Pembicara:
Abi
Kisah
pembuka: Kisah tentang raja yang diminta melepas mahkotanya sebentar
untuk dititipkan, dan tidak mau.
Kata
yang pantang diucapkan: aku. Kata yang harus disosialisasikan: kami,
terima kasih.
Keakuan
sebenarnya adalah ilusi.
Untuk
hidup, 'aku' itu dititipkan kepada kita dan suatu saat akan diminta
kembali. So, tidak orisinil, melainkan 'titipan'.
Untuk
apa Tuhan menitipkan keakuan pada kita?
Untuk
menghadirkan satu pemahaman yang utuh akan ilusitas keberadaan kita
tanpa 'aku'.
Untuk
memperkenalkan (menyadarkan) adanya penitip keakuan itu dan bahwa
sesuatu yang dititip itu akan diambil kembali.
Contoh,
seseorang berkarir di suatu perusahaan, jadi manajer, karirnya
berkembang. Lalu, keakuannya muncul, aku bisa ngatur orang, bikin
aturan dll. Dia pikir kekuasaan itu punya dia.
Orang
yang keakuannya merajai adalah orang yang kehilangan hubungan dengan
penghulu alam, lupa pada penghulu alam yang menitipkannya.
Aku
yang dititipkan sebenarnya adalah sifat-sifat (asmaa'ul husna). Dan
pusat diri adalah ruh.
Cobalah
bernafas dan konsentrasi. Rasakan keluar masuknya napas di bawah
lubang hidung, di atas bibir atas.
Mengapa
napas..? karena jembatan yang menghubungkan pusat diri (ruh) dengan
pikiran adalah napas.
Ilustrasi..
Ketika marah, benci, jengkel, cobalah tarik napas dalam-dalam.
Ternyata kemarahan untuk melepaskan keakuan kita itu hanya ilusi
saja, dan berlalu dengan cepat.
Memahami
ilusitas keakuan, akan memunculkan kesadaran.
Yang
harus diungkap itu bukan keakuan, tapi 'kami', unity.
Siapapun
kita, kita adalah satu kesatuan dengan siapapun dan apapun dan dengan
alam semesta ini. Ketika kesadaran ini telah muncul, hilanglah benci,
dendam, marah dll.[]