Meneladani Rasulullah

Oleh: Danarto, dalam Gerak-gerik Allah: Sejumput Hikmah Spiritual. Bab II Rasulullah, Teladan, Ibadat dan Surga. Risalah Gusti, 1996

Kebijaksanaan di dalam tindakan-Ku menciptakan engkau adalah untuk melihat bayangan-Ku dalam cermin jiwamu, cinta-Ku dalam hatimu. -Nabi Muhammad Saw.

Banyak sekali sabda Rasul yang bagus-bagus, berdasar wahyu, yang tidak terhimpun di dalam Al-Qur'an. Dengan demikian Al-Qur'an dan Hadis merupakan pasangan tak terpisahkan, menjadi pegangan ummat yang beriman. Hadis yang indah di atas itu, menunjukkan betapa Tuhan telah melukiskan belas kasih kepada Nabi-Nya (dengan demikian kepada seluruh ummatnya) yang tak terbayangkan di benak kita. Begitu besar perhatian dan cinta Tuhan kepada makhluk-Nya, lebih besar daripada perhatian dan cinta kita. Nabi adalah kekasih Allah, menjadi junjungan kita, yang kedudukannya berada di atas diri dan keluarga kita. Dari Hadis itulah kita dapat bercermin akan hidup sehari-hari Rasulullah. 

Seorang penyair India, Faqir Muhammad Machhi di Sindh, menyatakan bahwa Allah menganugerahi Nabi sejak di dalam kandungannya, 7 (tujuh) sifat: sabar, arif, sopan, ramah, tahu berterima kasih, cerdas, dan cinta. Lalu bagaimana kita bisa meneladani Rasulullah di abad 21 ini? Suatu abad yang sebenarnya cukup sulit untuk bisa dimengerti, di mana penindasan terhadap kemanusiaan terjadi di mana-mana, sementara tangan-tangan yang mampu menyetopnya, ternyata tidak melakukannya. 

Tujuh sifat yang sebagus-bagus sifat itu, tentu sangat dikenal, dan diantaranya juga kita miliki. Tetapi, jika semuanya itu digabungkan menjadi satu, dan merasuk di dalam sanubari kita, nah, itulah soalnya.

Manakah yang lebih luhur, misalnya, sabar atau cinta? Atau antara arif dengan cerdas? Banyak di antara kita yang bercita-cita menjadi kekasih Allah, lewat peneladanan perilaku Nabi, lewat tujuh sifat yang dipunyai Rasul. Mampukah orang-orang itu? Tentu hanya Allah yang tahu. Namun di antara kita itu telah banyak juga yang dikaruniai penglihatan batin yang cerdas, sehingga hidup mereka semakin terbimbing. Karunia beruntun Tuhan yang bersifat rohani dan jasmani itu biasanya makin mendorong seseorang untuk tambah dekat ke kehidupan Nabi, yaitu makin mendekatkan diri kepada Tuhan. Di sinilah lalu dikenal suatu pengembaraan yang tak berujung. Hanya Allah yang tahu ujungnya.

Tuhan telah berfirman dan kita telah mendengar firman itu. Bahkan terasa firman itu tersemat di hati kita. Katakanlah, kita telah memiliki tujuh sifat Nabi itu yang mampu menjabarkan firman itu, lalu apa tindakan kita melihat keadaan di sekeliling kita? Itulah soalnya. Kita sebagai manusia biasa, bisa jatuh bangun dalam mencoba meneladani perilaku Nabi. Namun api semangat Nabi selalu mendorong kita untuk tetap maju dalam meningkatkan harkat kehidupan kita. Cinta-Ku dalam hatimu, mampukah kita menjabarkan firman Allah kepada Nabi kita itu, ke dalam masyarakat yang telah menghidupi kita? Salah satu budaya yang hidup, yang sederhana, adalah kita diwajibkan untuk mencintai siapa pun, tanpa memandang golongan dan agama, persis cinta Nabi kepada sesamanya.