Pembicara:
Ust. Rusli Malik
Mengapa
ada jenjang-jenjang ruhani?
Karena
manusia sebenarnya adalah makhluk ruhani (makhluk langit), yang
ditempatkan di bumi (dunia). Maka ia perlu menempuh jenjang-jenjang
ruhani untuk kembali menjadi (mencapai) makhluk ruhani.
Lalu,
mengapa manusia ditempatkan di bumi? Tuhan berkata, “Untuk
mengetahui siapa yang baik (ahsan)”.
#
Makhluk
ruhani itu berkasih sayang, tidak ada batas-batas ruang dan waktu
(sempadan-sempadan). Sedangkan makhluk bumi bermusuh-musuhan.
Hasrat-hasrat
manusia tidak terbatas, unlimited. Sedangkan bumi ini sifatnya
terbatas, limited. Untuk memenuhi sesuatu yang unlimited
di bumi yang serba limited, maka terjadilah peperangan.
Tempat
yang benar untuk memenuhi semua hasrat yang unlimited itu
adalah di surga nanti.
Lalu,
haruskah hasrat-hasrat di dunia ini ditekan? Tidak. Tapi harus
dipindahkan (dialihkan) ke langit.
Kebahagiaan
sifatnya unlimited, tempatnya di batin (surga, ruhani).
Kesenangan
tempatnya di tubuh (panca indera).
Berkata..
bahagianya kalau bisa punya mobil, ini salah. Kalau kita punya mobil,
kita gak kan kehujanan, kepanasan, ini baru benar.
Mengapa
Ibrahim bahagia beristrikan Hajar, seorang budak hitam.
Karena
ia tahu “isi” Hajar, jiwanya, ruhnya.
#
Logika
tauhid: Semua kita tidak ada, yang ada hanya Tuhan. Manusia, bumi,
dan semuanya, tidak ada.
Kita
selama ini dimanjakan oleh ilusi-ilusi panca indera kita. Bumi ini
sesungguhnya tidak ada. Kita ini sesungguhnya tidak ada.
Logika
filsafat, Immanuel Kant: Segala yang ada tapi tidak ada, adalah
fenomena. Segala sesuatu di belakang yang ada, adalah nomena.
Ilustrasi:
Ombak adalah fenomena, karena adanya air yang didorong angin
(nomena). Kalau air ini diam, ombak itu gak akan ada.
Apa
dong yang real itu? Yang real satu-satunya adalah Allah. Laa
ilaaha illallah, tidak ada Tuhan selain Allah. Tidak ada yang ada
selain Allah. Segala sesuatu selain Allah adalah fenomena untuk
mengenal Allah.
Segala
sesuatu adalah tidak ada. Ombak tidak ada, yang ada air. Air tidak
ada, yang ada atom H dan O. Atom H & O tidak ada, yang ada
elektron + proton yang bergerak, dst. Semua tidak ada kecuali Tuhan,
Allah.
Maka,
doa, “Allahumma anta salaam, wa minka salaam.. ”, “Semua
kembali, dari dan kepada Allah saja.. ” Semua adalah fenomena, yang
hakikatnya tidak ada.
Nobel
Fisika 2007/2006 membuktikan bahwa Big Bang itu ada. Bahwa dunia itu
dulunya tidak ada, kemudian menjadi ada, dan akan menjadi tidak ada
lagi.
Matematisnya,
yang ada itu (+), yang tidak ada itu (-). Penjumlahan yang ada (+)
dengan yang tidak ada (-), sama dengan tidak ada.
Apakah
lantas kita harus berusaha sekeras mungkin dalam hidup ini? Ya,
jelas. Jenjang ruhani dapat dilihat dari kehidupannya. Seberapa besar
kualitas ruhaninya, akan tercermin dari sikap hidupnya terhadap
sesama.
Untuk
bermanfaat di dunia ini, kita harus punya alat. Usaha keras untuk
menguasai alat/dunia ini, ujungnya/tujuannya untuk mencapai jenjang
ruhani.
Dunia
dan isinya ini adalah alat untuk mencapai kebahagiaan. Logikanya,
jika modernitas meningkat, maka tingkat kebahagiaan semakin tinggi.
Dan sebaliknya, semakin kuno, tingkat kebahagiaan semakin rendah.
Kenyataannya, orang di zaman Nabi Adam, Nabi Nuh, dan zaman sekarang
ada yang bahagia.
Di
Amerika setiap 7 menit ada 1 kasus bunuh diri. Kalau kita lihat
Amerika dengan segala kemajuannya, mengapa orang tidak bahagia hingga
bunuh diri. Karena letak kebahagiaan itu bukan pada dunia (alat,
red.).
Dalam
Islam, manusia satu entitas
dengan alam. Dalam Islam, tidak
ada pemisahan alam, manusia dan Tuhan.
#
Banjir
bukan dari Tuhan, tapi karena manusia bikin mampet jalan air. Ini
adalah karena manusia tidak jujur pada alam, maka alam menghukum
kita.
^Secara
fisik, manusia adalah mikrokosmos dalam makrokosmos alam semesta ini.
Karena semua unsur-unsur alam ini terkandung dalam diri manusia.
Untuk
1 biji buah, lahirlah 1 batang pohon; untuk 1 batang pohon lahir
buah. Semua esensi sebuah pohon ada di dalam 1 biji buah. Begitupun
manusia, merupakan mikrokosmos dari makrokosmos.
^Secara
ruhani, manusia adalah khalifah Tuhan di bumi.
Manusia
adalah makhluk ruhani yang berada di dunia (alam fisik).
#
Bila masih menjadikan bumi sebagai tujuan, inilah keadaan yang sering
disebut dunia menjadi penghalang.
#
Bila sudah mampu menjadikan bumi itu sebagai alat, sebesar apapun
alat itu tidak akan menjadi beban. Pada tahap ini manusia itu sudah
mampu menjadi makhluk ruhani.
Manusia
menjadi makhluk ruhani ketika ia mampu menjadikan bumi ini sebagai
alat untuk sampai kepada Allah.
Ilustrasinya..
Kursi kayu kecil, dipikul, jadi berat. Tangga, alat untuk naik (alat
untuk mencapai jenjang yang lebih tinggi), diinjak, jadi ringan.
Tingkat
kebahagiaan berbeda-beda untuk setiap jenjang. Semakin tinggi
jenjang, semakin tinggi kebahagiaan.
Seperti
mendekati ke pusat cahaya. Semakin dekat pada cahaya, semakin terang,
semakin tenang (muthmainnah), semakin bahagia. Semakin dekat
dengan cahaya, semakin hilang takut dan sedih.
Dalam
al Quran, laa ta khaaf dan laa tahzan, jangan
pernah takut dan jangan bersedih, karena ketika kamu beriman, kamu
berada di tempat yang tinggi. Kalau kamu benar-benar beriman,
kamu akan berani.
Ibrahim,
jejang ruhani tinggi, sampai pada tahap disuruh menyembelih anaknya
pun tetap berani, tidak takut, tidak sedih.
Seberapa
besar intensitas cahaya kebahagiaan, tergantung pada kedekatan dengan
sumber cahaya. Kebahagiaan tergantung pada jauh dekatnya pada sumber
cahaya tsb.
Kebahagiaan
adalah al muthmainnah = ketenangan jiwa.
Nanam
jagung, puncaknya 3 bulan, setelah diambil buahnya, layu, mati,
diganti generasi baru. Begitu juga yang terjadi pada ombak, begitu
juga yang terjadi pada manusia.
Dalam
al Quran, kisah ashabul kahfi, pemuda yang tertidur dalam goa selama
300 tahun. Pelajaran dari kisah pemuda al kahfi. Mengapa dibuat
perumpamaan seperti itu oleh Tuhan? Untuk memberi pengertian, bahwa
semua yang ada di dunia ini berganti. Begitulah kehidupan kita.
Mengapa
Tuhan memberi umur kepada manusia tidak panjang dan tidak pendek?
Karena
Tuhan beri umur kepada manusia itu sesuai kesanggupan/kekuatan
biologisnya. Setiap makhluk ini ada ajalnya. Misal, pisang 1 kali
berbuah, mati; manusia 70-80 tahun, lalu meninggal. Kalau lebih dari
100 tahun, mau berbuat sesuatu, badan sudah uzur, sudah tidak kuat,
fisik sudah lemah.
Apakah
manusia bisa menjadi benar-benar makhluk langit? Sedang manusia punya
nafsu, dll. Materi-materi tidak kompatible dengan keinginan
kita.
Analoginya
seperti orang belajar silat, apa mungkin saya bisa menghancurkan batu
seperti itu. Jawabannya, bisa. Meski sepertinya sangat tidak mungkin.
Maka inipun jawabannya, bisa.
Keinginan
itu bukan untuk dihilangkan, tapi untuk diwujudkan.
Kalau
Tuhan bicara tentang surga, maka selalu bicara tentang hawa nafsu.
Tuhan berkata, tempatnya hawa nafsu itu adalah di surga, bukan di
dunia. Kalau di dunia kita mengagungkan nafsu, tertipulah.
Dalam
tasawuf ada konsep riyadhah (=latihan?) dan mujahadah.
Spiritualisme.
Spirit
= ruh, jiwa, semangat.
Manusia
memiliki unsur jasmani dan ruhani. Ruhani yang dimaksud adalah ruh
Tuhan yang ditiupkan ke badan manusia.
Kata
ruh, disandarkan langsung kepada Tuhan. Sehingga Tuhan selalu
berkata, “min ruuhi..”, artinya “dengan ruh-Ku..”
Spiritualitas
tanpa bicara agama, tidak bisa. Di mana logikanya..?
Kalau
kita sudah menganggap segala sesuatu di luar diri kita ini tidak ada,
maka tidak akan ada kekecewaan, apapun yang terjadi, apapun
kenyataannya.
Adanya
kita karena Allah. Mengapa kita harus kecewa pada apa yang tidak ada.
Orang
mukmin itu bertawakalnya hanya kepada Allah. Bukan kepada
benda-benda. So, orang mukmin tidak pernah kecewa.
Ismail
disuruh disembelih, tidak kecewa. Ibrahim disuruh menyembelih, tidak
kecewa. Karena keduanya bergantung kepada Allah. Ibrahim tidak
bergantung pada anaknya. Ismail tidak bergantung pada ayahnya.
Q
: Apakah jodoh, rezeki, ajal bisa diubah?
A
: Rezeki ada (1) rezeki yang sudah disiapkan, merupakan
kebutuhan-kebutuhan dasar, misal ketika lahir sudah disiapkan
paru-paru untuk bernapas (2) rezeki yang ditetapkan banyaknya
tergantung usaha kita (ikhtiari), misal kita diberi tanah, air,
ditanami, hasilnya tergantung berapa banyak usaha kita menanam.
Sudah
bekerja keras, tapi masih dapatnya sedikit, mereka yang enak-enak,
dapatnya banyak. Mengapa? Pasti telah terjadi distorsi, bisa pada
sistem, dlsb. Makanya umat Islam tidak cukup hanya belajar ngaji.
Pelajari sistem, dll, konspirasi dunia, dll.
Fenomena-fenomena
yang ada adalah pelajaran-pelajaran untuk kita. Penilaian-penilaian
benar-salah tetap perlu ada, untuk mencapai (sebagai tangga) menuju
jenjang-jenjang ruhani.
Akhirat
adalah garis kontinuitas dari dunia.
Dunia
– materi – akan musnah.
Akhirat
– nonmateri – abadi - dari Allah.
Segala
yang nonmateri bertumpu langsung kepada Allah.
Akhirat
tidak ada (belum ada) sebelum dunia tidak ada.
Pengetahuan
Tuhan itu immaterial, tidak terikat ruang dan waktu.
Ketika
sesuatu belum terjadi, Tuhan sudah tahu. Sesuatu belum terjadi tapi
di mata Tuhan sudah selesai.
Di
mata manusia, untuk mengetahui sesuatu, harus menunggu sesuatu itu
terjadi/selesai.
Tuhan
telah tahu apa yang akan terjadi, tapi persoalan ujung/akhir bukan
ditentukan oleh Tuhan.
Tuhan
tahu iblis akan membangkang, tapi bukan Tuhan yang membuat keputusan
akhir. Adalah kehendak iblis sendiri untuk membangkang.
Kalau
Tuhan yang menetapkan akhir sesuatu, maka dimana letak logikanya,
malah akan menciptakan fatalistik. ↗
Apakah
Adam ada? Pasti ada. Apakah Adam manusia pertama? Penelitian genetis
termodern: manusia mengarah pada asal yang satu. Soal beda-beda, itu
masalah diaspora (penyebaran).
Apakah
neraka sudah ada sebelum Adam dicipta?
Dalam
ayat Quran, “Neraka baru dinyalakan setelah hari akhir.”
Dengan
kata lain, neraka itu dibuat oleh manusia itu sendiri.
So,
ketika manusia masuk neraka, disambut dengan keheranan oleh penjaga
neraka, “Mengapa kalian masuk neraka..? Bukankah telah ada Rasul
yang datang kepada kalian.”
Surga
sudah ada sejak sekarang, makanya setiap orang masuk surga disambut
dengan “salamun 'alaikum”. (? red.)
#
Rekomendasi buku:
“Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed
”, oleh Jared
Diamond.
Bercerita
tentang perjalanan peradaban-peradaban di dunia.
Manusia
sampai zaman sekarang begitu banyak. Peradaban-peradaban yang mereka
buat sangat sejahtera, tapi kemudian hancur.
Itu
fakta bahwa kebahagiaan bukan pada materi. Itu fakta bahwa ada
sesuatu dalam hidup ini, yaitu ruhani. Bahwa manusia itu makhluk
ruhani; akan musnah ketika memuja dunia (bumi--alat, red.). Apakah
sekarang kita akan meniru kehancuran itu? Keledai saja tidak
terperosok dua kali. Maka, tapakilah jenjang-jenjang ruhani ini, agar
kita tak hancur untuk ke sekian kali; untuk mencapai keabadian.
Tuhan
tahu apa yang akan terjadi, tapi bukan Tuhan yang menentukan akhir
sesuatu.
[]
[]