whispering @ prayer
~ kliping
T A S A W U F
Meneroka Kekayaan Sastra Timur
Ulasan buku Sastra Timur dalam Perspektif Sastra Bandingan, karya Abdul Hadi WM
Oleh: Maman S Mahayana
Dapat dipastikan, inilah buku terlengkap yang membicarakan sastra Timur (Persia, India, Cina, Jawa, Melayu) dalam konteks mengungkap perjalanan sastra Indonesia sampai ke akarnya. Amir Hamzah (Pujangga Baru, Juni 1934—Januari 1935) boleh dikatakan merupakan orang pertama yang memperkenalkan sastra India, Cina, Arab, dan Parsi (Ajam). Dari pertemuan dengan khazanah sastra asing itulah—terutama kesusastraan dan kebudayaan Hindu, Buddha, dan Islam—kesusastraan Indonesia menyerap pengaruhnya dan sekaligus mengindonesiakannya. Bagi Amir Hamzah dan Abdul Hadi, perkenalan paling awal masyarakat Nusantara dengan kesusastraan (tertulis) bermula dari persentuhan dengan sastra Hindu yang dibawa para intelektual India. Dari sini dimulai tradisi sastra tulis di Nusantara.
Kalau Allah Menghendaki, Semua bisa saja Terjadi?
Berfilsafat Untuk Mencapai Kebahagiaan
Oleh: Budhy Munawar Rachman
Tidak alasan bagi manusia untuk berfilsafat, kecuali untuk mencapai kebahagiaan
Tinjauan
buku singkat: E.F. Schumacher, A Guide for the Perplexed (1977)
Dewasa
ini, kehidupan kemanusiaan kita mengalami krisis yang luar biasa. Salah satu
pertanda krisis itu adalah semakin dangkalnya pengertian modern kita mengenai
kehidupan manusia. Ini terutama terlihat dari pemahaman seratus tahun
belakangan ini mengenai apa yang disebut sains, dan kaitannya dengan pengertian
mengenai kemanusiaan. Krisis ini akhirnya, memudarkan kepercayaan pada
percobaan modern untuk membahagiakan manusia. Dan semakin banyak
pemikir-pemikir yang sering dianggap “aneh” yang menyarankan bahwa pemulihan
harus datang “dari dalam diri manusia”, bukan hanya lewat pemecahan politis dan
sistemik. Salah seorang pemikir yang dianggap aneh itu adalah E.F. Schumacher.
Buku A
Guide for the Perplexed ini ditulis oleh ekonom-filsuf E.F.
Schumacher, yang sebelumnya terkenal karena bukunya Small is Beatiful,
yang telah menjadi semacam kitab suci para aktivis LSM pada era 1970an dan
1980-an. Buku A Guide for the Perplexed ini adalah filsafat di
balik buku Small is Beatiful yang mendunia, sebagai perlawanan atas gagasan
bahwa besar (hal yang massif) itu efisien.
Ada
beberapa istilah penting dalam buku Schumacher A Guide for the
Perplexed yang perlu mendapat perhatian seperti: “pemulihan harus
datang dari dalam,” mengenai “manusia dan tingkat-tingkatnya yang lebih
tinggi,” mengenai masalah “konvergen” dan “divergen” dan beberapa istilah lain.
Seyyed Hossein Nasr, menyebut “His posthumous work Guide for the Perplexed
is one of the most easily approachable introductions to traditional doctrines
available today.” Jadi buku E.F. Schumacher ini bisa disebut sebagai buku
pengantar tentang filsafat perennial yang bagus.
Peta
Filosofis
Menurut
Schumacher, kita memerlukan sebuah peta filosofis, yang bisa menjelaskan kita
berada di mana sekarang ini, sekaligus arah perjalanan hidup kita. Selama ini
peta-peta yang disodorkan oleh saintisme, yaitu sebuah paham materialisme
modern, telah membiarkan tidak terjawab banyak masalah-masalah penting dari
hidup manusia. Bahkan menganggapnya sebagai “bukan masalah!”
Saintisme
misalnya menganggap tidak bermakna pertanyaan-pertanyaan abadi filsafat dan
agama, seperti: Mengapa kita ada di dunia ini. Kita berasal dari mana? Dan akan
ke mana setelah kematian nanti? Apa arti dan tujuan hidup? Dan seterusnya,
pertanyaan-pertanyaan perennial, yang “anehnya” oleh Schumacher ditekankan
bahwa harusnya filsafat (modern) membawa manusia ke jalan itu. Tapi nyatanya
semakin modern filsafat semakin jauh dari usaha menjawab pertanyaan tersebut
Oleh
saintisme manusia dinilai hanyalah, tak lain dari, “suatu mekanisme biokimia
pelik yang dimotori oleh suatu sistem pembakaran yang memberi tenaga kepada
komputer-komputer dengan fasilitas-fasilitas penyimpanan yang luarbiasa guna
memelihara informasi bersandi”. Juga sebuah pandangan reduksionistik yang
misalnya lewat psikoanalisa Freud, akan menganggap perjuangan kepada
nilai-nilai kemanusiaan tertinggi hanyalah, tak lain dari, “mekanisme-mekanisme
pertahanan diri, dan bentukan-bentukan reaksi.”
Maka,
pertanyaan-pertanyaan seperti “Apa yang harus saya lakukan” apalagi “Apa yang
harus saya lakukan agar selamat sebagai manusia”; pertanyaan-pertanyaan
teleologis yang menyangkut tujuan hidup, akan dianggap aneh.
Keadaan
dunia sekarang ini betul-betul krisis, karena tidak menganggap lagi apa yang berabad-abad
sebagai pertanyaan paling penting (perennial questions), dan telah
menyibukkan para filsuf, sebagai pertanyaan yang tak bermakna. Dari sudut
filsafat, inilah sebenarnya agenda besar Schumacher yang dapat kita temui dalam
buku ini, mencoba menjawab dengan cara yang bisa dipahami orang modern,
pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Menurut
Schumacher, keadaan dunia modern sekarang ini membawa kita perlu melihat lagi
peta filosofis kita: Apakah peta kita itu telah memuat apa yang sungguh-sungguh
penting dalam hidup kemanusiaan. Schumacher mencoba membeberkan pada kita peta
yang perlu kita telaah sungguh-sungguh, yang meliputi Empat Kebenaran besar,
yang dengan caranya masing-masing agama-agama besar dunia, dan filsafat sampai
sebelum masa modern telah berusaha menjelaskan mengenai Empat Kebenaran ini,
yaitu Kebenaran mengenai: (1) “Dunia”; (2) “Manusia” yaitu perlengkapan yang
digunakan untuk berhadapan dengan “Dunia”; (3) Cara belajar tentang dunia; dan
(4) Apa yang dimaksud dengan “hidup” di dunia.
Empat
Kebenaran perenial ini berisi: Kebenaran tentang dunia, menyangkut “Empat
Tingkat Eksistensi”. Kebenaran tentang perlengkapan yang digunakan manusia
untuk berhadapan dengan dunia, adalah “Asas Ketepatan” (adaequatio). Kebenaran
tentang cara belajar tentang dunia meliputi “Empat Bidang Pengetahuan.” Dan
Kebenaran tentang “Cara hidup di dunia” meliputi pembedaan antara dua jenis
masalah, yaitu konvergen (bertitik temu), dan divergen (bertitik pisah).
Peta
filosofis ini, memang bukan segala-galanya, seperti peta bukanlah teritorinya.
Tetapi untuk mengerti teritori tetaplah diperlukan peta sebagai “petunjuk
jalan” supaya kita tidak tersesat, atau bingung. Dan menarik buku Schumacher
ini sebenarnya merupakan peta filosofis untuk kita, dalam menemukan jalan menuju
kebahagiaan kehidupan manusia.
Menurut
Schumkacher, para filsuf modern, pada umumnya bukanlah pembuat peta, yang setia
dengan kesinambungan apa yang telah dibuat pendahulu mereka dalam tradisi
filsafat yang panjang. Malah mereka adalah seperti yang telah dilakukan
Descartes, bapak filsafat modern, “berpatah arang dengan tradisi, main sapu
bersih, memulai dari awal, dan berusaha menemukan sendiri segala sesuatunya!”
Apa yang dilakukan Descartes dan para pengikutnya, sampai masa kini, akhirnya
malah “mundur dari kebijaksanaan” setelah mereka menyadari menurut mereka,
bahwa jangkauan pikiran manusia sangat terbatas, dan bahwa tak ada alasan untuk
menaruh perhatian kepada hal-hal yang berada di luar kemampuan manusia. Ada
skeptisisme yang mewarnai epistemologi modern, sehingga mereka menyerah,
terutama untuk mengetahui masalah-masalah metafisika. Sementara kearifan
tradisional dan perenial, yang juga tahu mengenai kelemahan pikiran manusia,
mereka juga tahu bahwa tetap ada kemungkinan manusia sanggup melampaui dirinya
sendiri menuju tingkat-tingkat yang makin lama makin tinggi.
Keadaan
epistemologi modern telah memiskinkan pengertian kita mengenai manusia. Banyak
wilayah dari apa yang telah diusahakan oleh pemikiran-pemikiran tradisional,
selama ribuan tahun, tidak lagi termuat dalam peta filosofis modern. Filsafat
modern juga telah kehilangan dimensi vertikal. Ketika filsafat dihadapkan pada
pertanyaan, “Apakah yang harus saya perbuat dengan hidup saya?” Jawaban
filsafat akan bersifat, paling jauh, adalah utilitarianisme seperti:
“Jadikanlah dirimu senyaman-nyamanmu!” Atau “Bekerjalah demi kebahagiaan
sebanyak-banyak orang!”. Hakikat manusia menurut pandangan modern, akibat
pengaruh teori evolusi, adalah hewan “yang sedikit lebih tinggi” (tetapi tetap
hewan!).
Pikiran
mengenai “lompatan eksistensi” yang sangat disadari oleh para filsuf sepanjang
zaman, telah diabaikan sedemikian rupa, dan dianggap kabur. Para filsuf modern
menyamaratakan semua, dan menghindari istilah hirarki seperti “lebih tinggi”
atau “lebih rendah.” Bandingkan dengan jawaban filsafat tradisional atas
pertanyaan itu. “Kebahagiaan manusia ialah bergerak menuju kepada “yang lebih
tinggi”, mengembangkan bakat-bakatnya yang “tertinggi”, memperoleh pengetahuan
tentang hal-ihwal yang “lebih tinggi” dan yang “tertinggi”, serta bila mungkin,
bertemu dengan Tuhan. Dan bila manusia tidak mengerjakan tugas perenialnya ini,
maka berarti ia bergerak menuju kepada yang “lebih rendah”, dan hanya
mengembangkan bakat-bakatnya yang “lebih rendah” yang ada padanya seperti pada
hewan, sehingga ia pun menjadikan dirinya sendiri tak bahagia, bahkan mungkin
putus asa.
Suatu
kepercayaan umum dewasa ini, banyak orang-orang modern tidak percaya lagi bahwa
kebahagiaan yang sempurna dapat dicapai dengan metode-metode yang sama sekali
tidak dikenal oleh filsafat modern. Dan ini wajar, karena tanpa pengertian
kualitatif mengenai “yang lebih tinggi” dan “yang lebih rendah” maka
mustahillah memikirkan pedoman hidup yang melampaui segala bentuk egoisme. Itu
sebabnya memikirkan kembali adanya tingkat-tingkat eksistensi dan kaitannya
dengan filsafat menjadi hal yang penting sekali, supaya kita jangan memiskinkan
filsafat hanya pada pengetahuan mengenai “hal-hal yang rendah” (seperti sains)
sambil menutup diri mengenai “hal-hal yang tinggi” (seperti spritualitas
manusia).
Buku
ini memang bukan buku sederhana, tapi begitu Anda bisa menangkap maksud dan isi
buku ini, Anda akan berterima kasih pada Schumacher yang telah memberi peta
filosofis tersebut, sehingga Anda jadi tahu ke arah mana Anda akan menjalani
hidup ini.
The Quest for Meaning: Developing a Philosophy of Pluralism
Bagaimanakah mencari makna hidup dalam pentas kehidupan abad 21 yang sangat pluralistik dalam berbagai aspeknya? Bagaimana caranya kita dapat berinteraksi dengan penuh kedamaian, ketenangan, kesetaraan, penghormatan, harmoni dan kebahagiaan di tengah-tengah beragamnya perbedaan agama, keyakinan, paham, tradisi, budaya, filosofi, bangsa dan negara dalam ruang dan waktu milenium ketiga dewasa ini? Inilah benang merah yang akan dijawab oleh Tariq Ramadan dalam karya cemerlangnya tersebut.
Dalam karya brilian tersebut, Tariq Ramadan membahas berbagai topik, seperti pencarian makna hidup, konsep tentang sesuatu yang universal, iman dan nalar, persaudaraan dan kesetaraan, kebebasan dan pendidikan, respek dan toleransi, tradisi dan modernitas, peradaban, cinta, pengampunan, spiritualitas dan lain-lain. Izinkan saya memotret sekilas beberapa topik yang menjadi core karya tersebut.
Dogmatic mind ini bisa saja dimiliki oleh siapapun: kaum agamawan, para cendekiawan, filsuf ataupun juga ilmuwan. Ketika seseorang mempercayai bahwa konsep-konsep yang digulirkannya merupakan satu-satunya yang bersifat universal dan harus diterima oleh orang lain yang berbeda, maka ia sudah terjebak dalam perangkap dogmatic mind.
Sedang dengan respek, kita lebih bersikap aktif dan proaktif kepada pihak yang berbeda daripada sikap pasif. Kita terdorong perasaan ingin tahu secara positif terhadap eksistensi dan kehadiran pihak lain. Kita juga berupaya mempelajari pihak-pihak yang berbeda agar kita dapat mengetahui dan mengenali siapa sebenarnya mereka. Pengenalan, perasaan ingin tahu dan pengetahuan yang aktif mengantarkan akal dan hati kita memasuki kompleksitas dunia pihak lain yang berbeda. Kita mulai bersentuhan dengan prinsip-prinsip dan harapan-harapan mereka, dengan ketegangan dan kontradiksi-kontradiksi kehidupan yang mereka alami.
Orang buta pertama, menyentuh belalainya dan menyimpulkan bahwa gajah itu seperti ular panjang dan bisa meliuk-liuk ke kiri dan ke kanan. Orang buta kedua yang menyentuh badan gajah, membantahnya. Katanya, gajah itu seperti tembok rumah yang lebar dan keras. Orang buta ketiga yang meraba gadingnya gajah, menolak kedua kawannya sebelumnya. Ia mengatakan bahwa gajah itu seperti sebuah tombak yang runcing. Orang buta keempat yang memegang telinganya gajah, berpendapat berbeda dengan ketiga kawannya. Baginya gajah itu bagaikan sebuah permadani yang lebar. Sedangkan orang buta kelima yang meraba ekor gajah, juga berpendapat berbeda dengan keempat temannya sebelumnya. Dia berpandangan bahwa gajah itu seperti seutas tali. Akhirnya orang buta keenam yang memegang kaki gajah yang kokoh, juga tidak setuju dengan pendapat kelima kawannya sebelumnya. Dengan tegas, ia menyatakan bahwa gajah itu sesungguhnya seperti sebatang pohon yang tangguh.
Ketiga, setiap orang sebenarnya memiliki kelemahan (kebutaan) internal dalam mencandra hakikat kebenaran; sehingga yang dituntut sebuah sikap rendah hati dan siap saling berbagi dengan orang lain.
Kedua, untuk bisa mencintai orang lain, berarti kita harus memberi perhatian khusus terlebih dahulu untuk mencintai diri sendiri yang harus benar-benar dialami secara autentik. Sebab kita tidak bisa mencintai orang lain dengan tulus sebelum kita mencintai diri sendiri dengan autentik. Ketiga, sebagai implikasinya: mencintai diri sendiri dan menemukan kedamaian internal merupakan sebuah prasyarat untuk mencintai dan menyambut orang lain ke dalam damainya hati kita. Semua ini juga mengharuskan kita mengenali godaan-godaan alami diri kita yang paling gelap, namun tetap berusaha mencari suara-suara aspirasi murni yang paling luhur di kedalaman jiwa kita. “This is a love story”, ini merupakan sebuah kisah cinta, tulis Tariq Ramadan.