Pembicara:
Andri Hariadi
Sekolah
dll. adalah bentuk pengabdian kepada Allah SWT.
Sholat
khusyu' adalah tujuan (akhir) setelah sholat didapat.
Hablumminallaah
& Hablumminannaas,
---
sedemikian dalam perkembangannya terpisah
(dan ini adalah suatu kesalahpahaman).
Terbangun paradigma bahwa yang akan menyelamatkan hidup kita hanya
hablumminallaah.
---
akibatnya,
A
: hampir semua yang bukan ulama merasa tidak perlu untuk belajar ilmu
agama
B
: hampir semua ulama tidak mau belajar ilmu duniawi
---
masyarakat bingung, terjadi 'split
personality'.
Sehingga,
A
: hanya belajar adab ke kamar mandi, poligami, dari B. Setelah punya
duit banyak, merasa berdosa, lalu pergi umroh.
B
: tidak mau belajar bagaimana hidup efektif, pindah kuadran,
komunikasi efektif, teknologi, karangan, bisnis.
(Yeah,
reality.)
Padahal,
dalam Islam, sesungguhnya ilmu pengetahuan itu sangat dijunjung
tinggi.
Contoh
masih terpisahnya agama & ilmu pengetahuan:
Dalam
bisnis, good corporate governance, tidak ada window dressing, dll.
Sebenarnya semuanya adalah pengaturan2 dalam agama. Tetapi selama ini
menjadi bukan istilah agama, menjadi asing/jauh dari konteks agama.
Contoh
lain:
Sebuah
buku manajemen/ekonomi, di halaman depannya dikutip banyak kata-kata
dari Budhist dll. Mengapa..? Karena ulama-ulama kita belum masuk ke
situ.
#
Hablumminallaah
>< Hablumminannaas, ilmu dari Allah >< ilmu dari manusia
..?
Selama
ini hablumminallaah >< hablumminannaas, diartikan, hubungan
manusia dg Allah >< hubungan manusia dg manusia.
Mestinya,
pertolongan dari Allah >< pertolongan dari manusia. Asalnya,
hablu
= tali, min
= dari, naas
= manusia, jadi tali dari Allah >< tali dari manusia (tafsir al
Misbah, Quraish Shihab), menjadi pertolongan dari Allah ><
pertolongan dari manusia.
#
Ulama
(bentuk jamak) = alim = orang yang berilmu pengetahuan.
Ilmu
pengetahuan itu luas, yaitu
segala sesuatu yang sifatnya membuat menjadi lebih baik,
termasuk
di dalamnya ilmu Fisika, sastra, dll.
Dalam
perkembangannya, arti ulama menyempit,
menjadi orang yang hanya ahli dalam ilmu agama: ilmu qur'an, hadits,
dll.
Yang
dalam kenyataannya kemudian, ulama (yang ahli ilmu agama), dengan
otoritasnya sering mencampuri (memasuki) bidang lain. Misalnya pada
bidang politik, padahal ia tidak terlalu paham politik (ilmunya dalam
hal ini sangat sedikit), sehingga dalam pembicaraannya, yang timbul
adalah justifikasi---ini
boleh, ini tidak boleh; ini halal, ini haram.
Islam
itu sempurna, tapi bukan berarti tidak butuh lagi mengkaji ilmu lain.
Kita masih perlu tukar budaya dll. sehingga bisa berbicara berdasar
ilmunya lebih banyak.
Orang
yang mendapat petunjuk itu adalah orang yang mendengarkan semua,
semua di dunia ini adalah ayat-ayat Tuhan.
#
Sejauh
mana label agama ini dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari
(duniawi)..?
Jika
kita seorang muslim, maka sesungguhnya iman
yang ada dalam diri kita
itu harus mampu mengukur dan menimbang segala sesuatu---dalam
kapasitas pribadi.
Sedangkan
dalam kapasitas di luar pribadi, harus dilihat dulu konteksnya, misal
dilihat dari nilai-nilai universal, apakah ini melanggar nilai-nilai
susila dll.
Sebagai
orang Islam, kita di-drive
untuk mengukur segala sesuatu dari nilai-nilai agama.
Semua
agama mempunyai nilai-nilai universal. Dalam hal-hal tertentu kita
sama (keadilan, persamaan, kebersamaan). Dalam hal-hal tertentu kita
berbeda.
#
Bagaimana
kita bisa men-sinkronkan agama & iptek, supaya tidak terjadi
kontroversi, dan bisa selaras..?
Pada
akhirnya ilmu pengetahuan itu harus di-drive
oleh agama, supaya tidak terjadi kerusakan.
Solusinya,
sebisa mungkin ilmuwan-ilmuwan itu harus dibekali ilmu agama.
Permasalahannya,
dalam kehidupan, yang terjadi, seolah agama
adalah
ilmu yang hanya itu-itu saja, harga mati, tidak berkembang, bebas
kritik.
Contohnya
fiqih, perkembangan ilmu fiqih berhenti, SEHINGGA, tidak bisa
menjawab persoalan-persoalan dalam hidup yang semakin berkembang.
Sedangkan
ilmu pengetahuan adalah
ilmu yang berkembang terus.
Ilmu/teknologi
seperti pedang bermata dua, dipegang oleh orang yang beragama (baik),
baiklah ia; dipegang oleh orang yang tidak baik, tidak baiklah ia.
#
Kloning,
pandangan agama terhadap teknologi kloning, hingga bisa dicapai
perkembangan teknologi kloning manusia..?
Ketika
Budhist sudah bicara/memberi pernyataan tentang kloning, dari
kalangan Islam belum muncul tanggapan.
Bayangkan,
ilmu Fisika dikembangkan oleh al Biruni, al Haitsam (ilmuwan Islam
abad 10-11). Tetapi dari 7 ilmuwan yang meraih Nobel, semua ada,
kecuali orang Islam.
Mereka
nonmuslim selalu mencari tahu, ingin membuktikan bahwa Tuhan itu
tidak ada, tetapi selalu terbentur pada kenyataan bahwa Tuhan itu
ada.
Kloning
untuk manusia, haram. Karena beresiko memunculkan sifat-sifat baru
yang berkebalikan. (Pemaparan setelah ini tidak tercatat, sayang
sekali, red.)
Selalulah
cari kebenaran itu dengan satu cahaya dalam diri Anda, yang setiap
orang memilikinya, yaitu kebenaran yang dalam pencarian saya Tuhan
adakan, bukan soal given/not given.
#
Bagaimana
agar sains yang kita miliki tidak menyesatkan kita..?
Kalau
ilmu pengetahuan itu dicari dengan kejujuran.
Ketika mencari dan menemukan hal yang benar, akuilah kebenaran itu
meski mungkin kita harus mengakui kita dulu salah.
Carilah
ilmu pengetahuan itu supaya menjadi sempurna, sehingga kita bisa
berkembang terus dengan 'jujur' kepada diri sendiri.[]