang shocked, ketika disodori kajian kontroversial semacam itu. Yang saya kemukakan dalam bentuk Kajian Tasawuf Modern dan Islam Futuristik. Sebuah kajian ilmiah yang berbasis pada informasi Al Qur’an dan Sains Modern. Atau, yang kita kenal sebagai kajian ayat-ayat qauliyah dan kauniyah.
 
Saya lihat sebagian besar umat Islam masih terbiasa menggunakan cara-cara tradisional dalam beragama. Ikut pendapat yang sudah diajarkan oleh pendahulu. Tanpa berani mengajukan pemikiran kritis. Dan, sangat ketat berpegang pada kredo “pendapat ulama terdahulu lebih baik dibandingkan dengan pendapat ulama kemudian.”
 
Budaya semacam ini telah membuat umat Islam mengalami kemandekan dalam pemikiran. Berhenti sejauh pemikiran masa lalu. Padahal peradaban manusia terus berkembang ke masa depan. Dan membutuhkan pemikiran-pemikiran keagamaan yang sesuai dengan zamannya.
 
Tidak seperti di zaman keemasan Islam. Di mana para pemikir membangun budaya keilmuan yang terbuka dan kritis. Sehingga muncul banyak aliran pemikiran, termasuk mazhab-mazhab, yang memperkaya budaya keilmuan di dalam Islam.
 
Jika kita lihat sejarahnya, para imam pendiri mazhab itupun sesungguhnya adalah guru dan murid. Tetapi mereka memiliki keberanian untuk berbeda dengan gurunya. Sehingga memunculkan mazhab yang berbeda.
 
Imam Hanafi adalah ulama yang sezaman dengan Imam Malik. Mereka saling memuji dan menghargai. Sedangkan Imam Malik adalah guru Imam Syafii. Dan Imam Syafii adalah guru Imam Hambali. Perbedaan di antara mereka disikapi sebagai hal yang produktif. Dan penuh hikmah. Masing- masing mazhab memiliki argumentasi sendiri-sendiri. Tidak memaksakan kehendak harus sama.
 
Budaya pemikiran yang bagus itu kini semakin memudar di kalangan tertentu. Yang cenderung mengedepankan keseragaman berpikir. Menolak perbedaan. Bahkan, mengharamkannya. Dan tak jarang, sambil menudingkan kata ‘sesat’ terhadap orang lain yang berbeda pendapat. Sekalipun perbedaan pendapat itu didasari dengan argumentasi ilmiah. Dan merujuk sumber-sumber otoritatif di dalam Islam.
 
Yang demikian ini, tentu sangat memprihatinkan. Tidak menjadikan umat Islam menjadi maju. Melainkan, semakin mundur dalam kancah peradaban. Dan berpotensi untuk ditinggalkan oleh kalangan milenial yang semakin logis, rasional, dan kritis dalam memahami segala hal yang ada di sekitarnya.
 
Ungkapan-ungkapan bernada teologis seringkali dijadikan sebagai alasan pembenar oleh mereka. Tetapi, sebenarnya menunjukkan keengganan berpikir secara ilmiah. Misalnya, ungkapan “ Jika Allah menghendaki, apapun bisa saja terjadi …” 
 
Dalam sejumlah forum kajian, saya sering mendengar argumentasi semacam ini. Dengan maksud untuk membenarkan argumentasi mereka. Misalnya, ketika saya sampaikan dalil-dalil Al Qur’an maupun bukti-bukti ilmiah yang menunjukkan keboleh jadian terciptanya Adam di dalam rahim.
 
Alih-alih meng-counter dengan menggunakan dalil-dalil dan bukti ilmiah yang menguatkan argumentasinya, mereka lebih suka mengemukakan ungkapan sakti “Jika Allah menghendaki, apapun bisa terjadi”. Dengan kata lain, tidak usah “capek-capek” membahas dalil dan bukti ilmiah. Karena, apapun bisa terjadi. Asal Allah menghendakinya.
 
Tentu saja. Tidak ada yang salah dengan kalimat itu. Ungkapan “Jika Allah menghendaki, apapun bisa terjadi” itu adalah benar adanya. Mana ada kalau dikehendaki oleh Allah, sesuatu itu tidak terjadi? Allah Maha Berkuasa dan Maha Berkehendak untuk melakukan apa saja.
 
Masalahnya, kalimat itu hanya dipakai untuk bersembunyi dari kemalasan berpikir. Yang dengan cara itu, mereka seakan-akan sudah menunjukkan kebenarannya. Padahal, ia sendiri tidak tahu kehendak Allah itu yang mana. Kecuali, Allah menyebutkan di dalam Al Qur’an sebagai ayat qauliyah. Ataupun, menunjukkan dalam bentuk ciptaan – ayat kauniyah – di alam semesta.
 
Contoh konkretnya begini. Apakah Allah bisa menciptakan planet Bumi berbentuk kotak? Tentu saja bisa. Karena Dia Maha Berkuasa. Maha Pencipta. Tetapi, apakah bentuk Bumi kita ini kotak? Kan, tidak.
 
Apakah Allah juga bisa menciptakan buah mangga langsung tersedia di atas meja, tanpa melalui pohon yang tumbuh, berbunga dan berbuah? Tentu saja, secara filosofis, bisa. Apapun yang Dia kehendaki pasti terjadi. Masalahnya, apakah penciptaan buah mangga itu instan seperti itu? Langsung di atas meja setiap kita? Kan, tidak.
 
Termasuk, apakah Allah bisa menciptakan manusia dari sebentuk boneka tanah dan langsung jadi manusia yang hidup? Tentu sangat bisa. Tetapi, apakah begitu kejadiannya? Kan, tidak. 
 
Al Qur’an sendiri yang mengemukakan, bahwa penciptaan manusia dari tanah itu berproses. Dari tanah diubah Allah menjadi saripatinya. Diubah lagi menjadi air mani atau nuthfah. Diubah-Nya lagi menjadi gumpalan mirip darah alias alaqah. Diproses menjadi gumpalan daging atau mudghah. Dan seterusnya. Dan, akhirnya menjadi janin. Yang kemudian terlahir di dunia sebagai manusia. Persis seperti yang Dia firmankan di dalam Al Qur’an.
 
“Dialah yang menciptakan kamu sekalian dari tanah. Kemudian dari setetes mani. Sesudah itu dari segumpal alaqah. Kemudian kamu sekalian dilahirkan sebagai seorang bayi. [QS. Ghafir: 67]
 
Jadi, masalahnya bukanlah Allah bisa atau tidak bisa menciptakan segala yang dikehendaki-Nya. Melainkan, berada pada keengganan sebagian kita untuk melakukan kajian secara ilmiah. Padahal, Allah senantiasa mememerintahkan kepada kita untuk menggunakan akal dan ilmu dalam memahami segala ciptan-Nya. Wallahu a’lam bissawab …
 
[Dimuat di Harian DisWay Jum'at, 4 Juni 2021]
 
*Alumni Teknik Nuklir UGM, Penulis Buku-Buku Tasawuf Modern, dan Founder Kajian Islam Futuristik.