Pembicara:
Bpk. Anggito
(Bagian
ke-3 dari 4 tulisan. Materi lainnya: (1) Belajar Bersikap Sadar, (2)
Memakmurkan Diri, (4) Belajar Memahami Kehidupan.)
Pikiran
adalah sesuatu yang paling dekat dengan kita. Sebegitu dekatnya
sehingga sering tidak kita sadari.
Banyak
orang merasa berpikir hanya ketika terjaga. Padahal pada saat tidur,
bahkan ketika mati, kita tetap berpikir tapi dengan wahana yang
berbeda.
Berpikir
adalah aktivitas yang tidak bisa lepas dari kehidupan sehingga sering
kita larut dan jadi tidak bisa mengenali bahwa kita sedang berpikir.
Konteks
berpikir itu konteks jiwa.
Pertanyaannya
adalah.. dengan apa kita berpikir?
Ada
2 wahana: (1) panca indera, merupakan wahana untuk berpikir logis;
jenis ini mendominasi manusia, menjadi sumber kehidupan manusia,
berhitung untung-rugi; pusatnya di otak (fisik); (2) hati/qalbu,
bekerja berlandaskan norma-norma agama; jenis ini menjadi penyeimbang
agar manusia tidak didominasi pikiran otaknya.
Yang
lebih baik adalah menyeimbangkan keduanya. Permasalahannya, dari dua
jenis ini yang mana yang tetap berfungsi dalam berbagai kondisi.
Bukankah
ketika tidur panca indera beristirahat; bukankah ketika seseorang
meninggal, otak fisiknya kehilangan kekuatan; lalu pikiran manakah
yang masih berfungsi.. [Ada sisi lain yang bertugas mengamati agar
keduanya ini tetap berjalan. Pengamat, yang berada di luar
pikiran.]
Pikiran
adalah energi—relatif halus dan ringan, serta cepat berubah.
Penggerak utama pikiran adalah keinginan. Keinginan timbul dari
rangsangan panca indera.
Eksistensi
pikiran seseorang dengan eksistensi Tuhan adalah sesuatu yang
berbeda.
Tuhan
memberi kebebasan kepada manusia untuk mengelola pikirannya sendiri,
maka manusia harus bisa memenej pikirannya.
Alam
bawah sadar seseorang luasnya tidak terbatas. Berbagai persoalan
tertumpuk di alam luas itu. Dan itu bisa sesekali muncul pada saat
kepekaan meningkat.
Pada
saat seseorang meninggal, kadang keinginan duniawinya masih menumpuk,
sakaratul maut adalah saat terakumulasinya keinginan-keinginan
inderawi ketika saat harus berpindah alam. Sehingga kadang seseorang
sangat lama untuk menyadari bahwa ia telah berpindah alam (dan ini
yang sangat dikhawatirkan). Maka banyak-banyaklah kita mengendalikan
pikiran (: keinginan). Maka ketika hidup jangan menciptakan
keinginan-keinginan yang tidak realistis, yang akan membuat jiwa kita
jadi jauh dari kehidupan kita.
Misal,
ketika kita mencintai seseorang tapi tidak dapat terwujudkan, maka
keinginan itu akan tersimpan di alam bawah sadar, dan suatu saat akan
muncul. Maka jangan berkeinginan yang muluk-muluk.
Jangan
ciptakan keinginan-keinginan yang tidak perlu karena ia memerlukan
kesempatan untuk diwujudkan. Kendalikan keinginan.
#
Mengendalikan keinginan.
'Keinginan'
selalu ingin memisahkan kemudahan dengan kesusahan--padahal keduanya
adalah satu paket dari kehidupan. Kita cenderung menyiapkan jiwa kita
hanya untuk menghadapi satu hal, yaitu kemudahan.
Misal
ketika seseorang berharap sesuatu A (kesenangan), maka seluruh energi
dan emosi disiapkan ke arah itu, tapi ketika A tidak didapat, ia
kecewa.
Baiknya,
prediksi boleh A, tapi jiwa kita harus disiapkan untuk kemungkinan
terjadi dan tidak terjadi. Jika terjadi bersyukur, jika tidak terjadi
juga tidak apa-apa. Inilah jiwa yang tenang.
Pikiran
seharusnya tidak boleh terpaku pada dua kutub yang ekstrim alias
tidak terpengaruh oleh dua kutub. “Apakah jiwamu sama tenangnya
ketika mendapat hal yang menyedihkan dan menyenangkan?”
Lalu,
tidak boleh berkeinginankah..?
Merencanakan
sesuatu itu perlu, tapi dasarnya adalah kekinian. Berambisi boleh,
tapi pertanyaannya adalah apakah jiwa kita siap jika ambisi itu gagal
atau berhasil.
Setiap
ambisi itu disesuaikan dengan kondisi kejiwaan kita (disinilah
peran pengamat berada), sehingga tidak membebani jiwa.
Misal,
seseorang dengan ambisi besar tapi ketika tidak tercapai ia bisa
bersikap tenang, biasa-biasa saja, artinya jiwanya tenang.
Perlu
yang namanya mengistirahatkan keinginan, bukan meniadakan.
Mengistirahatkan dalam arti memberi ruang kosong pada jiwa kita.
Bukankah mangkok berguna ketika kosong, ruang kosong itu menyiratkan
kegunaan. Jiwa yang tenang adalah jiwa yang memiliki ruang untuk
berdialog dengan Tuhan. Maka istirahatkan jiwa dari
keinginan-keinginan yang tidak perlu.
Bagaimana
memenej alam bawah sadar?
Yang
perlu dilakukan adalah bagaimana kita memenej alam sadar kita (baca:
terjaga) agar alam bawah sadar kita tidak terbebani dogma-dogma,
aturan-aturan, pikiran-pikiran atau sesuatu yang dipaksakan. Kuncinya
ada pada agama, yaitu:
lakukan sesuatu dengan ikhlas.
Keikhlasan
berdampingan dengan memaafkan. Ketika kita kehilangan sesuatu, kita
merasa ikhlas tapi jika rasa kehilangan itu masuk ke dalam hati, jadi
seolah-olah ikhlas tapi tidak ikhlas. Artinya, pikiran ikhlas tapi
hati tidak.
Kalbumu
adalah pintu masuk Tuhan ke dalam manusia.
#
Keinginan untuk maju, maju, maju..! Pertanyaannya maju dalam hal apa?
Trend
di negara-negara Barat, kemajuan materi yang tinggi tidak bisa
memberi sesuatu yang mereka cari, sehingga sekarang mereka lari ke
agama-agama Timur, sesuatu yang bisa memberi apa yang mereka cari.
Soal
benar-salah adalah wilayah pikiran, soal baik-buruk adalah wilayah
moral. Wilayahnya berbeda. Jangan lakukan apapun yang membebani
jiwamu.
Surga
dan neraka bisa kita ciptakan sendiri bahkan di saat kita masih
hidup. Misal kita bisa ciptakan surga dalam rumah tangga kita.
Tuhan
pada hakekatnya tidak mencampuri kebebasan berpikir manusia. Tidak
ada yang melarang manusia untuk berpikir tentang apapun. Tapi harus
diingat bahwa kebebasan berpikir ada rambu-rambunya. Kebebasan
berpikir diberikan untuk menjalani kehidupan.
Manusia
bisa berpikir apa saja, tidak terbatas, padahal pikiran itu sendiri
terbatas. Karena pikiran itu hanya bisa menerima fakta-fakta empiris
(yang adanya di wilayah panca indera).
Jangan
isi jiwamu dengan kegaduhan. Istirahatkan jiwamu. Kualitasmu tidak
ditentukan oleh pikiranmu, melainkan oleh ruh-mu (sang jiwa yang
tenang). Maka isilah hidupmu dengan hal-hal yang akan memperkaya
batinmu.[]