Pembicara:
Abi
Ibrahim
berqurban, menyembelih unsur kehewanan pada dirinya.
Unsur-unsur
kehewanan pada manusia sebetulnya adalah titipan Allah pada manusia
agar bisa (bertahan) hidup, yang pada akhirnya untuk mencapai
kedekatan kepada Allah SWT. Contoh unsur kehewanan pada manusia:
makanan, seks, kepuasan.
Ismail,
adalah simbol kecintaan (dunia) Ibrahim, dimana Ibrahim bersusah
payah untuk mendapatkannya, bahkan melalui migrasi yang jauh. Setelah
mendapatkannya (anak), Ibrahim 'sangat senang' (condong kepada
dunia—kecintaannya). Maka, turunlah perintah Allah untuk 'memotong'
kecintaan Ibrahim pada dunia (dengan menyembelih Ismail).
Ada
4 unsur dasar materi: air, udara, tanah, api. Ada 5 indera (lubang):
mata, hidung, telinga, mulut, ... (yang
kelima ga kecatet, ada yang menambahkan..?).
'Rasa'
muncul dari interaksi bagian tubuh kita yang materi dan non-materi.
Mata
≠
melihat, tapi melihat selalu = mata. Melihat adalah hasil interaksi
antara mata yang materi, dan substansi 'yang mengetahui' yang
non-materi.
Tetapi
mata mempunyai keterbatasan fungsi. Ketika kita melihat angka salary
naik, kesadaran mata berkata, nilai ini besar..! Muncullah rasa
senang. Seharusnya ada satu kesadaran yang tidak terpengaruh oleh
besarnya besaran nilai uang yang terlihat itu.
Alat-alat
yang bisa membuat kita senang atau sedih itu bersifat terbatas dan
fana (mengalami masa expired),
maka hasilnya pun terbatas, senang dan sedih itu terbatas.
Jika
kita menyadari bahwa ada kefanaan atau kesementaraan dalam kesadaran
kita, akan muncullah suatu pencerahan,
-
bahwa
apa yang kita miliki adalah fana (ada keterbatasan);
-
bahwa tubuh kita adalah persinggahan bagi sakit, senang, dsb;
-
bahwa yang namanya sementara itu tidak pernah memuaskan--yang tidak
memuaskan itu dihasilkan oleh yang tidak baqa'
(kekal).
Entah
tahun depan, 5 tahun lagi, 10, 100, 1000 adalah suatu kepastian bahwa
selalu ada dua konsekwensi hidup, yaitu kesenangan dan
ketidaksenangan (kesedihan).
Dengan
pencerahan ini, diharapkan kita akan beda dalam menyikapi.
Kompetisi
akan tetap terjadi. Kehidupan tidak selalu hitam-putih, itu realitas.
Misal kita menanam 10 biji semangka, tidak mesti menjadi 10 pohon
semangka. Namun itulah keadilan hidup itu sendiri. Disitulah
implementasi sifat keadilan Tuhan.
Kesadaran
akan 2 konsekwensi hidup itu akan membantu kita untuk lebih menyadari
dan menjalani hidup ini dengan lebih bermakna, tidak kalap.
Jobless,
kehilangan, kekurangan, kesedihan akan menimbulkan rasa sedih, down,
putus asa, itu manusiawi. Manusia selalu punya ambisi, dan realitanya
bahwa apa yang diinginkan, direncanakan, tidak selalu sesuai yang
diharapkan.
Kefanaan
rasa bahagia dan tidak bahagia ini, jika disadari, maka kita tidak
akan tertipu oleh apa-apa yang muncul dalam hidup, yang sebenarnya
adalah fana.
Nabi
Muhammad SAW berkata, “Kehidupan ini adalah safar
(perjalanan) untuk pulang menuju tujuan yang paling pasti. Kelahiran
kita adalah sesuatu yang dengan sendirinya telah akan mendukung
kepulangan kita.”
Analoginya,
ketika kita punya mobil mewah (yang merupakan kendaraan), kita simpan
di garasi. Tidak mungkin dibawa-bawa ke kamar kita (yang merupakan
ruang pribadi). Artinya, hanya diri kita yang bisa membawa kesadaran
pada diri kita, bukan sarana-sarana (senang, sedih dsb).
Jangan
segera bereaksi terhadap apa yang timbul. Munculkan kesadaran yang
murni, yang tidak terkontaminasi, tidak terpengaruh oleh apapun
penampakan realita. Itulah sang
aku,
sang
sadar,
ruh yang ditiupkan Allah/Kudus/Suci, yang abadi.
Ibarat
kata, jangan terlalu ge-er pada saat dipuji, dan jangan terlalu takut
ketika gagal. Apa yang timbul adalah sementara, fana, akan berlalu.
Senang/berhasil, sedih/gagal, semua akan berlalu, berganti, SELALU.
Kecerahan
kita terhadap kehidupan kita akan 'melipat
waktu'.
Tidak peduli pada yang akan datang atau yang telah berlalu, tidak ada
yang merintangi untuk berbuat, maju, berbuat, berkarya.
Jadilah
kalian garam dunia, yang dapat memberi rasa kepada “ALAM”. (Nabi
Isa as.)
[]