Berfilsafat Untuk Mencapai Kebahagiaan

Oleh: Budhy Munawar Rachman

Tidak alasan bagi manusia untuk berfilsafat, kecuali untuk mencapai kebahagiaan

Tinjauan buku singkat: E.F. Schumacher, A Guide for the Perplexed (1977)

Dewasa ini, kehidupan kemanusiaan kita mengalami krisis yang luar biasa. Salah satu pertanda krisis itu adalah semakin dangkalnya pengertian modern kita mengenai kehidupan manusia. Ini terutama terlihat dari pemahaman seratus tahun belakangan ini mengenai apa yang disebut sains, dan kaitannya dengan pengertian mengenai kemanusiaan. Krisis ini akhirnya, memudarkan kepercayaan pada percobaan modern untuk membahagiakan manusia. Dan semakin banyak pemikir-pemikir yang sering dianggap “aneh” yang menyarankan bahwa pemulihan harus datang “dari dalam diri manusia”, bukan hanya lewat pemecahan politis dan sistemik. Salah seorang pemikir yang dianggap aneh itu adalah E.F. Schumacher.

Buku A Guide for the Perplexed ini ditulis oleh ekonom-filsuf E.F. Schumacher, yang sebelumnya terkenal karena bukunya Small is Beatiful, yang telah menjadi semacam kitab suci para aktivis LSM pada era 1970an dan 1980-an. Buku A Guide for the Perplexed ini adalah filsafat di balik buku Small is Beatiful yang mendunia, sebagai perlawanan atas gagasan bahwa besar (hal yang massif) itu efisien.

Ada beberapa istilah penting dalam buku Schumacher A Guide for the Perplexed yang perlu mendapat perhatian seperti: “pemulihan harus datang dari dalam,” mengenai “manusia dan tingkat-tingkatnya yang lebih tinggi,” mengenai masalah “konvergen” dan “divergen” dan beberapa istilah lain. Seyyed Hossein Nasr, menyebut “His posthumous work Guide for the Perplexed is one of the most easily approachable introductions to traditional doctrines available today.” Jadi buku E.F. Schumacher ini bisa disebut sebagai buku pengantar tentang filsafat perennial yang bagus.

Peta Filosofis

Menurut Schumacher, kita memerlukan sebuah peta filosofis, yang bisa menjelaskan kita berada di mana sekarang ini, sekaligus arah perjalanan hidup kita. Selama ini peta-peta yang disodorkan oleh saintisme, yaitu sebuah paham materialisme modern, telah membiarkan tidak terjawab banyak masalah-masalah penting dari hidup manusia. Bahkan menganggapnya sebagai “bukan masalah!”

Saintisme misalnya menganggap tidak bermakna pertanyaan-pertanyaan abadi filsafat dan agama, seperti: Mengapa kita ada di dunia ini. Kita berasal dari mana? Dan akan ke mana setelah kematian nanti? Apa arti dan tujuan hidup? Dan seterusnya, pertanyaan-pertanyaan perennial, yang “anehnya” oleh Schumacher ditekankan bahwa harusnya filsafat (modern) membawa manusia ke jalan itu. Tapi nyatanya semakin modern filsafat semakin jauh dari usaha menjawab pertanyaan tersebut

Oleh saintisme manusia dinilai hanyalah, tak lain dari, “suatu mekanisme biokimia pelik yang dimotori oleh suatu sistem pembakaran yang memberi tenaga kepada komputer-komputer dengan fasilitas-fasilitas penyimpanan yang luarbiasa guna memelihara informasi bersandi”. Juga sebuah pandangan reduksionistik yang misalnya lewat psikoanalisa Freud, akan menganggap perjuangan kepada nilai-nilai kemanusiaan tertinggi hanyalah, tak lain dari, “mekanisme-mekanisme pertahanan diri, dan bentukan-bentukan reaksi.”

Maka, pertanyaan-pertanyaan seperti “Apa yang harus saya lakukan” apalagi “Apa yang harus saya lakukan agar selamat sebagai manusia”; pertanyaan-pertanyaan teleologis yang menyangkut tujuan hidup, akan dianggap aneh.

Keadaan dunia sekarang ini betul-betul krisis, karena tidak menganggap lagi apa yang berabad-abad sebagai pertanyaan paling penting (perennial questions), dan telah menyibukkan para filsuf, sebagai pertanyaan yang tak bermakna. Dari sudut filsafat, inilah sebenarnya agenda besar Schumacher yang dapat kita temui dalam buku ini, mencoba menjawab dengan cara yang bisa dipahami orang modern, pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Menurut Schumacher, keadaan dunia modern sekarang ini membawa kita perlu melihat lagi peta filosofis kita: Apakah peta kita itu telah memuat apa yang sungguh-sungguh penting dalam hidup kemanusiaan. Schumacher mencoba membeberkan pada kita peta yang perlu kita telaah sungguh-sungguh, yang meliputi Empat Kebenaran besar, yang dengan caranya masing-masing agama-agama besar dunia, dan filsafat sampai sebelum masa modern telah berusaha menjelaskan mengenai Empat Kebenaran ini, yaitu Kebenaran mengenai: (1) “Dunia”; (2) “Manusia” yaitu perlengkapan yang digunakan untuk berhadapan dengan “Dunia”; (3) Cara belajar tentang dunia; dan (4) Apa yang dimaksud dengan “hidup” di dunia.

Empat Kebenaran perenial ini berisi: Kebenaran tentang dunia, menyangkut “Empat Tingkat Eksistensi”. Kebenaran tentang perlengkapan yang digunakan manusia untuk berhadapan dengan dunia, adalah “Asas Ketepatan” (adaequatio). Kebenaran tentang cara belajar tentang dunia meliputi “Empat Bidang Pengetahuan.” Dan Kebenaran tentang “Cara hidup di dunia” meliputi pembedaan antara dua jenis masalah, yaitu konvergen (bertitik temu), dan divergen (bertitik pisah).

Peta filosofis ini, memang bukan segala-galanya, seperti peta bukanlah teritorinya. Tetapi untuk mengerti teritori tetaplah diperlukan peta sebagai “petunjuk jalan” supaya kita tidak tersesat, atau bingung. Dan menarik buku Schumacher ini sebenarnya merupakan peta filosofis untuk kita, dalam menemukan jalan menuju kebahagiaan kehidupan manusia.

Menurut Schumkacher, para filsuf modern, pada umumnya bukanlah pembuat peta, yang setia dengan kesinambungan apa yang telah dibuat pendahulu mereka dalam tradisi filsafat yang panjang. Malah mereka adalah seperti yang telah dilakukan Descartes, bapak filsafat modern, “berpatah arang dengan tradisi, main sapu bersih, memulai dari awal, dan berusaha menemukan sendiri segala sesuatunya!” Apa yang dilakukan Descartes dan para pengikutnya, sampai masa kini, akhirnya malah “mundur dari kebijaksanaan” setelah mereka menyadari menurut mereka, bahwa jangkauan pikiran manusia sangat terbatas, dan bahwa tak ada alasan untuk menaruh perhatian kepada hal-hal yang berada di luar kemampuan manusia. Ada skeptisisme yang mewarnai epistemologi modern, sehingga mereka menyerah, terutama untuk mengetahui masalah-masalah metafisika. Sementara kearifan tradisional dan perenial, yang juga tahu mengenai kelemahan pikiran manusia, mereka juga tahu bahwa tetap ada kemungkinan manusia sanggup melampaui dirinya sendiri menuju tingkat-tingkat yang makin lama makin tinggi.

Keadaan epistemologi modern telah memiskinkan pengertian kita mengenai manusia. Banyak wilayah dari apa yang telah diusahakan oleh pemikiran-pemikiran tradisional, selama ribuan tahun, tidak lagi termuat dalam peta filosofis modern. Filsafat modern juga telah kehilangan dimensi vertikal. Ketika filsafat dihadapkan pada pertanyaan, “Apakah yang harus saya perbuat dengan hidup saya?” Jawaban filsafat akan bersifat, paling jauh, adalah utilitarianisme seperti: “Jadikanlah dirimu senyaman-nyamanmu!” Atau “Bekerjalah demi kebahagiaan sebanyak-banyak orang!”. Hakikat manusia menurut pandangan modern, akibat pengaruh teori evolusi, adalah hewan “yang sedikit lebih tinggi” (tetapi tetap hewan!).

Pikiran mengenai “lompatan eksistensi” yang sangat disadari oleh para filsuf sepanjang zaman, telah diabaikan sedemikian rupa, dan dianggap kabur. Para filsuf modern menyamaratakan semua, dan menghindari istilah hirarki seperti “lebih tinggi” atau “lebih rendah.” Bandingkan dengan jawaban filsafat tradisional atas pertanyaan itu. “Kebahagiaan manusia ialah bergerak menuju kepada “yang lebih tinggi”, mengembangkan bakat-bakatnya yang “tertinggi”, memperoleh pengetahuan tentang hal-ihwal yang “lebih tinggi” dan yang “tertinggi”, serta bila mungkin, bertemu dengan Tuhan. Dan bila manusia tidak mengerjakan tugas perenialnya ini, maka berarti ia bergerak menuju kepada yang “lebih rendah”, dan hanya mengembangkan bakat-bakatnya yang “lebih rendah” yang ada padanya seperti pada hewan, sehingga ia pun menjadikan dirinya sendiri tak bahagia, bahkan mungkin putus asa.

Suatu kepercayaan umum dewasa ini, banyak orang-orang modern tidak percaya lagi bahwa kebahagiaan yang sempurna dapat dicapai dengan metode-metode yang sama sekali tidak dikenal oleh filsafat modern. Dan ini wajar, karena tanpa pengertian kualitatif mengenai “yang lebih tinggi” dan “yang lebih rendah” maka mustahillah memikirkan pedoman hidup yang melampaui segala bentuk egoisme. Itu sebabnya memikirkan kembali adanya tingkat-tingkat eksistensi dan kaitannya dengan filsafat menjadi hal yang penting sekali, supaya kita jangan memiskinkan filsafat hanya pada pengetahuan mengenai “hal-hal yang rendah” (seperti sains) sambil menutup diri mengenai “hal-hal yang tinggi” (seperti spritualitas manusia).

Buku ini memang bukan buku sederhana, tapi begitu Anda bisa menangkap maksud dan isi buku ini, Anda akan berterima kasih pada Schumacher yang telah memberi peta filosofis tersebut, sehingga Anda jadi tahu ke arah mana Anda akan menjalani hidup ini.