Pertemuan Saya dengan Tafsir Al-Quran Muhammad Asad

Oleh: Haidar Bagir - Facebook Notes

Tidak jarang orang atau media dengan gampang mengatributkan identitas “intelektual atau pemikir Islam”, atau bahkan “ahli filsafat dan tasawuf Islam”, kepada saya. Kalaupun ada yang benar—sesedikit apa pun—dalam atribusi itu, kali ini saya ingin memastikan kepada Anda bahwa penulis pengantar ini adalah seorang awam di bidang ilmu tafsir. Maka, komentar-komentar saya tentang The Message of the Quran harus dilihat sebagai komentar-komentar seorang Muslim yang bisa berpikir—sebutlah inteligen, kalau mau—terhadap karya Muhammad Asad ini. Bukan komentar seorang “intelektual atau pemikir Islam”, atau bahkan “ahli filsafat dan tasawuf Islam”. Lebih dari itu, posisi saya bukanlah pengamat atau pelajar di bidang tafsir, melainkan sebagai semata-mata seorang Muslim pengguna, yang memang sudah lama mendambakan adanya suatu karya tafsir Al-Quran yang ringkas—sehingga handy (praktis) dan dapat membantu kita memahami isi Al-Quran kapan dan di mana saja—tetapi, pada saat yang sama, dapat menyampaikan kepada kita makna Kitab Suci ini secara masuk akal (makes sense) serta relevan dengan konteks kekinian kita.

Inilah persis sebagian dari kelebihan-kelebihan The Message of the Quran di mata saya, dibanding buku-buku tafsir ekspansif terkemuka seperti Fî Dzilâl Al-Qur’ân, Nûr Al-Qur’ân, Al-Mîzân, Al-Mishbâh, dan sebagainya—betapapun kesemuanya memiliki beberapa sifat kelebihan The Message of the Quran dalam hal kualitas dan relevansinya. Baiklah, di bawah ini agak saya perinci.

Pertama, berbeda dengan banyak tafsir Al-Quran lainnya, tafsir ini ringkas, hampir-hampir seperti kumpulan catatan-catatan kaki yang diperluas sedemikian sehingga dapat diatur agar selalu muat dalam halaman yang sama dengan pemuatan lafaz asli ayat dalam bahasa Arab dan terjemahannya. Ringkasnya, tafsir ini memungkinkan penggunanya untuk mengaji dan mengkaji pada waktu yang sama. Sebelum ini, kecuali dengan beberapa jenis tafsir al-muyassar yang sudah pernah terbit (dalam bahasa Arab), orang harus memilih untuk mengaji—membaca Al-Quran biasa (untuk mendapatkan berkah dan pahala)—atau mengkaji tafsirnya. Yang pertama biasanya dilakukan dengan menggunakan mushhaf Al-Quran biasa, paling banter yang dilengkapi terjemahan. Sementara yang kedua memerlukan buku-buku tafsir yang panjang-panjang, sehingga menjadikan kegiatan mengaji biasa akan berjalan sangat lambat, kalau tak malah mustahil sama sekali akibat kita harus menghabiskan banyak waktu untuk membaca tafsir panjang ayat per ayat. Dengan The Message of the Quran, persoalan ini terpecahkan.

Namun, ringkasnya tafsir ini sama sekali tak berarti dangkal. Sebaliknya, tafsir dalam The Message of the Quran bukan hanya cukup mendalam, melainkan juga—umumnya—selalu diupayakan agar merujuk pada tafsir-tafsir tradisional yang sudah diakui, seperti tafsir Al-Thabarî, Ibn Katsîr, Al-Zamakhsyarî, Al-Râzî, Al-Baghawî, Al-Baidhâwî, dan sebagainya. Inilah kelebihan kedua dari The Message of the Quran.

Masih terkait dengan ini, kelebihan ketiga dari The Message of the Quran terletak pada pendasarannya atas penelitian bertahun-tahun dan mendalam yang dilakukan penulisnya atas berbagai tafsir tradisional, hadis, sejarah Rasul, bahkan juga Bibel (hampir-hampir tak perlu diingatkan lagi bahwa Muhammad Asad—yang bernama asli Leopold Weiss—sebelum masuk Islam adalah pengikut agama Yahudi, berasal dari keluarga rabi Yahudi dan sejak kecil telah mempelajari kitab-kitab Yahudi, Mishnah, Gemara, Targum, dan lain-lain, dalam bahasa Ibrani). Bukan saja dia melakukan penelitian yang amat mendalam, penulis yang awalnya berprofesi sebagai wartawan ini bahkan sampai sejauh melakukan penelitian bahasa Arab di kalangan suku Badui di Semenanjung Arabia. Khususnya, suku-suku yang tinggal di wilayah Arabia Tengah dan Timur, yang dipercayai masih memelihara tradisi berbahasa Arab yang paling dekat dengan bahasa Arab yang dipakai pada zaman Rasulullah Saw.—yakni, ketika Al-Quran diturunkan dan dipahami pada awalnya.

Keempat, dan bagi saya ini benar-benar kelebihan (bukan kelemahan sebagaimana sebagian orang mungkin akan melihatnya) dalam The Message of the Quran, Asad berupaya sedapat mungkin untuk bersikap rasional dalam membaca dan memahami ayat-ayat Al-Quran. Boleh jadi bahkan cenderung rasionalistik di beberapa bagian. Akan tetapi, hal ini sama sekali tak berarti bahwa Asad adalah seorang rasionalis ekstrem. Tak usah terlalu jauh, bahkan sejak ayat-ayat pertama dalam Surah Al-Baqarah, Asad telah menyampaikan posisinya, ketika menafsirkan ayat ke-3 surah itu, bahwa Kitab Suci ini hanya bisa dipahami (dibaca dan diambil manfaatnya) oleh orang-orang yang percaya pada yang gaib. Penjelasan Asad atas konsep “yang gaib” ini menarik untuk diulas serba-sedikit. Di satu sisi, dia dengan tegas menyatakan bahwa setiap orang beriman yang membaca Al-Quran harus percaya terhadap suatu wilayah yang berada di luar jangkauan akal manusia. Atau, dalam bahasa Asad adalah sebagai berikut:

“Al-ghaib … digunakan dalam Al-Quran untuk menunjukkan segala bidang atau tahapan realitas yang berada di luar jangkauan persepsi manusia dan, karena itu, tidak dapat dibuktikan atau disangkal oleh pengamatan ilmiah (sains), atau bahkan tidak dapat dimasukkan secara memadai ke dalam kategori-kategori umum dalam pemikiran spekulatif: misalnya, keberadaan Tuhan, adanya tujuan hakiki yang mendasari alam semesta, hidup setelah mati, hakikat waktu, adanya kekuatan-kekuatan spiritual dan interaksinya, dan sebagainya. Hanya orang yang yakin bahwa realitas tertinggi itu jauh melampaui wilayah yang dapat kita amati-lah yang dapat mencapai iman kepada Allah dan, karena itu, sampai pada keyakinan bahwa hidup itu memiliki makna dan tujuan. Dengan menunjukkan bahwa ia merupakan ‘suatu petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada adanya hal-hal yang berada di luar jangkauan persepsi manusia’, pada dasarnya Al-Quran mengatakan bahwa dirinya—pasti—akan tetap tertutup bagi pikiran orang-orang yang tidak dapat menerima premis mendasar ini.”

Namun, di sisi lain, dia juga menegaskan kesalahan orang yang memahami “yang gaib” sebagai menunjuk kepada apa-apa “yang tak terlihat”, mungkin juga yang berada di luar persepsi pancaindra belaka—atau, dengan kata lain, di luar kemampuan penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan pengecapan manusia. Justru, dalam karyanya ini, tampak betapa Asad ingin mencoba menafsirkan berbagai peristiwa yang disebutkan dalam Al-Quran sebagai terkesan berada di luar penjelasan empiris dengan cara menjelaskan yang sesuai dengan pengalaman empiris. Tentu dengan keyakinan bahwa hukum-hukum yang mengatur alam empiris adalah hukum-hukum Allah (sunnatul-Lah). Dalam hal ini, Asad dapat dikatakan, melanjutkan Sayyid Ahmad Khan, sebagai seorang naturalis. Orang yang percaya sepenuhnya bahwa segala fenomena yang terjadi di dunia ini sepenuhnya diatur oleh apa yang biasa disebut sebagai “hukum alam”.

Sebagai contoh, ketika menjelaskan kisah terbelahnya Laut Merah—dan penutupan-kembalinya—dalam peristiwa pengejaran Nabi Musa a.s. dan pengikutnya oleh tentara Fir‘aun, Asad kurang-lebih menisbahkannya pada peristiwa alam pasang surut permukaan air laut yang biasa. Yakni, ketika Musa a.s. dan pengikutnya lewat, permukaan laut mengalami gejala surut. Sebaliknya, ketika Musa a.s. dan pengikutnya telah lewat, dan giliran Fir‘aun dan tentaranya lewat, permukaan laut mengalami gejala pasang. (Lihat catatan no. 35 pada Surah Al-Syu‘arâ’ [26].—peny.)

Alhasil, meski pasti bukan mistis (yakni bukan ta’wil atau tafsir isyari) dan bukan juga filosofis, tafsir Asad sama sekali juga bukan tafsir literal. []

::

Pulang-Idul Fitri dan Siklus Kehidupan Manusia

Oleh: Haidar Bagir

Meski tak banyak manusia sadar, sesungguhnya kehidupan manusia adalah perjalanan penuh kerinduan. Dimulai dari "kejatuhan", dan disambung dengan keinginan pulang.

Ya, kehidupan manusia sesungguhnya adalah perjalanan pergi dan pulang, dari suatu tempat berangkat (mabda’) menuju suatu tempat kembali (ma’ad) yang tak lain adalah tempat-berangkatnya: manusia bersumber dan berawal dari Tuhan, untuk berjalan kembali kepada Tuhan lagi.

Firman Allah Swt.: “Sesungguhnya kita bersumber/kepunyaan/bagian dari Allah, dan sesungguhnya kepada Dialah kita akan kembali.” (QS. 2 : 156).

Kita tercipta –saya harus menyebutnya sebagai terpancar (teremanasi)-- dari Allah, tertempatkan ke alam dunia, demi mencari jalan pulang kembali kepada-Nya. Dalam kebijaksanaan (hikmah) Islam, satu siklus lengkap perjalanan hidup manusia melewati dua busur yang membentuk sebuah lingkaran penuh: busur turun (al-qaws al-nuzul) dari Allah ke alam ciptaan; dan busur naik (al-qaws al-shu’ud) dari alam ciptaan kembali kepada Allah.

Seperti difirmankan-Nya terkait peristiwa Mi'raj Nabi saw: “Maka Dia pun mendekat, dan makin mendekat lagi. Maka jadilah jarak antara-Nya dengan manusia (dengan Muhammad Saw., sebagai representasi perjalanan kembali manusia kepada-Nya yang paripurna) adalah dua busur panah, atau lebih dekat lagi.” (QS. 53 : 8-9).

Dalam kaitan ini, kebahagiaannya sepenuhnya terletak pada kelancaran perjalanan pulangnya. Kodrat manusia adalah damai dalam Kasih-sayang Tuhan, Sang Maha Rahman, Sang Maha Rahim. Keterpisahannya adalah penderitaan dan kesengsaraan. Meski tak banyak di antara kita menyadarinya.

Kita berjungkir-balik mengejar pencapaian dan kesenangan duniawi –menumpuk harta, meraih kekuasaan, menangguk popularitas– sebenarnya adalah akibat ketersamaran terhadap kerinduan ini. Manusia merasa akan mendapatkan kasih sayang yang didambakannya jika dia miliki semuanya itu. Kenyataannya semua itu hanya fatamorgana. Kebahagiaannya, kepuasannya, kedamaiannnya tak terletak di situ. Yang dia kejar tak kurang dari cinta yang sepenuhnya dapat dia andalkan. Cinta Tuhan. Cinta yang Sempurna.

Maka, pertaruhannya terletak pada seberapa besar dia bisa mendekati-Nya, dengan berusaha menjadi seperti-Nya. Menjadi memiliki akhlak-Nya: berakhlak dengan akhlak-Nya (al-takhalluq bi akhlaq Allah), menjadikan hatinya dipenuhi kasih-sayang terhadap sesamanya. Karena, hanya dengan mengembangkan kasih sayang kepada manusia dan seluruh makhluk-Nya ia baru memiliki kesempatan mendapatkan kasih-sayang-Nya.

Kata pesuruh-Nya: " Barangsiapa tak menyayangi, tak akan disayangi.” Dan kasih-sayang-Nya terletak pada kasih sayang kepada sesama manusia, kepada sesama ciptaan-Nya. Masih kata Rasul-Nya: "Barangsiapa menyayangi yang di bumi, akan disayangi Yang Di Langit."

Namun, senyampang perjalanan-jauh pulang kepada Sang Sumber, dia bisa dapati tempat pulang di bumi, di antara orang-orang yang menyayangi: Ibu, ayah, saudara, kerabat, sahabat. Mereka yang kita tahu menyayangi kita setulus hati, yang cintanya bisa kita andalkan. Yang kasih-sayangnya sesungguhnya merupakan pancaran kasih Tuhan. Yang ke dalam hati mereka, Tuhan pancarkan kasih-sayang-Nya.

Merekalah sumber kebahagiaan dan kedamaian di dunia. Maka, setiap ada kesempatan, kita selalu terdorong pulang kepada mereka. Sebagaimana arti-aslinya, keterasingan dari kekasih kita adalah laknat.

‘Idul Fitri –kembali ke fitrah-- sesungguhnya berarti kembali ke Allah, karena atas fitrah-Nya fitrah kita diciptakan. (QS. 30 : 30). Mudik pun tak lain adalah miniatur perjalanan kosmik kita untuk pulang kepada-Nya.

Maka sudah sepantasnya mudik mengingatkan kita pada-Nya. Bahwa di ujung perjalanan, menunggu Kekasih-sejati kita, Allah Yang Maha Pengasih, yang hanya dalam pelukan-Nya pupus sudah semua kerinduan kita, yang di haribaan-Nya, penuh sudah hasrat kita.

“Wahai jiwa yang tenteram. Pulanglah Engkau ke Pengasuh-Mu dengan rela dan direlai-Nya. Maka, masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku (yang Kucintai). Maka, masuklah ke dalam taman-surga-Ku.” (QS. 89 : 27-30).