SERI FILSAFAT HAJI (Bagian Pertama)
Oleh Mulyadhi Kartanegara
Baru saja umat Islam menyelesaikan ibadah haji untuk tahun ini. Berikut ini adalah beberapa refleksi yang berkaitan dengan haji dilihat dari hikmah atau filosofinya, yang aku tulis dalam otobiografiku jilid dua. Sengaja aku share di sini sambil berharap bisa memberikan manfaatnya bagi para pembacanya:
Berikut adalah seri pertamanya tentang "Ihram"
Ihram
Marilah kita mulai dengan yang pertama: “Ihram.” Ihrām secara harfiah berarti “pengharaman,” yakni berupa beberapa larangan, bagi orang-orang yang mengenakan ihram ketika melaksanakan haji atau umrah, seperti memotong rambut, kuku, berhubungan badan (bagi suami-istri), memakai wangi-wangian dan membunuh binatang. Tetapi secara spiritual, ihrām berarti larangan untuk memikirkan yang lain kecuali Allah Swt.
Adapun praktek nyata ihram adalah “memakai pakaian khusus yang terdiri dari dua helai kain putih yang tidak berjait, bagi laki-laki, sedangkan bagi perempuan adalah pakaian yang menutup seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan, dan boleh berjait tentunya.
Adapun filosofi ihram adalah sebagai berikut: Dengan memakai pakaian ihram, berarti kita siap menanggalkan pakaian kita sehari-hari yang tentunya sarat dengan lambang keduniawian. Pakaian kita sehari-hari merupakan sarana manusia untuk menunjukkan status sosialnya, sebab bukankah pada pakaian seperti ini kita menyematkan “pangkat” yang melambangkan status sosial seseorang, atau “perhiasan” yang menunjukkan status ekonomi seseorang? Bahkan bahan pakaiannya sendiri banyak bicara tentang status sosial dan ekonomi seseorang dan terbedakannya dengan jelas apakah ia orang kaya atau orang miskin.
Itulah sebabnya banyak orang mengatakan bahwa pakaian kita sehari-hari adalah semacam “topeng” yang menutupi jati-diri kita yang sesungguhnya di hadapan Allah. Berpuluh-puluh tahun kita pakai topeng tersebut, sehingga kita telah mengidentifikasi diri kita dengan topeng tersebut. Melalui topeng itulah manusia merasa lain dengan yang lainnya, dan bertingkah laku sesuai dengan topeng yang ia kenakan. Bagitu lama asik masuk dengan memakai topeng sehingga kita lupa akan jati-diri kita yang sesungguhnya.
Melalui ihram inilah Tuhan ingin membuka topeng-topeng keduniaan, yang menurut Ali Shariati “telah menyebabkan peperangan dan menimbulkan banyak kerusakan.” Dengan ritual ihram ini manusia diharapkan dapat mengetahui dan menyadari “apa dan siapa dirinya itu yang sesungguhnya.” Ternyata dihadapan Allah manusia adalah sama. Manusia tidak dibedakan oleh status sosialnya, tidak ada bedanya, misalnya, antara hamba dan raja. Tidak juga dibedakan oleh status ekonominya, misalnya antara si kaya dan si miskin, juga tidak oleh ras dan warna kulitnya, misalnya antara orang Eropa dan Asia, atau antara kulit hitam dan kulit putih. Di hadapan Tuhan semua manusia sama derajatnya. Satu-satunya yang membedakan derajat seseorang di hadapan Allah adalah ketaqwaannya. Bukankah Allah berfirman: “Sesungguhnya semulia-mulianya kamu (di hadapan Allah) adalah yang paling bertaqwa.”
Karena itu, dengan melaksanakan ihram, seseorang diharapkan dapat “melucuti” jiwa dan pikirannya dari pengaruh status sosial dan ekonomi, dan pengaruh pangkat dan kekayaan, sehingga pelaksanaan haji atau umrahnya betul-betul ikhlas karena Allah semata, seperti terrefleksi dari baju ihram yang putih dan suci dari segala kotoran, dan diterima oleh Allah Swt. dan mendapatkan pahala dari-Nya.
(Bersambung dengan Thawaf).
SERI FILSAFAT HAJI (Bagian Kedua)
Oleh Mulyadhi Kartanegara
Thawaf
“Thawaf” berarti mengelilingi atau berkeliling, dan yang dimaksud adalah mengelilingi Ka’bah (Bayt Allah) sebanyak tujuh kali (putaran), yang dimulai dari hajar aswad, dan berputar ke kiri melawan arah jarum jam. Di sini timbul pertanyaan, “mengapa dimulai dari hajar aswad?” Jawabya adalah karena hajar aswad adalah lambang perjanjian manusia dengan Tuhan. Disebutkan bahwa sebelum manusia memasuki alam dunia dan masih berada di alam arwah, Tuhan telah mengadakan perjanjian primordial (primordial covenant) dengan Allah di mana Allah mengumpulkan arwah manusia dan menanyakan kepada mereka apakah Ia Tuhan mereka? “Alastu birabbikum?” Lalu arwah tersebut menjawab, “Betul (Engkau adalah Tuhan kami) dan kami menjadi saksi atasnya, qalu bala syahidna,” Menurut legenda ayat suci al-Qur’an mengenai “perjanjian” ini dimasukkan ke dalam batu hitam (al-hajar al-aswad) untuk menjadi saksi nanti di hari akhir.
“Thawaf” itu sendiri, dikatakan, melambangkan gerak kosmos dalam ketundukkannya yang total kepada kehendak Allah. Menurut tradisi Islam, thawaf dilakukan bukan hanya di Mekkah, tetapi juga oleh seluruh jagat raya, dari mulai para malaikat hingga partikel atom. Dikatakan bahwa berjuta-juta malaikat melakukan thawaf mengelilingi Arasy, sedang thawaf di dunia ini juga mengambil contoh dari thawaf Arasy ini. Menurut Nurcholish Madjid, Nabi Adam telah sering ikut thawaf dengan para malaikat, ketika beliau masih menghuni surga. Ketika ia diturunkan ke dunia karena dosa yang ia lakukan bersama istrinya, Siti Hawa, ia sangat merasa kehilangan partisipasi thawaf-nya dengan para malaikat ini. Oleh karena itu, Allah memerintahkan Nabi Adam untuk membangun apa yang kemudian dikatakan sebagai cikal bakal Ka’bah yang sekarang. Dengan alasan itu Ka’bah dikatakan sebagai baitullah paling awal yang pernah dibangun oleh manusia di dunia ini. Dengan mengelilingi Ka’bah tersebut, maka Nabi Adam memulai tradisi thawaf ini hingga sekarang.
Selain para malaikat dan manusia, alam semesta juga ternyata melakukan thawaf. Bukankah bumi kita ini mengelilingi matahari? Dan bukankah pada gilirannya, matahari pun, beserta planet-planetnya—termasuk bumi—mengelilingi inti galaksi?” Selanjutnya, bukankah galaksi kita, bima sakti, bersama galaksi-galaksi lainnya berputar mengelilingi ‘Arasy Allah? Maka nyatalah bahwa seluruh alam semesta berada dalam keadaan berthawaf mengelilingi Arasy dalam rangka memenuhi kehendak Allah. Oleh karena itu, orang-orang yang melakukan thawaf di Mekkah, baik ketika melakukan haji atau umrah, termasuk orang-orang yang sangat beruntung, karena telah diberi kesempatan yang sangat istimewa, yakni diperkenankannya mereka untuk berpartisipasi dalam “drama kosmik” penyembahan kepada Allah, yang sebenarnya justru merupakan tindakan ketundukkan universal kepada Allah bersama-sama dengan makhluk-Nya yang ada dilangit maupun di bumi. Inilah keistimewaan thawaf dibanding dengan ibadah-ibadah lainnya.
Oleh Mulyadhi Kartanegara
Baru saja umat Islam menyelesaikan ibadah haji untuk tahun ini. Berikut ini adalah beberapa refleksi yang berkaitan dengan haji dilihat dari hikmah atau filosofinya, yang aku tulis dalam otobiografiku jilid dua. Sengaja aku share di sini sambil berharap bisa memberikan manfaatnya bagi para pembacanya:
Berikut adalah seri pertamanya tentang "Ihram"
Ihram
Marilah kita mulai dengan yang pertama: “Ihram.” Ihrām secara harfiah berarti “pengharaman,” yakni berupa beberapa larangan, bagi orang-orang yang mengenakan ihram ketika melaksanakan haji atau umrah, seperti memotong rambut, kuku, berhubungan badan (bagi suami-istri), memakai wangi-wangian dan membunuh binatang. Tetapi secara spiritual, ihrām berarti larangan untuk memikirkan yang lain kecuali Allah Swt.
Adapun praktek nyata ihram adalah “memakai pakaian khusus yang terdiri dari dua helai kain putih yang tidak berjait, bagi laki-laki, sedangkan bagi perempuan adalah pakaian yang menutup seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan, dan boleh berjait tentunya.
Adapun filosofi ihram adalah sebagai berikut: Dengan memakai pakaian ihram, berarti kita siap menanggalkan pakaian kita sehari-hari yang tentunya sarat dengan lambang keduniawian. Pakaian kita sehari-hari merupakan sarana manusia untuk menunjukkan status sosialnya, sebab bukankah pada pakaian seperti ini kita menyematkan “pangkat” yang melambangkan status sosial seseorang, atau “perhiasan” yang menunjukkan status ekonomi seseorang? Bahkan bahan pakaiannya sendiri banyak bicara tentang status sosial dan ekonomi seseorang dan terbedakannya dengan jelas apakah ia orang kaya atau orang miskin.
Itulah sebabnya banyak orang mengatakan bahwa pakaian kita sehari-hari adalah semacam “topeng” yang menutupi jati-diri kita yang sesungguhnya di hadapan Allah. Berpuluh-puluh tahun kita pakai topeng tersebut, sehingga kita telah mengidentifikasi diri kita dengan topeng tersebut. Melalui topeng itulah manusia merasa lain dengan yang lainnya, dan bertingkah laku sesuai dengan topeng yang ia kenakan. Bagitu lama asik masuk dengan memakai topeng sehingga kita lupa akan jati-diri kita yang sesungguhnya.
Melalui ihram inilah Tuhan ingin membuka topeng-topeng keduniaan, yang menurut Ali Shariati “telah menyebabkan peperangan dan menimbulkan banyak kerusakan.” Dengan ritual ihram ini manusia diharapkan dapat mengetahui dan menyadari “apa dan siapa dirinya itu yang sesungguhnya.” Ternyata dihadapan Allah manusia adalah sama. Manusia tidak dibedakan oleh status sosialnya, tidak ada bedanya, misalnya, antara hamba dan raja. Tidak juga dibedakan oleh status ekonominya, misalnya antara si kaya dan si miskin, juga tidak oleh ras dan warna kulitnya, misalnya antara orang Eropa dan Asia, atau antara kulit hitam dan kulit putih. Di hadapan Tuhan semua manusia sama derajatnya. Satu-satunya yang membedakan derajat seseorang di hadapan Allah adalah ketaqwaannya. Bukankah Allah berfirman: “Sesungguhnya semulia-mulianya kamu (di hadapan Allah) adalah yang paling bertaqwa.”
Karena itu, dengan melaksanakan ihram, seseorang diharapkan dapat “melucuti” jiwa dan pikirannya dari pengaruh status sosial dan ekonomi, dan pengaruh pangkat dan kekayaan, sehingga pelaksanaan haji atau umrahnya betul-betul ikhlas karena Allah semata, seperti terrefleksi dari baju ihram yang putih dan suci dari segala kotoran, dan diterima oleh Allah Swt. dan mendapatkan pahala dari-Nya.
(Bersambung dengan Thawaf).
SERI FILSAFAT HAJI (Bagian Kedua)
Oleh Mulyadhi Kartanegara
Thawaf
“Thawaf” berarti mengelilingi atau berkeliling, dan yang dimaksud adalah mengelilingi Ka’bah (Bayt Allah) sebanyak tujuh kali (putaran), yang dimulai dari hajar aswad, dan berputar ke kiri melawan arah jarum jam. Di sini timbul pertanyaan, “mengapa dimulai dari hajar aswad?” Jawabya adalah karena hajar aswad adalah lambang perjanjian manusia dengan Tuhan. Disebutkan bahwa sebelum manusia memasuki alam dunia dan masih berada di alam arwah, Tuhan telah mengadakan perjanjian primordial (primordial covenant) dengan Allah di mana Allah mengumpulkan arwah manusia dan menanyakan kepada mereka apakah Ia Tuhan mereka? “Alastu birabbikum?” Lalu arwah tersebut menjawab, “Betul (Engkau adalah Tuhan kami) dan kami menjadi saksi atasnya, qalu bala syahidna,” Menurut legenda ayat suci al-Qur’an mengenai “perjanjian” ini dimasukkan ke dalam batu hitam (al-hajar al-aswad) untuk menjadi saksi nanti di hari akhir.
“Thawaf” itu sendiri, dikatakan, melambangkan gerak kosmos dalam ketundukkannya yang total kepada kehendak Allah. Menurut tradisi Islam, thawaf dilakukan bukan hanya di Mekkah, tetapi juga oleh seluruh jagat raya, dari mulai para malaikat hingga partikel atom. Dikatakan bahwa berjuta-juta malaikat melakukan thawaf mengelilingi Arasy, sedang thawaf di dunia ini juga mengambil contoh dari thawaf Arasy ini. Menurut Nurcholish Madjid, Nabi Adam telah sering ikut thawaf dengan para malaikat, ketika beliau masih menghuni surga. Ketika ia diturunkan ke dunia karena dosa yang ia lakukan bersama istrinya, Siti Hawa, ia sangat merasa kehilangan partisipasi thawaf-nya dengan para malaikat ini. Oleh karena itu, Allah memerintahkan Nabi Adam untuk membangun apa yang kemudian dikatakan sebagai cikal bakal Ka’bah yang sekarang. Dengan alasan itu Ka’bah dikatakan sebagai baitullah paling awal yang pernah dibangun oleh manusia di dunia ini. Dengan mengelilingi Ka’bah tersebut, maka Nabi Adam memulai tradisi thawaf ini hingga sekarang.
Selain para malaikat dan manusia, alam semesta juga ternyata melakukan thawaf. Bukankah bumi kita ini mengelilingi matahari? Dan bukankah pada gilirannya, matahari pun, beserta planet-planetnya—termasuk bumi—mengelilingi inti galaksi?” Selanjutnya, bukankah galaksi kita, bima sakti, bersama galaksi-galaksi lainnya berputar mengelilingi ‘Arasy Allah? Maka nyatalah bahwa seluruh alam semesta berada dalam keadaan berthawaf mengelilingi Arasy dalam rangka memenuhi kehendak Allah. Oleh karena itu, orang-orang yang melakukan thawaf di Mekkah, baik ketika melakukan haji atau umrah, termasuk orang-orang yang sangat beruntung, karena telah diberi kesempatan yang sangat istimewa, yakni diperkenankannya mereka untuk berpartisipasi dalam “drama kosmik” penyembahan kepada Allah, yang sebenarnya justru merupakan tindakan ketundukkan universal kepada Allah bersama-sama dengan makhluk-Nya yang ada dilangit maupun di bumi. Inilah keistimewaan thawaf dibanding dengan ibadah-ibadah lainnya.