ISLAM & KOMUNIKASI

Pembicara: Andri Hariadi

Hasil riset menunjukkan bahwa 70% waktu manusia habis untuk berkomunikasi. Kualitas komunikasi menentukan seberapa jauh kebahagiaan.

Seorang tokoh Islam mengatakan, manusia dikaruniai Tuhan dengan 3 kemampuan (anugerah), yaitu akal, kehendak bebas, dan kemampuan berkomunikasi (al bayan = penjelasan, bukti)--ini sebabnya al Quran diturunkan.

Tuhan yang Maha Pemurah, yang telah mengajarkan al Quran, Dia menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbicara.” (QS. Ar Rahmaan, 55:1-4)

Ilustrasinya, Allah adalah transmitternya (pemancar), input adalah encodingnya, decodingnya adalah manusia menterjemahkan. Al Quran tidak bisa isinya diterima begitu saja tanpa ada upaya-upaya untuk menggalinya.

Intensitas komunikasi menentukan kualitas hidup.

Al Quran memiliki konsep al bayan (penjelasan, bukti). Ada juga konsep al qaul (perkataan), qaulan sadidan, perkataan yang benar; perkataan yang membekas; perkataan yang pantas; perkataan yang lembut; perkataan yang baik; perkataan yang berat.

Belum ada ilmuwan Islam yang mengkaji ini sebagai metode berkomunikasi, misal kapan saatnya harus berkata yang baik, kapan saatnya harus berkata yang tegas.

Nabi adalah sosok yang memahami bahasa tertinggi. Ia tahu bagaimana berkomunikasi dengan berbagai orang, tua, muda, baik, keras, anak-anak, dewasa, dsb.

Nabi adalah seorang ahli komunikasi, itu sebabnya Islam bisa diterima dan menjadi besar. Sayangnya sekarang umat Islam stagnan. :(

Contohnya, sholat Jum'at khotbahnya tidak memandang (mempelajari) itu semua, tidak di-update, tidak dipelajari situasi dan kondisi jama'ahnya untuk menghasilkan keefektifan dakwah, padahal itu rutin dilaksanakan. Ironi memang.

Misal, ustadz atau kiai bicara soal fardhu kifayah selalu tentang mengurus jenazah, bukan misalnya tentang menjadi dokter, ahli sejarah, penyiar radio, dll. (PR, red.)

Kemampuan berkomunikasi itu bukan talent, tapi hasil usaha (bisa dipelajari).

Dalam al Quran ada pesan yang tersurat dan ada pesan yang tersirat. Dalam hal ini juga ada pesan yang ingin Tuhan sampaikan. Diantaranya, kualitas keberagamaan kita dipengaruhi salah satunya oleh kualitas komunikasi.

Sebuah hadist berbunyi, Agama adalah sebuah nasihat (=komunikasi). Nasihat kepada siapa ya Rasulullah? Komunikasi kepada Allah, kepada al Quran, kepada sesama.

Agama adalah sebentuk komunikasi dengan Allah. Komunikasi dengan al Quran adalah suatu bentuk keber-agama-an itu sendiri. Kenyataan adalah medan yang maha nyata menghadirkan diri.

Doa adalah semacam ekspresi keimanan dan kebutuhan hubungan hamba dengan Tuhan.

Banyak rekaman doa-doa Nabi-nabi terdahulu di al Quran. Contohnya, doa Nabi Ibrahim yang seringkali menggunakan kata 'kami'. Yang menyiratkan ego nabi yang luntur (luruh) di saat berhadapan dengan Tuhan. Kata 'kami' dalam doanya dimaksudkan untuk seluruh orang yang sama-sama ingin menjadi lebih baik. (Subhanallah)

Contoh lain, doa Nabi Musa, Robbisy rohlii shodrii ... dst.

Doa-doa tersebut disampaikan per kasus, tapi ketika disampaikan oleh orang yang unik, direkam, diabadikan Tuhan.

Pelajarannya bagi kita, carilah ekspresi individu yang khas, temukanlah format kita dengan Tuhan. (Kalau bisa, sampaikan kepada orang lain) Cari rasa keber-Tuhan-an kita masing-masing, lalu ekspresikan, ungkapkan. Rasakan, penghayatannya akan berbeda, beda dengan kalau kita hanya mengulang doanya orang lain.

Kalau kita mau belajar dengan cermat dengan kondisi di sekitar kita, kita akan tahu bagaimana berkomunikasi dengan anak kecil, dengan orang tua, dsb. Contohnya, penggunaan kata 'aku' harus benar penempatannya.

Berbahasa dengan Tuhan menggunakan bahasa orang Jabariyah, yaitu menafikan diri kita tidak ada apa-apanya sama sekali. Tapi ketika berhadapan dengan manusia berbeda-beda, mana orang yang masih bisa diajak slenge-an, mana orang yang harus dimuliakan. Pada kondisi tertentu mungkin kita malah harus menunjukkan benar-benar bahwa nasib kita adalah di tangan kita, bahwa kita bisa mengatasi segala. (Hmm, betul.)

At present, pada saat sekarang ini, ketika dunia komunikasi/telekomunikasi berkembang sedemikian tinggi, ada sebagian orang yang menggunakan komunikasi untuk mengubah pola pikir, men-drive pola pikir. Contohnya, hegemoni materialisme yang terdengar gaungnya kemana-mana. Dunia ini sedang digarap (diarahkan) ke materialisme.

Sebuah survey di AS menunjukan, para pendeta giat berdakwah di televisi, kenyataannya timbul golongan spiritual yes, but organizational no, dan tingkat kejahatan terus meningkat. Contoh lain di kita, ceramah agama ditempatkan di subuh ujung, siapa yang mau lihat..?

Allah berbicara pada manusia melalui (1) wahyu, disampaikan melalui para Nabi (2) tanda-tanda, membaca Quran, muncul tanda-tanda, penafsiran, nilai rasa kebenaran.

Membaca Quran adalah menemukan makna di dalam makna. Membaca Quran adalah bentuk komunikasi dengan Tuhan. Yaitu, menatap kata-kata Tuhan. Diperlukan kejujuran, dan kerendahhatian, bahwa apa yang kita tangkap belum tentu satu-satunya kebenaran.

Al Quran merupakan part of (bagian dari) Allah. Ia menunjuk ke mana... jangan mengarah kemana telunjuk jarinya, tapi bintang yang ditunjuk itu di mana. (Bisa ditangkap maksudnya..? Saya mencatat dalam gaya bahasa verbal (lisan), kadang sulit mengubahnya ke bahasa tulisan.)

Kemusyrikan/ketidakpatuhan pada Tuhan, berasal dari tidak digunakannya akal. Tuhan berkata-kata melalui kejadian-kejadian, itulah bahasa Tuhan--bagaimana Tuhan berkata-kata yang sesungguhnya.

Doa itu cakupannya luas. Semua komunikasi kita dengan sesuatu di luar diri kita dalam kaitannya dengan perbaikan diri, itu adalah bentuk komunikasi kita dengan Tuhan. Melalui segala sesuatu ciptaan Tuhan.

Tuhan tidak bisa dipikirkan, tetapi hanya bisa dirasakan. Tuhan hanya bisa dirasakan bahwa Ia hadir. Apapun yang kita tahu adalah hasil dari pemberitahuan Tuhan. [*Lihat penjelasan tentang merasakan kehadiran Tuhan di bawah.]

Contohnya, masalah, itu adalah cara Tuhan mendewasakan kita. Ketika ada masalah, orientasinya, selesaikan dengan baik, sebijak mungkin, dengan tidak ada yang terlukai, cari jalan tengah, entah itu dengan menggali pengalaman masa lalu, pengendalian diri kita, dll.

Esensi berkomunikasi dengan Tuhan:
Jangan membayangkan religiusitas itu identik dengan spiritual, misal ada di dalam masjid, tidak bergaul, tidak memasyarakat. Hubungan sosial adalah “esensi” komunikasi kita. Barangsiapa ingin liqo (bertemu) Tuhan, beramal sholeh-lah. Ketika kita ingin selalu berbuat baik, kita telah mencapai esensi spiritualitas.

Contoh, ketika pertanyaan dalam diri kita adalah, Kapan kita punya kesempatan untuk mengekspresikan eksistensi kita yang hanya punya waktu sedikit ini, ingin selalu berbuat baik (berguna) bagi semua. Maka, disitu Anda telah mencapai “puncak spiritualitas”.[]


[*] add.
Tuhan hanya bisa dirasakan, bukan untuk dipikirkan. Ketika kita mulai memikirkan zat Tuhan, kita akan terbentur.

Ilustrasi, Tukang becak, habis narik becak, cape, duduk istirahat, minum air putih segelas, dengan segenap rasa syukur berucap alhamdulillah.., merasakan kenikmatan. Maka disitulah ia merasakan kehadiran Tuhan. Disitulah Tuhan hadir, datang, berbicara (berkomunikasi) dengannya. Sangat sederhana. So simple.

Apapun yang kita tahu/rasakan itu adalah hasil pemberitahuan Tuhan. Disitulah Tuhan hadir. Itulah cara Tuhan hadir (datang) ke kita. Semua yang kita tahu/rasa itu adalah dari Tuhan. (I like these words so much.)